Senin, 23 September 2013

Ketahanan Bangsa Dalam Perspektif Ideologi Pancasila

KERUKUNAN UMAT BERAGAMA DAN BERKEPERCAYAAN DALAM MENJAGA HARMONISASI SOSIAL Prof. Dr. Musdah Mulia Pendahuluan Sebagai negara bangsa, Indonesia menghadapi masalah yang begitu kompleks dan rumit. Dengan jumlah penduduk sebanyak lebih 210 juta jiwa, Indonesia menduduki urutan ke-4 di dunia setelah RRC, India, dan USA. Di tambah lagi dengan kondisi penduduk yang sangat majemuk, terdiri dari sekitar 300 kelompok etnis yang memiliki lebih dari ribuan bahasa lokal dengan identitas kultural masing-masing serta tersebar di 13.000 pulau, besar dan kecil, dan merupakan negara kepulauan yang terbesar di dunia. Aneka ragam bentuk kesenjangan juga membalut kehidupan masyarakat Indonesia. Masyarakat Indonesia tediri dari orang-orang yang sangat terpelajar sampai dengan orang-orang yang buta huruf. Dari yang sangat rasional sampai yang sangat emosional. Dari yang sangat primordialistis sampai yang sangat nasionalistis. Dari yang sangat kaya, bahkan yang terkaya di dunia sampai yang sangat miskin, mungkin yang paling miskin di dunia. Demikian pula dari aspek keagamaan, didapati orang-orang dari yang sangat beragama dan sangat saleh sampai yang tidak mengenal ajaran agama. Dari yang berpandangan keagamaan sangat tolerans dan inklusif sampai kepada yang sangat fanatik dan eksklusif. Realitas yang ada menunjukkan betapa majemuk keadaan bangsa Indonesia. Pendek kata, sulit mencari negara di dunia ini yang mempunyai heterogenitas dan kemajemukan yang demikian kompleks seperti Indonesia. Realitas ini sepatutnyalah menyadarkan kita semua, terutama para pengambil keputusan, agar tidak gegabah apalagi berlaku arogan di dalam merumuskan suatu keputusan untuk kepentingan seluruh bangsa yang demikian beragamnya itu. Mengapa isu kerukunan semakin marak? Wacana mengenai pluralitas agama dan kerukunan umat beragama dan berkeyakinan dengan segala persoalan yang mengitarinya akan menjadi tetap dan bahkan semakin aktual, karena wacana ini tidak akan berakhir, seiring dengan semakin kuatnya upaya meneguhkan prinsip pluralisme agama di negeri ini. Bahkan pada akhir-akhir ini upaya untuk menjembatani umat beragama yang pluralis dengan berbagai pendekatan dalam mewujudkan dan meningkatkan kerukunan di antara mereka terus berlangsung. Paling tidak ada lima hal pokok yang melatarbelakangi semakin maraknya wacana kerukunan antar umat beragama. Pertama, perlunya sosialisasi bahwa pada dasarnya semua agama datang untuk mengajarkan dan menyebarkan kedamaian dan perdamaian dalam kehidupan manusia. Kedua, wacana agama yang pluralis, toleran, dan inklusif merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari ajaran agama itu sendiri. Sebab, pluralitas apa pun, termasuk agama, semangat toleransi dan inklusivisme merupakan sunnatullah yang tidak dapat diubah, dihalang-halangi dan ditutup-tutupi. Ketiga, ada kesenjangan antara cita-cita ideal agama dan realitas empirik kehidupan umat beragama di tengah masyarakat. Keempat, semakin kuatnya kecenderungan ekslusivisme dan intoleransi pada sebahagian umat beragama yang pada gilirannya memicu terjadinya konflik dan permusuhan yang berlabel agama. Kelima, perlu dicari upaya-upaya untuk mengatasi masalah-masalah yang berkaitan dengan kerukunan dan kedamaian antarumat beragama. Memahami tujuan hakiki agama dan kepercayaan Tujuan hakiki dari semua agama adalah memanusiakan manusia. Agama harus mengarahkan manusia untuk memperkuat spiritualitas dirinya. Agama harus mampu membina manusia agar menjadi baik dan sejahtera, baik fisik maupun mental, jasmani dan ruhani menuju kepada kebahagiaan yang abadi. Intisari dari semua ajaran agama berkisar pada penjelasan tentang masalah baik dan buruk, yaitu menjelaskan mana perbuatan yang masuk dalam kategori perbuatan baik yang membawa kebahagiaan, dan mana perbuatan buruk dan jahat yang membawa kepada bencana dan kesengsaraan. Agama memberikan tuntunan kepada manusia agar mengerjakan perbuatan baik dan menghindari perbuatan buruk demi kebahagiaan manusia itu sendiri. Tuhan, sang pencipta, sama sekali tidak merasa untung jika manusia mengikuti aturan yang diwahyukan-Nya, sebaliknya juga tidak merasa rugi jika manusia mengabaikan tuntunan-Nya. Sangat disayangkan misi agama yang amat suci dan luhur itu seringkali tidak terimplementasi dengan baik dalam kehidupan beragama penganutnya. Akibatnya, sejumlah konflik, tindakan eksploitasi, kekerasan dan diskriminasi, termasuk diskriminasi gender dilakukan atas nama agama. Islam, misalnya memiliki ajaran yang menekankan pada dua aspek sekaligus; aspek vertikal dan aspek horisontal. Aspek vertikal merupakan ajaran Islam yang berisi seperangkat kewajiban manusia kepada Tuhan, sementara aspek horisontal berisi seperangkat tuntunan yang mengatur hubungan antara sesama manusia dan juga hubungan manusia dengan alam sekitarnya. Sayangnya, aspek horisontal ini tidak terealisasikan dengan baik dalam kehidupan manusia, khususnya dalam interaksi dengan sesamanya. Akibatnya, dimensi kemanusiaan yang merupakan refleksi aspek horisontal Islam kurang mendapat perhatian di kalangan umat Islam. Kondisi inilah yang kemudian membawa kepada penampilan wajah Islam yang sangar dan tidak humanis dalam kehidupan publik. Komitmen agama seseorang seharusnya terbangun sejak dari lingkungan rumah tangga. Lingkungan sekolah dan masyarakat pada prinsipnya hanyalah menunjang komitmen keagamaan yang sudah terbentuk itu, tetapi anehnya dewasa ini banyak keluarga yang menyerahkan pembinaan keagamaan anak-anak mereka sepenuhnya pada sekolah dan institusi semacamnya di masyarakat. Kehidupan beragama di rumah tangga perlu diciptakan dengan suasana rasa kasih sayang atau silaturahmi antara ayah, ibu, anak, dan seluruh anggota keluarga lainnya. Sejumlah penelitian ilmiah, di antaranya penelitian Stinnet, J DeFrain pada 1987, membuktikan bahwa seseorang yang dibesarkan dalam keluarga yang tidak religius akan mendapatkan resiko yang lebih besar untuk terlibat dalam berbagai bentuk tindak kekerasan daripada mereka yang dibesarkan dalam keluarga yang religius. Apa makna kerukunan? Pengalaman konkret saya bergelut dalam upaya membangun kerukunan dan perdamaian melalui kerjasama masyarakat agama-agama menyimpulkan bahwa kerukunan itu adalah sebuah kondisi yang memenuhi paling tidak lima prinsip berikut: 1. Prinsip penghargaan terhadap semua manusia tanpa kecuali. Sebab, manusia adalah makhluk Tuhan yang paling mulia, makhluk yang memiliki harkat dan martabat. Apa pun agama dan kepercayaan seseorang, dia haruslah dihargai, baik sebagai manusia maupun sebagai warga negara. 2. Prinsip kesetaraan semua manusia, tidak ada satu pun manusia yang boleh diperlakukan secara diskriminatif untuk alasan apa pun. 3. Prinsip keadilan bagi semua manusia tanpa kecuali. Adil adalah pemenuhan hak-hak asasi manusia yang paling mendasar, seperti hak hidup, hak kebebasan beropini, hak kebebasan beragama, hak properti dan hak kesehatan reproduksi. 4. Prinsip pemenuhan kebutuhan dasar manusia, penghapusan kemiskinan, kelaparan, pengangguran, semua penyakit menular yang membahayakan. 5. Prinsip pemenuhan rasa aman, mencegah konflik, perang, dan segala bentuk teror yang membuat manusia merasa tidak aman. Kehidupan bangsa Indonesia dengan umatnya yang pluralis itu harus diwujudkan dalam suasana kehidupan yang penuh kasih sayang antar sesama umat manusia, dengan mewujudkan terlebih dahulu inklusivisme, kedamaian, dan kerukunan secara tulus di antara mereka. Kerukunan antar umat beragama yang pluralis di Indonesia tidak hanya berada pada tataran yang ideal, hanya berupa konsep, ide, rencana, rumusan-rumusan semata, yang dihasilkan dalam berbagai kesempatan yang dilakukan oleh berbagai tokoh umat beragama. Pada tataran wacana, semua konsep yang dikemukakan sangat bagus, semua ide yang dikemukakan sangat menarik, tetapi dalam tataran aplikasinya ide-ide dan cita-cita kerukunan yang diharapkan, belum sepenuhnya terpenuhi. Hal ini, antara lain, disebabkan belum tersosialisasinya ide-ide itu dalam tataran akar rumput, yang merupakan mayoritas terbesar dari umat ini, atau boleh jadi karena tataran akar rumput belum mampu memahami universalitas agama, yang mengandung nilai-nilai yang umum dan universal. Dalam rangka itu, sangat dituntut dari semua tokoh umat beragama dan penghayat kepercayaan untuk terus menerus melakukan upaya-upaya mensosialisasikan prinsip-prinsip agama-agama yang universal yang tidak hanya berlaku untuk suatu agama yang dianut oleh umat tertentu, tetapi juga terkandung di dalam agama-agama lain yang dianut oleh umat-umat yang lain, walaupun diakui dan disadari sepenuhnya bahwa dalam hal-hal tertentu terdapat titik-titik substansial tertentu yang sangat prinsipal pada setiap agama, yang tidak mungkin dapat disatukan. Titik-titik substansial itu tidak boleh menimbulkan hal-hal yang dapat menggoyah kerukunan di antara umat beragama. Upaya-upaya konkret yang harus dilakukan oleh para tokoh umat beragama dalam mewujudkan kerukunan dapat dilakukan melalui cara-cara berikut: Pertama, menumbuhkan rasa persatuan dan kesatuan dalam keragaman. Pluralitas agama dalam kehidupan bangsa Indonesia tidak boleh menimbulkan perpecahan dan perselisihan, apalagi perceraian di antara umat bergama. Rasa persatuan dan kesatuan harus ditanamkan dan ditumbuhkan dalam setiap diri individu umat beragama dalam rangka mencapai tujuan bersama dalam menciptakan kerukunan, kedamaian, dan ketenangan di antara sesama anak bangsa, tanpa ada rasa perbedaan antara satu dengan lainnya. Kita sama-sama tahu bahwa sila pertama dari Pancasila, yaitu Ketuhanan Yang Maha Esa, telah menyatukan umat agama dalam satu kesatuan, yaitu ketuhanan. Keragaman agama yang dianut oleh masing-masing umat beragama tidak boleh menghilangkan rasa persatuan dan kesatuan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Kita harus menyadari dan menyadarkan umat kita bahwa suatu agama bagi umatnya merupakan ikatan yang mengikat umatnya dengan nilai-nilai agama yang prinsipil di samping nilai-nilai agama yang universal, demikian pula agama-agama lainnya bagi umatnya masing-masing merupakan ikatan yang mengikat umatnya dengan nilai-nilai agama mereka yang prinsipil dan nilai-nilai agama yang bersifat universal. Nilai-nilai agama yang universal itulah yang harus menjadi pengikat di antara umat beragama. Sementara nilai-nilai luhur yang lahir dari budaya bangsa, seperti yang tertuang dalam UUD 1945 dan Pancasila menjadi alat pengikat dan pemersatu bangsa, tanpa memandang etnis, golongan, suku, maupun agama yang dianut. Kedua, membangun wacana agama yang toleran dan inklusif. Setiap penganut agama seharusnya tidak membuat agamanya sebagai sebuah wacana yang menakutkan dan menyeramkan penganut agama lain, sebaliknya penganut agama mampu menggambarkan agamanya sebagai agama yang menumbuhkan kasih sayang, tidak hanya di kalangan penganut agama itu sendiri, tetapi juga harus dapat menebarkan kasih sayang di antara penganut-penganut agama lainnya. Setiap agama, misalnya, mengakui bahwa setiap manusia, dari umat manapun dia berasal dan agama apa pun yang dia anut, harus dapat menciptakan kedamaian, keselamatan, dan ketenangan bagi orang lain. Para tokoh umat beragama harus mengembangkan wacana agama yang toleran dengan umat beragama yang lain dalam batas-batas toleransi yang ditentukan dalam setiap agama. Dalam pandangan Islam, ajaran agama merupakan rahmat bagi sekalian alam. Artinya, bahwa agama harus menciptakan kedamaian, keselamatan, dan ketenangan bagi semua orang. Wacana agama yang inklusif akan menjadi perekat yang mengikat hubungan antarumat beragama Wacana agama yang intoleran dalam suatu kehidupan masyarakat akan menimbulkan ketegangan-ketegangan di dalam kehidupan umat beragama itu sendiri, yang pada akhirnya akan menimbulkan pertikaian dan bahkan perpecahan di antara umat beragama. Kondisi seperti ini, jika tidak dapat diselesaikan secara dini, akan menimbulkan bahaya bagi persatuan dan kesatuan bangsa. Kehidupan umat beragama yang ekslusif dalam kehidupan sosial sebuah masyarakat akan menimbulkan jarak bahkan jurang di antara umat beragama, yang pada akhirnya membuka peluang bagi terwujudnya ketidakharmonisan di antara penganut agama dan penghayat kepercayaan. Ketiga, mengembangkan forum dialog antarumat beragama. Forum dialog merupakan sarana paling efektif untuk mengkomunikasikan berbagai masalah yang muncul di antara umat beragama di Indonesia. Pergaulan hidup sebuah masyarakat yang pluralis, tidak hanya dari sisi agama, tetapi juga etnis, pasti menimbulkan gesekan-gesekan sosiologis yang tidak terhindarkan, yang mungkin pada mulanya gesekan itu tidak berarti apa-apa, tetapi lama kelamaan akan dapat menjadi persoalan yang besar dan menimbulkan ancaman bagi kerukunan hidup di antara umat beragama. Apabila gesekan-gesekan sosiologis dapat secara dini diketahui lalu dikomunikasikan di antara tokoh umat beragama melalui forum dialog itu, maka gesekan-gesekan itu dapat diredam, dan dapat diselesaikan secara lebih dini. Dialog di antara tokoh umat bergama itu sudah banyak dilakukan, namun hasil-hasil dialog itu belum tersosialisasikan secara merata hingga di tingkat bawah, sehingga hasil-hasilnya hanya dapat diketahui oleh tingkat atas, sedangkan tingkat bahwa tidak kurang memehaminya. Oleh sebab itu, hasil-hasil dialog yang telah dicapai oleh setiap tokoh agama harus dikomunikasikan dengan umat di tingkat bawah. Berkaitan dengan forum dialog ini, saya mengusulkan beberapa model dialog: Pertama, dialog parlementer (parliamentary dialogue), yakni dialog yang melibatkan ratusan peserta. Dialog seperti ini cenderung memusatkan diri dalam penciptaan dan pengembangan kerjasama yang lebih baik di antara berbagai kelompok agama serta penggalangan perdaiaman di antara para pemeluk agama. Kedua, dialog kelembagaan (institutional dialouge), yaitu dialog di antara wakil-wakil institusi berbagai organisasi agama. Dialog model ini dimaksudkan untuk membicarakan dan memecahkan masalah-masalah mendesak yang dihadapi umat agama yang berbeda, disamping dimaksudkan untuk menciptakan dan mengembangkan komunikasi di antara wakil-wakil kelembagaan dari organisasi-organisasi agama. Ketiga, dialog teologi (theological dialogue), yaitu dialog yang bertujuan membahas persoalan-persoalan teologis dan filososfis, seperti Tuhan dalam perspektif Islam dan Kristen, dan juga membahas hal-hal yang lebih luas, seperti tradisi suatu keagamaan dalam konteks pluralisme. Keempat, dialog dalam masyarakat (dialogue in community) dan dialog kehidupan (dialogue of life) yang bertujuan untuk memecahkan hal-hal yang aktual dalam kehidupan bersama antar umat beragama, seperti hubungan antara agama dan negara, dan hak-hak minoritas agama. Kelima, dialog kerohanian (spiritual dialogue), yaitu dialog yang bertujuan untuk menyuburkan dan memperdalam kehidupan spiritual di antara berbagai agama. Model-model dialog seperti yang dikemukakan di atas, yang mempunyai tekanan dan tujuan yang berbeda-beda, akan sangat efektif untuk membantu mengatasi berbagai permasalahan yang timbul dan dihadapi oleh umat beragama. Karena semua persoalan dikomunikasikan dalam dialog itu, maka semua persoalan dapat diselesaikan lebih dini. Apabila forum dialog itu tidak dapat berjalan di antara umat beragama, maka setiap umat akan berjalan sendiri-sendiri tanpa memperdulikan peroslan-perslan yang dihadapoi oleh umat beragama yang lain. Keempat, rekonsiliasi dan kerjasama. Gesekan-gesekan yang timbul dalam kehidupan umat beragama di Indonesia pasti terjadi dan sulit dihindari sama sekali dan hal ini kadang-kadang menjadi sumber terjadinya pertikaian di antara umat beragama. Pertikaian-pertikaian yang muncul dapat segera diredam dan bahkan dapat diselesaikan secara dini di antara tokoh umat beragama. Pertikaian-pertikaian kecil yang terjadi di tingkat bawah tidak boleh dibiarkan berlarut-larut dan tidak boleh dipandang enteng oleh setiap tokoh umat beragama, karena kalau dibiarkan akan menjadi persoalan yang besar yang kapan saja bisa meledak dan menimbulkan musibah besar bagi persatuan dan kesatuan bangsa. Pertikaian-pertikaian yang sudah terjadi di antara umat bergama tidak boleh dibiarkan berlarut-larut dan harus segera diselesaikan secara bersama-sama oleh semua pihak, tidak hanya tokoh agama masing-masing, tetapi juga harus melibatkan semua unsur dalam sebuah kelompok, termasuk di dalamnya unsur pemerintah. Salah satu cara yang dilakukan adalah mengadakan rekonsiliasi di antara umat yang bertikai, dengan mengadakan kesepakatan bersama untuk mewujudkan kembali kedamaian dan kerukunan. Kerjasama di antara umat beragama dalam kehidupan berbangsa dan bernegara harus dapat diwujudkan. Kerjasama yang terjalin di antara mereka merupakan jembatan yang dapat menghubungkan penganut sebuah agama dengan penganut agama lainnya dalam sebuah kerangka kerjasama yang melibatkan berbagai unsur dalam setiap agama. Kerjasama dapat menumbuhkan saling pengertian dan saling percaya di antara umat beragama, dan sebaliknya dapat menghilangkan rasa curiga di antara satu dengan yang lainnya. Perlu kerjasama yang tulus dan konkret Kerukunan antar umat bergama dan penghayat kepercayaan dalam mewujudkan, memelihara, dan meningkatkan kedamaian di dalam kehidupan berbangsa dan bernegara tidak dapat diwujudkan secara optimal dalam realitas kehidupan sosial, apabila para tokoh umat beragama dan penghayat kepercayaan tidak bekerjasama secara tulus dan serius untuk mencapai tujuan itu. Para tokoh umat beragama sepenuhnya telah menyadari bahwa kedamaian, dan ketenangan merupakan dambaan setiap manusia, termasuk dambaan setiap umat beragama manapun. Setiap agama mengajarkan umatnya untuk hidup dalam kedamaian dan keselamatan. Tokoh-tokoh agama tidak hanya bertemu dan bertemu terus, tanpa mengaplikasikan hasil-hasil pertemuan itu dalam tataran bawah (grass root) di kalangan umat mereka masing-masing. Toleransi, inklusivisme, dan kerjasama dalam hal-hal yang universal sangat dituntut dalam kehidupan umat beragama, sepanjang semua pihak mengakui bahwa semua itu ditujukan untuk mencapai kelamatan, kedamaian, dan kesejahteraan bersama. Satu hal penting yang perlu diusulkan pada kesempatan ini ialah pembuatan Undang Undang Mengenai Kerukunan Umat Beragama dan Berkepercayaan. Undang-undang tersebut diperlukan untuk menentukan segala aturan main yang terkait dengan kehidupan umat beragama di Indonesia. Undang-undang itu akan mengatur apa yang boleh dilakukan dan apa yang tidak boleh dilakukan dalam tananan kehidupan keberagamaan masyarakat. Namun, perlu diingat bahwa undang-undang tersebut sungguh-sungguh mengedepankan nilai-nilai luhur Pancasila dan Konstitusi negara. Tetap mengacu kepada prinsip-prinsip hak asasi manusia, khususnya hak kebebasan beragama bagi semua warga negara tanpa kecuali. Sebaliknya, undang-undang tersebut tidak mengandung unsur-unsur diskriminatif terhadap kelompok minoritas agama, kelompok penghayat kepercayaan dan kelompok rentan lain di negeri ini. Adanya undang-undang tersebut, setidak-tidaknya dapat menjadi pedoman bagi semua umat beragama dan penghayat kepercayaan, tanpa pembedaan sedikit pun, mulai dari lapisan atas hingga lapisan bawah untuk bentindak sesuai dengan tuntunan undang-undang dimaksud. Dengan demikian, gesekan-gesekan yang terjadi di antara umat beragama dapat diminimalkan dan ini akan memberikan dampak yang efektif dalam meningkatkan kerukunan di antara umat beragama. Semoga ada manfaatnya Jakarta, 7 Sep 2013
KETAHANAN BANGSA DALAM PERSPEKTIF IDEOLOGI PANCASILA Oleh: Prof. Dr. SOEPRAPTO, M.Ed. Pengantar Ketahanan adalah suatu kemampuan untuk mempertahankan diri dari berbagai ancaman, tantangan, hambatan dan gangguan yang mengganggu eksistensi dan kelestarian suatu entitas. Seperti halnya manusia untuk tetap eksis dan tetap berlangsung segala aktifitasnya, diperlukan ketahanan jasmani dan ketahanan rohani. Berbagai macam penyakit selalu mengancam kesehatan manusia. Apabila manusia lengah tidak memiliki ketahanan dalam melawan penyakit tersebut, ia akan dirundung oleh kondisi yang sangat merugikan bagi kelangsungan dirinya, sehingga tidak mampu melakukan aktifitas yang akan membawa pada keberhasilan hidupnya. Tantangan yang dihadapi oleh manusia bukan hanya tantangan yang bersifat fisikal, tetapi justru yang utama adalah tantangan yang bersifat rohani. Nabi Muhammad saw menekankan setelah usainya perang Badar, bahwa masih terdapat perang yang lebih besar yakni perang terhadap nafsu pribadi. Oleh karena itu manusia tidak dapat membiarkan diri dipengaruhi oleh rayuan-rayuan yang hanya untuk memuaskan hawa nafsu. Perlu di-identifikasi secara cermat nafsu yang menjerumuskan manusia sehingga mengantar ke nestapa. Pada prinsipnya Tuhan secara alami telah membekali manusia dengan berbagai daya tahan pada manusia untuk melawan tantanganan-tantangan tersebut. Daya tahan tersebut merupakan kekuatan yang tersembunyi di balik eksistensi manusia yang selalu siap menghadapi tantangan. Orang akan jatuh sakit akibat kelengahan manusia tidak sigap dalam memanfaatkan daya tubuh dengan akurat dan tepat. Demikian pula halnya dengan negara-bangsa. Suatu bangsa sebagai suatu entitas juga akan menghadapi berbagai tantangan yang harus diidentifikasi secara cermat dan akurat, untuk selajutnya di antisipasi secara tepat pula. Perlu difahami daya tahan yang terdapat dalam bangsa untuk dapat dimanfaatkan secara tepat dan benar dalam mengantisipasi tantangan yang dihadapi. Dalam rangka membahas judul di atas perlu difahami (a) Makna bangsa, (b) Tantangan yang dihadapi bangsa, (c) Idelogi Pancasila sebagai daya tahan bangsa, dan (d) Ketahanan bangsa. 1. Makna Bangsa Konsep bangsa diduga baru lahir sekitar abad ke-18, mulai berkembang di Eropa, dan Amerika Utara, melebarkan sayapnya ke Amerika Latin dan Asia, dan kemudian ke Afrika. Bangsa, baru dikenal pada abad ke 19. Memang sebelum masa itu telah terdapat masyarakat yang mungkin sangat maju dan sangat berkuasa, tetapi tidak mencerminkan adanya suatu bangsa. Yang dikenal pada waktu itu adalah faham keturunan yang kemudian menciptakan dinasti-dinasti dan wangsa, yang berarti keluarga. Baru setelah terjadi revolusi Perancis pada akhir abad ke 18 dan permulaan abad ke 19 mulailah orang memikirkan masalah bangsa. Elie Kedourie dalam bukunya yang berjudul Nationalism, mengatakan bahwa :”Nationalism is a doctrine invented in Europe at the begimning of the nineteenth century.”[1] Paham nasionalisme sebagai doktrin baru ditemukan di Eropa pada permulaan abad ke sembilanbelas. Bangsa tidak terjadi atau lahir dengan sendirinya, tetapi melalui sejarah yang panjang, yang pada umumnya didorong oleh para elit masyarakat, yang menginginkan terbentuknya suatu bangsa. Para elit masyarakat tersebut pada umumnya berjuang dengan segala daya dan upaya tanpa kenal lelah sehingga idee terbentuknya negara-bangsa terwujud. Tidak dapat dipungkiri bahwa Deklarasi Kemerdekaan Amerika Serikat, yang melahirkan negara-bangsa Amerika Serikat, pada tanggal 4 Juli 1776, merupakan perjuangan dari Thomas Jefferson dan tokoh-tokoh pejuang kemerdekaan lainnya pada waktu itu. Demikian juga Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia, yang melahirkan negara-bangsa Indonesia, pada tanggal 17 Agustus 1945, merupakan perjuangan Ir. Soekarno dan the founding fathers yang lain sejak tahun 1908. Para pejuang yang mengusahakan terwujudnya negara-bangsa tersebut kemudian mengembangkan paham yang disebut paham kebangsaan atau nasionalisme. Akhirnya diperioleh suatu kesepakatan bahwa: Bangsa adalah sekelompok manusia yang mengadakan kesepakatan atau kontrak sosial, dan mengikatkan diri dalam satu kesatuan. Hal ini ditimbulkan oleh pengalaman dan perkembangan sejarah yang sama, dan/atau memiliki adat budaya yang sama yang dipegang teguh sehingga merupakan identitas dari kelompok manusia tersebut, serta memiliki cita-cita yang ingin diwujudkan bersama. Terdapat persyaratan suatu kelompok masyarakat atau komunitas untuk disebut negara-bangsa, yaitu: a. Memiliki cita-cita bersama yang mengikat warganya menjadi satu kesatuan. b. Memiliki sejarah hidup bersama, sehingga tercipta rasa senasib sepenanggungan. c. Memiliki adat budaya, kebiasaan yang sama sebagai akibat pengalaman hidup bersama. d. Memiliki karakter atau perangai yang sama yang mempribadi dan menjadi jatidirinya. e. Menempati suatu daerah tertentu yang merupakan kesatuan wilayah. f. Terorganisasi dalam suatu pemerintahan yang berdaulat, sehingga warga bangsa ini terikat dalam suatu masyarakat hukum menjadi negara-bangsa (nation state)[2] Negara Indonesia memenuhi syarat sebagai suatu negara-bangsa, dengan alasan sebagai berikut: Ø Bahwa penduduk yang menempati ribuan kepulauan yang terletak antara samudera India dan samudera Pasifik, dan di antara dua benua Asia dan Australia, membentuk satu kesatuan geopolitik, sehingga memenuhi syarat bagi terbentuknya suatu negara-bangsa, yang bernama Indonesia, dan telah dikukuhkan sebagai anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa. Ø Bahwa negara-bangsa Indonesia memiliki ciri khusus berupa karakter atau perangai, gagasan dasar yang melandasi, yang merupakan pribadi negara-bangsa yaitu Pancasila dasar negara, ideologi dan pandangan hidup bangsa, bendera Sang Merah Putih, lagu kebangsaan Indonesia Raya, lambang negara Bhinneka Tunggal Ika, serta bahasa Indonesia. Ø Terbentuknya rasa kebangsaan yang melahirkan paham kebangsaan, untuk selanjutnya menjadi pendorong atau semangat kebangsaan yang bermuara pada berkembangnya wawasan kebangsaan. Dengan berlangsunnya interaksi antar anggota/warga bangsa dalam kehidupan bersama utamanya dalam mencari solusi yang dihadapi, tumbuh dan berkembang rasa yang menyatukan dan mengikat warga bangsa. Rasa tersebut adalah rasa kebangsaan, yaitu: Suatu perasaan yang tumbuh sebagai akibat kesadaran warga yang mengikat anggota warga bangsa menjadi satu kesatuan secara alami berkat sejarah dan/atau aspirasi yang dimiliki bersama. Rasa kebangsaan ini menumbuhkan rasa persaudaraan dan persatuan yang bermuara pada tumbuh kembangnya kesamaan pandangan, harapan dan tujuan bangsa. Rasa kebangsaan inilah yang mengkristal menjadi jatidiri bangsa, yang memanifestasikan diri menjadi: Ø Rasa persaudaraan, rasa kebersamaan, rasa senasib sepenanggungan, rasa kepedulian, rasa empati. Ø Rasa menyatunya diri dengan bangsa dengan adagium “tat twam asi,” aku adalah bangsa Indonesia dan bangsa Indonesia adalah aku. Ø Sense of belonging, sense of participation, and sense of responsibility. Ø Rasa melu handarbeni, rasa melu hangrungkebi, mulat sarira hangrasa wani. Sura dira jayaningrat lebur dening pangastuti, yaitu: Ø suatu perasaan ikut memiliki serta merasa dirinya merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari bangsanya; Ø suatu perasaan ikut berpartisipasi dalam menjaga eksistensi, keselamatan dan kokoh kuatnya bangsa; Ø suatu perasaan ikut bertanggung jawab terhadap tumbuh kembang dan kejayaan bangsa, dengan selalu berpegang teguh pada prinsip mawas diri dalam mengambil tindakan secara etis. Rasa kebangsaan ini akan mewujud atau mengejawantah dalam suatu tindakan atau perbuatan apabila didorong oleh semangat kebangsaan, yakni Semangat yang merupakan daya dorong untuk bertindak mengacu pada paham kebangsaan atau nasionalisme berdasar pada Pancasila, UUD 1945, Negara Kesatuan Republik Indonesia, dan Bhinneka Tuinggal Ika, yang bermuara dan teraktualisasi dalam bentuk rasa cinta yang tinggi serta rela berkorban demi kepentingan negara-bangsa. Rasa kebangsaan ini akhirnya mewujud dalam bentuk gagasan dasar yang dijadikan pola pikir, pola sikap dan pola tingkah laku secara konsisten dalam menghadapi lingkungan, dalam mencapai tujuan bersama, yang mengkristal menjadi paham kebangsaan, atau nasionalisme. Dengan demikian: Paham kebangsaan, atau nasionalisme merupakan aktualisasi rasa kebangsaan dalam bentuk gagasan dasar yang dijadikan pola pikir, pola sikap dan pola tingkah laku masyarakat secara konsisten dalam menghadapi lingkungan dan dalam mencapai tujuan bersama. Nasionalisme atau paham kebangsaan adalah suatu paham yang menjadi doktrin, untuk dilaksanakan dalam kehidupan. Nasionalisme atau paham kebangsaan adalah suatu paham yang memiliki doktrin, untuk dilaksanakan dalam kehidupan. Doktrin tersebut adalah : a. Loyalitas utama rakyat dalam kehidupan duniawi (the supreme secular loyalty) ditujukan kepada negara-bangsa dan bagi kepentingan negara-bangsa; kepentingan negara-bangsa didudukkan di atas kepentingan pribadi dan golongan. b. Setiap warganegara dituntut memiliki kesadaran yang tinggi bahwa dirinya merupakan unsur/bagian dari suatu kelompok manusia yang namanya bangsa, serta merasa bangga akan negara-bangsanya. c. Setiap warga negara dituntut memiliki solidaritas dan empati yang tinggi pada segala unsur yang membentuk negara-bangsa. d. Setiap warganegara dituntut untuk mencintai negara-bangsanya dan rela berkorban demi negara-bangsanya. Bila rasa kebangsaan, paham kebangsaan dan semangat kebangsaan ini telah menyatu dan menjadi sudut pandang bangsa dalam mengantisipasi segala persoalan bangsa maka berkembanglah menjadi wawasan kebangsaan. Wawasan kebangsaan adalah cara pandang bangsa Indonesia dalam mengantisipasi permasalahan yang dihadapi dengan berdasar pada falsafah dan ideologi Pancasila, landasan legal UUD 1945, struktur kelembagaan Negara Kesatuan Republik Indonesia, dan sesanti Bhinneka Tunggal Ika. Terdapat rumusan-rumusan atau frase-frase dalam Pembukaan UUD 1945 yang dipergunakan sebagai ciri wawasan kebangsaan bangsa Indonesia sebagai berikut: Ø Pada alinea pertama disebut bahwa “kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa. Ø Pada alinea ketiga disebut: “Atas berkat rakhmat Allah Yang Maha Kuasa dan dengan didorongkan oleh keinginan luhur, supayaberkehidupan kebangsaan yang bebas, maka rakyat Indonesia menyatakan dengan ini kemerdekaannya.” Ø Pada alinea keempat terdapat: “Kemudian daripada itu untuk membentuk suatu Pemerintah Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskankehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial, maka disusunlah Kemerdekaan Kebangsaan Indonesia itu dalam suatu Undang-Undang Dasar Negara Indonesia, yang terbentuk dalam suatu susunan Negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat dengan berdasar kepada Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang adil dan beradab, Persatuan Indonesia dan Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan, serta dengan mewujudkan Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.” Dari frase-frase yang terdapat dalam Pembukaan UUD 1945 tersebut nampak dengan jelas bahwa yang ingin direalisasikan dengan kemerdekaan Indonesia adalah kemerdekaan kebangsaan Indonesia, yang ingin diwujudkan di antaranya adalah mencerdaskan kehidupan bangsa, yang menjadi perhatian dalam hidup bernegara adalah segenap bangsa Indonesia. Dengan demikian dalam hidup menegara bagi bangsa Indonesia yang diutamakan adalah kepentingan negara-bangsa. Hal ini diperkuat dengan dasar negara, khususnya sila ketiga, yang harus melandasi segala kegiatan kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Meskipun demikian harkat dan martabat manusia harus dihormati, sebagaimana ditegaskan dalam sila kedua, sehingga yang ingin diwujudkan dengan wawasan kebangsaan Indonesia adalah terjadinya keselarasan, keserasian, dan keseimbangan dalam merealiasikan berbagai tuntutan dari para pemangku kepentingan,stakeholders, dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Dengan cara demikian maka harmoni dalam pemenuhan kepentingan pribadi dan negara-bangsa akan terwujud dalam hidup menegara yang berwawasan kebangsaan Indonesia. Pegangan dalam mengimplementasikan wawasan kebangsaan bagi bangsa indonesia dapat pula merujuk pada misi yang diemban negara-bangsa Indonesia. Terdapat empat misi atau embanan bangsa, yakni: a. Melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia; b. Memajukan kesejahteraan umum; c. Mencerdaskan kehidupan bangsa; dan d. Ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial. Dalam rangka memahami wawasan kebangsaan perlu pula dipahami pengertian wawasan nusantara. Wawasan kebangsaan dan wawasan nusantara merupakan dua sisi dari satu mata uang. Wawasan Nusantara adalah: Cara pandang dan sikap bangsa Indonesia mengenai diri dan lingkungannya, dengan mengutamakan persatuan dan kesatuan wilayah dalam penyelenggaraan hidup bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Cara pandang bangsa berdasar pada konsep kewilayahan; bahwa Negara Republik Indonesia merupakan negara kepulauan, yang membentang dari Sabang sampai Merauke dan dari pulau Miangas sampai pulau Rote merupakan suatu kesatuan yang utuh. Selat dan laut yang terbentang antara pulau bukan sebagai pemisah tetapi menjadi penghubung pulau-pulau tersebut menjadikan kesatuan. Segala hal ihwal yang terdapat di dalam wilayah tersebut merupakan suatu kesatuan yang terwujud dalam delapan dimensi yang disebut astha gatra. Apabila rasa kebangsaan, semangat kebangsaan, paham kebangsaan, wawasan kebangsaan dan wawasan nusantara telah tumbuh dan mengakar dalam diri setiap manusia Indonesia akan menjadi daya tahan yang ampuh dalam menghadapi segala macam ancaman, tantangan, hambatan dan gangguan. Oleh karena itu perlu diusahakan dengan sepenuh hati agar setiap manusia Indonesia memiliki rasa, semangat, paham dan wawasan kebangsaan yang kuat dalam memperkokoh ketahanan bangsa yang dilandasi oleh ideologi Pancasila. Setiap manusia Indonesia wajib memahami makna dan hakikat Pancasila, serta konsep yang terdapat di dalamnya. 2. Konsep yang terdapat dalam Pancasila Konsep yang terkandung dalam Pancasila terbagi menjadi konsep yang berkaitan dengan hakikat eksistensi manusia, dan konsep yang berkaitan dengan tata hubungan manusia dengan lingkungannya. a. Konsep tentang Hakikat Eksistensi Manusia. Konsep tentang hakikat eksistensi manusia ini menduduki posisi sangat sentral, karena tanpa mengetahui hakikat eksistensi manusia, kita tidak mungkin memahami dan mampu mendudukkan manusia sesuai dengan harkat dan martabatnya. Konsep yang lain merupakan derivasi dari konsep pokok ini. Eksistensi manusia tidak terlepas dari eksistensi alam semesta. Oleh karena itu untuk memahami hakikat eksistensi manusia perlu memahami hakikat eksistensi alam semesta. 1) Eksistensi Alam Semesta (Konsep MEAS – Abdulkadir Besar) a) Terdapat tiga tesis ontologik dalam memahami hakikat alam semesta, sebagai berikut: Ø Dalam alam semesta tidak ada satu fenomena yang mandiri, berdiri sendiri terpelas dari fenomena lain; Ø Ada itu bermakna memberi, hal ini merupakan suatu evidensi; Ø Suatu pendapat adalah benar, hanya apabila ia bersamaan dengan segenap relasi yang berkaitan dengannya. b) Manusia ada, sebagai suatu fenomena, selalu dalam relasi dengan fenomena yang lain. Ia tidak berdiri sendiri, tetapi selalu terikat dengan fenomena lain dalam suatu integritas. c) Relasi ini menampakkan diri dalam bentuk suatu interaksi saling memberi antar fenomena, yang berfungsi terciptanya sesuatu yang baru (novum). Sehingga suatu totalitas antar fenomena memiliki makna lebih dari keseluruhan kumpulan fenomena tersebut. Dalam alam semesta, fenomena yang berelasi ekuivalen merakit diri secara organik memunculkan jenjang baru yang integral. d) Pemeliharaan eksistensi alam semesta dimungkinkan adanya relasi kendali a-simetrik, yang didorong oleh energi yang terkandung pada setiap fenomena sesuai dengan fungsi dari setiap fenomena. Rakitan fenomena yang berenergi, yang berjenjang ke atas dan ke bawah tak terhingga itulah yang memungkinkan alam semesta eksis. e) Ada adalah memberi dengan asumpsi bahwa fenomena yang diberi akhirnya dapat melaksanakan hakikat eksistensinya, yakni memberi pada fenomena yang lain. f) Hakikat eksistensi manusia bersifat becoming, yang akan mengalami perkembangan dengan lingkungannya. (Soerjanto). Dari thesa-thesa yang dikemukakan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa hakikat eksistensi manusia adalah dalam kebersamaan, dan adanya saling ketergantungan. Terjadi proses interaksi antar unsur kehidupan bersama. Pancasila memberikan arahan bahwa eksistensi manusia selalu dalam relasi dengan Tuhannya, dengan sesama manusia, dengan masyarakat dan negara-bangsanya dan dengan dunia serta alam semesta. Berpegang pada konsep tersebut di atas, bangsa Indonesia memiliki karakter, bahwa dalam membawa diri manusia harus selalu sadar dan mendudukkan diri sebagai makhluk Tuhan, manusia wajib berusaha, tetapi selalu ridho terhadap apapun yang telah ditentukan oleh Tuhan, selalu menjaga keseimbangan dan harmoni, kebersamaan dengan makhluk ciptaan Tuhan yang lain, dan selalu mengusahakan terjadinya kelestarian lingkungannya. Manusia harus merasa sejahtera sebagai makhluk pemberi daripada sebagai makhluk peminta-minta. Keterangan : MEAS singkatan Mantikan Existensi Alam Semesta 2) Konsep Pluralistik Pancasila mengandung konsep kehidupan yang pluralistik baik ditinjau dari keanekaragaman suku bangsa, etnik, agama, maupun adat budaya. Sesuai dengan konsep bhinneka tunggal ika, maka dalam keanekaragaman ini terdapat watak bersama atau common denominator. Bung Karno menyebutnya sebagai de grootste gemene deeler dan de kleinste gemene veelvoud.(persekutuan pembagi terbesar dan persekutuan kelipatan terkecil). Dengan kata lain bahwa keanekaragaman ini bukan sebagai sumber perpecahan, disintegrasi, tetapi terikat dalam persatuan dan kesatuan. Dalam memberi makna akan bhinneka tunggal ika perlu diusahakan terjadinya keseimbangan antara keanekaragaman dan kesatuan, antara kepentingan pusat dan daerah. Keadilan akan terwujud bila pluralitas didudukkan secara proporsional dalam keseimbangan. Dari pandangan konsep pluralistik tersebut di atas maka Pancasila tidak sefaham dengan asas individualisme dan pluralisme yang mengagung-agungkan kepentingan pribadi, dan bahwa yang penting dalam kehidupan adalah terpenuhinya kepentingan pribadi. Pancasila mendudukkan pribadi sesuai dengan harkat dan martabat manusia dalam hidup kebersamaan, dan memandang sifat pluralistik masyarakat dalam persatuan dan kesatuan bangsa. Konsep pluralistik merupakan salah satu unsur karakter bangsa, yang akan nampak dalam sikap dan perilaku bangsa; bahwa seseorang dalam mengejar cita-cita harus menghormati pula cita-cita yang dituntut oleh pihak lain. Dapat saja cita-cita yang kita tuntut berbeda dengan cita-cita yang dituntut oleh pihak lain. Bahkan mungkin suatu perkara kita pandang sebagai suatu kebaikan dan keadilan, memberikan kenikmatan pada kita, dipandang oleh pihak lain sebagai keburukan dan kenestapaan. 3) Konsep Harmoni atau Keselarasan Alam semesta tertata dalam keselarasan, masing-masing unsur yang membentuk alam semesta berelasi dalam harmoni, sehingga terjamin kelestarian. Setiap unsur yang terdapat dalam alam semesta memiliki fungsi sesuai dengan kodrat bawaannya. Kewajiban setiap unsur tersebut adalah merealisasikan fungsi yang diembannya. Setiap unsur alam semesta dalam merealisasikan fungsinya, memanifestasikan potensi yang menjadi bekal pada lingkungannya. Dengan menunaikan kewajiban yang menjadi fungsinya maka tiap-tiap unsur memperoleh hak yang sepadan dengan fungsi yang diembannya. Terjadilah keserasian antara kewajiban dan hak, antara kewajiban asasi dan hak asasi. Apabila masing-masing unsur dalam alam semesta ini telah menunaikan fungsinya secara tepat dan benar, maka akan terjadi ketertiban, keteraturan, ketenteraman dan kedamaian. Yang terasa adalah adanya kenikmatan dalam tata hubungan. Demikianlah, apabila antara individu, masyarakat, negara-bangsa dan dunia dapat menempatkan diri secara tepat dan benar dalam tata hubungan sesuai dengan potensi alami yang dibawanya, maka akan tercipta harmoni atau keselarasan. Kekuatan yang menjadi modal dari setiap unsur bukan saling beradu untuk mencari menangnya sendiri, tetapi berpadu menjadi kekuatan yang sinerjik. Yang akan terasa adalah kenikmatan dalam kehidupan. Keserakahan tidak terjadi, pemerasan antar unsur tidak nampak, dengan demikian keadilan dan kesejahteraan akan terwujud. Perlu dicatat bahwa konsep harmoni bukan suatu konsep yang statis, beku, tetapi merupakan konsep yang dinamis. Konsep harmoni ini mewarnai karakter bangsa kita. 4) Konsep Gotong Royong dan Kekeluargaan Dalam pidatonya pada tanggal 1 Juni 1945 di depan BPUPKI, Ir Soekarno di ataranya mengemukakan tentang dasar negara sebagai berikut: Jikalau saya peras yang lima menjadi tiga, dan yang tiga menjadi satu, maka dapatlah saya, satu perkataan Indonesia yang tulen, yaitu perkataan Gotong Royong. Negara Indonesia yang kita dirikan haruslah negara gotong royong! Alangkah hebatnya! Negara Gotong Royong. Gotong Royong adalah faham yang dinamis, lebih dinamis dari kekeluargaan, saudara-saudara. Kekeluargaan adalah faham yang statis, tetapi gotong royong menggambarkan satu usaha, satu amal, satu pekerjaan, yang dinamakan anggota yang terhormat Soekarjo satu karyo, satu gawe. Marilah kita menyelesaikan karyo, gawe, pekerjaan, amal ini, bersama-sama. Gotong royong adalah pembantingan-tulang bersama, pemerasan keringat bersama, perjuangan bantu-binantu bersama. Amal semua buat kepentingan semua, keringat semua buat kebahagiaan semua. Holopis kuntul baris buat kepentingan bersama. Itulah Gotong Royong. Prinsip Gotong Royong di antara yang kaya dan yang tidak kaya, antara yang Islam dan yang Kristen, antara yang bukan Indonesia tulen dengan peranakan yang menjadi bangsa Indonesia. Demikianlah pandangan Ir. Soekarno mengenai konsep gotong royong yang beliau sebut sebagai suatu prinsip. Gotong royong adalah konsep dalam hidup bermasyarakat yang menggambarkan adanya bentuk kerjasama dengan ciri sebagai berikut : Ø Semua yang terlibat dalam kehidupan bersama, memberikan saham sesuai dengan kemampuan masing-masing dalam mencapai tujuan bersama. Masing-masing bekerja dengan sepenuh hati dalam kerja sama tersebut. Ø Hasil kerja sama ini adalah untuk kepentingan bersama, kebahagiaan bersama. Ø Dalam gotong royong tidak terjadi exploitation de ‘l homme par ‘l homme. 5) Konsep Kekeluargaan Faham kekeluargaan merupakan faham yang berkembang pada bangsa Timur termasuk Indonesia. Dapat kita amati faham kekeluargaan ini di India, Cina, dan Jepang. Salah satu ciri faham kekeluargaan ini adalah adanya penghormatan dan penghargaan pada orang tua, guru dan figur yang dipandang sebagai sesepuh, yang secara prerogatif memiliki hak-hak tertentu (termanifestasi dalam penghormatan orang tua, voorouder verering). Dengan faham kekeluargaan diharapkan terjadinya keselarasan dan keserasian dalam hidup bersama; kepentingan keluarga lebih utama dari kepentingan pribadi. Pandangan semacam ini yang sering menimbulkan pertentangan antara res privata dengan res publika. Dalam kehidupan yang bersendi kekeluargaan tidak membedakan antara kepentingan pribadi dan kepentingan umum, karena setiap pribadi dalam keluarga itu adalah keluarga itu sendiri. Paham kekeluargaan memang bukan faham individualisme yang mementingkan kepentingan individu di atas kepentingan umum. Paham kekeluargaan memberikan nuansa terhadap karakter bangsa, meskipun akhir-akhir ini faham kekeluargaan mengalami distorsi diakibatkan oleh maraknya faham individualisme yang kaku. 6) Konsep Integralistik Faham integralistik bermula timbul dari gagasan Dr. Soepomo yang disampaikan di depan Sidang BPUPKI pada tanggal 30 Mei 1945. Konsep yang diajukan oleh Dr.Soepomo ini kemudian terdapat dalam Penjelasan UUD 1945 dengan rumusan sebagai berikut: Negara –begitu bunyinya- melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dengan berdasar atas persatuan dengan mewujudkankeadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Dengan pembukaan ini diterima aliran pengertian negara persatuan, negara yang melindungi dan meliputi segenap bangsa seluruhnya. Jadi negara mengatasi segala paham golongan, mengatasi segala paham perorangan. Negara, menurut pengertian pembukaanitu menghendaki persatuan, meliputi segenap bangsa Indonesia seluruhnya. Inilah suatu dasar negara yang tidak boleh dilupakan. Catatan: Dengan perubahan UUD 1945, Penjelasan UUD 1945, tidak merupakan bagian UUD 1945 lagi. Namun sebagai penjelasan terhadap Pembukaan UUD 1945, kami pandang bermakna penting. Aliran pengertian negara persatuan seperti yang dimaksud dalam Penjelasan UUD 1945 ini tiada lain adalah faham integralistik seperti yang dimaksud dalam pidato DR. Soepomo di depan BPUPKI, suatu faham yang mengatasi faham individualisme atau perorangan maupun faham kolektivisme atau faham golongan. Seluruh komponen yang terlibat dalam kehidupan masyarakat dalam berbangsa dan bernegara membentuk suatu kesatuan yang integral. Konsep integralistik ini dikembangkan oleh Abdulkadir Besar, di antaranya sebagai berikut: Ø Antara negara dan rakyat terjalin oleh relasi saling tergantung. Interaksi saling-memberi antargolongan yang ada dalam masyarakat melahirkan negara; sebaliknya negara dengan relasi kendali a-simetriknya menyelenggarakan pengetahuan yang menjamin berlangsungnya interaksi saling memberi. Ø Anggota masyarakat memandang negara sebagai dirinya sendiri yang secara kodrati berelasi saling tergantung; sebaliknya negara memandang warganegaranya sebagai sumber genetik dirinya. Ø Antara rakyat dan negara tidak terdapat perbedaan kepentingan. Ø Yang berdaulat adalah seluruh rakyat bukan individu. Ø Kebebasan manusia adalah kebebasan relasional. Ø Putusan yang akan diberlakukan pada seluruh rakyat sewajarnya melalui proses musyawarah untuk mufakat. 7) Konsep Kerakyatan Kerakyatan atau demokrasi adalah suatu konsep yang terjabar dari suatu pandangan bahwa kedaulatan dalam hidup bernegara terletak di tangan rakyat, sehingga kekuasaan dan kewenangan yang diperlukan dalam mengatur suatu pemerintahan bersumber atau berasal dari rakyat. Persoalan yang timbul adalah bagaimana tata cara penyaluran kedaulatan yang ada pada rakyat sampai berupa kewenangan untuk memerintah. Lembaga negara apa saja yang diperlukan untuk merealisasikan kedaulatan rakyat tersebut, serta bagaimana tata kerja antar lembaga agar kedaulatan yang terletak di tangan rakyat tersebut dapat terealisasi dengan sepatutnya. Di samping itu bagaimana keputusan yang menyangkut hajat hidup orang banyak dapat ditentukan sehingga dapat terwujud keadilan dan kesejahteraan bagi seluruh rakyat. Abdulkadir Besar menyatakan tentang kerakyatan atau demokrasi ini sebagai berikut: Ø Yang berdaulat adalah seluruh rakyat bukan individu; Ø Kebebasan manusia adalah kebebasan-relasional; Ø Untuk mendapatkan putusan yang akan diberlakukan pada seluruh rakyat sewajarnya melalui proses musyawarah untuk mufakat; Ø Dengan prinsip saling memberi bermakna ikhlas mengakui kebenaran orang lain, berpasangan dengan berani mengakui kesalahan atau kekhilafan sendiri; Ø Dengan berlangsungnya interaksi saling-memberi antar pendapat yang berbeda muncullah novum yang berupa pendapat terbaik dari sejumlah pendapat yang berbeda mengenai hal yang sama; Ø Selanjutnya dikemukakan bahwa kerakyatan adalah berasa, berfikir, bersikap, dan kesediaan berbuat sesuai dengan keinsyafan keadilan rakyat. 8) Konsep Kebangsaan Rakyat Indonesia mengaku sebagai suatu bangsa yang berkembang sejak permulaan abad ke-20. Memang ada yang berpendapat bahwa perjuangan kebangsaan telah terjadi pada zaman Sriwijaya dan zaman Majapahit. Pendapat tersebut mungkin bersifat sangat politis. Menurut konsep akademik, perjuangan rakyat untuk mewujudkan suatu bangsa baru bermula dengan lahirnya pergerakan nasional Budhi Oetomo, pada tahun 1908, yang dipandang sebagai tonggak sejarah (corner stone) kebangkitan bangsa Indonesia. Perjuangan ini mengkristal menjadi suatu sumpah yang diucapkan oleh para pemuda pada tahun 1928, dengan menyatakan bahwa rakyat yang terserak dari Sabang sampai Merauke adalah suatu bangsa yang bernama Indonesia. Sumpah tersebut menjadi suatu kenyataan dengan diproklamasikannya Negara Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945, suatu negara-bangsa yang berwujud Negara Kesatuan Republik Indonesia. Tekad rakyat ini mengandung konsekuensi bahwa kepentingan negara-bangsa didudukkan di atas kepentingan pribadi dan golongan. Suatu keputusan bangsa memiliki kedudukan di atas kepentingan golongan dan pribadi. Tekad ini memerlukan pengorbanan, apalagi di masa sedang menggebu-gebunya perjuangan untuk menegakkan hak asasi manusia. Penegakan hak asasi manusia tidak perlu dipertentangkan dengan kepentingan negara-bangsa, karena rakyat itulah bangsa itu sendiri. Rakyat tidak terpisahkan dari negara-bangsanya. Suatu konsep yang berusaha untuk menciptakan polarisasi antara individu dan negara-bangsanya adalah suatu konsep yang tidak sesuai dengan konsep negara persatuan. Mengenai konsep kebangsaan ini Sri Sultan H.B.X menyatakan sebagai berikut: “Karena itu kebangsaan Indonesia yang berideologikan Pancasila harus bersifat inklusif serta egalitarian dalam bidang politik, budaya dan ekonomi yang dapat diwujudkan dan dipelihara secara dinamis, bila terdapat distribusi kekuasaan yang relatif seimbang di antara semua unsur bangsa pendukungnya.” Konsep kebangsaan dewasa ini memerlukan pemikiran secara lebih cermat dan mendalam khususnya dalam menghadapi tantangan global dan disintegrasi bangsa. Tanpa adanya konsep yang kuat mengenai kebangsaan, kehancuran negara-bangsa telah ada di depan mata, baik berupa leburnya negara-bangsa yang tidak memiliki harga diri lagi dalam dunia global, maupun akan terpecah belahnya negara-bangsa menjadi negara negara kecil. 9) Konsep monodualistik dan monopluralistik Monodualis berasal dari dua kata mono yang berarti satu dan duo yang berarti dua, sehingga konsep monodualis bermakna bahwa alam semesta ini pada hakikatnya terdiri atas dua unsur yang terikat menjadi suatu kesatuan. Waktu di dunia terdiri atas siang dan malam, manusia terdiri atas jenis priya dan wanita, kehidupan terdiri atas kehidupan di dunia dan akhirat, dan masih banyak lagi. Dua unsur tersebut terikat menjadi kesatuan. Ketiada hadiran salah satu dari unsur tersebut maka berakhirlah atau tiada bermaknanya eksistensi hal ihwal tersebut. Tuhan menciptakan alam semesta dalam wujud dua unsur yang saling terikat menjadi suatu kesatuan untuk dapat memberikan makna terhadap eksistensinya. Sebagai contoh listrik terdiri atas unsur positif dan negatif. Kehadiran unsur positif atau negatif saja tidak akan memberikan makna, tetapi bila dua unsur tersebut terikat dalam bentuk kesatuan akan menjadikan kekuatan yang luar biasa. Demikian pula halnya dengan manusia. Manusia terdiri atas unsur jasmani dan rokhani. Dengan menyatunya unsur jasmani dan rohani pada manusia maka akan terwujud makhluk yang memiliki makna dan kemampuan yang luar biasa. Terlepas atau terpisahnya unsur tersebut maka berakhirlah eksistensi manusia. Demikian juga kehidupan manusia merupakan suatu kesatuan antara kehidupan duniawi dan akhirat. Tanpa pengakuan akan adanya kehidupan yang monodualis ini maka kehidupan manusia tidak bermakna dan akan menjadi barbaris, tidak berakhlak, anarkhis dan anomis. Demikian pula halnya dengan hal-hal yang lain. Namun hakikat alam semesta juga monopluralis yang bermakna bahwa fenomena yang nampak pada alam semesta bersifat banyak atau beraneka ragam, tetapi hakikatnya adalah satu. Bahwa dalam keaneka ragaman tersebut terdapat suatu watak bersama (common denominator)yang mengikat menjadi kesatuan. Konsep-konsep tersebut di atas merupakan kebenaran yang diakui oleh bangsa Indonesia dan dijadikan acuan dalam berpola fikir, berxsikap dan bertingkah laku. b.Konsep Tata Hubungan Manusia dengan Alam Sekitar a) Konsep Religiositas Alam semesta dengan segala isinya ada dan begerak, tumbuh dan berkembang oleh suatu kekuatan gaib, yang manusia sendiri tidak mampu untuk memahami dengan seksama. Berkembanglah konsep mengenai hal yang gaib tersebut. Sesuai dengan tingkat daya nalar manusia, diberikan gambaran mengenai hal yang gaib tersebut. Suatu ketika manusia beranggapan bahwa kekuatan gaib tersebut tersembunyi dalam segala sesuatu yang berbentuk besar seperti batu yang besar, pohon yang besar, gunung yang besar, lautan yang luas dan sebagainya. Manusia harus bersikap yang baik terhadap benda-benda tersebut bila ingin selamat. Tingkah laku yang tidak terpuji akan mengundang kemarahan kekuatan gaib yang tersembunyi di dalam benda-benda tersebut, dan berakibat yang tidak menyenangkan bagi manusia. Hal yang gaib tersebut bersifat tremendum, menakutkan atau mengerikan, tetapi di sisi lain menggiurkan atau fascinosum. Pada masa berikut, manusia beranggapan bahwa sesuatu yang gaib tersebut dapat dimanfaatkan oleh manusia, seperti pohon yang besar dapat dimanfaatkan untuk membuat perahu yang dapat dipergunakan untuk mengarungi samudera yang luas. Meskipun demikian, dalam memanfaatkan benda besar tersebut masih memerlukan upacara-upacara atau peribadatan tertentu agar segala yang dikerjakan manusia selamat dan memberi manfaat. Berkembanglah kemudian suatu pola fikir bahwa kekuatan gaib ini tidak terdapat dalam benda yang besar, tetapi pada benda-benda keramat, seperti makam para leluhur dan orang hebat, pada benda-benda seperti keris, batu mulia dan sebagainya. Pada waktu manusia mulai terlibat dalam kegiatan pertanian timbul pertanyaan, mengapa suatu ketika usaha pertaniannya berhasil suatu ketika gagal meski telah diusahakan dengan sebaik mungkin. Timbul suatu gagasan bahwa di luar usaha manusia dalam pertanian ini terdapat kekuatan gaib di luar kekuasaan manusia. Manusia tidak mampu membuat padi tumbuh, manusia hanya mampu memberikan kondisi yang sebaik mungkin agar padi dapat tumbuh dengan subur. Terdapat kekuatan gaib yang menyebabkan padi tumbuh dan berhasil dengan baik. Manusia memproyeksikan diri pada kekuatan gaib tersebut, bahwa kekuatan gaib ini berbentuk seperti manusia tetapi mempunyai kekuatan dan kekuasaan yang luar biasa dan di luar jangkauan manusia. Gagasan tentang kekuatan gaib semacam itu disebut pandangan anthropomorph, memberikan gambaran kekuatan luar biasa tersebut dalam suatu persona seperti manusia. Contoh gagasan atau konsep anthropomorph ini misal dikenalnya Dewi Sri, Dewi Laksmi, Saripohaci dan sebagainya. Setiap kali seorang petani melakukan kegiatan pertanian dimulai dengan upacara memohon agar dewi-dewi tersebut memberikan restu dan keberhasilan terhadap pertanian yang diusahakan. Konsep tentang dewa dan dewi ini berkembang dan diwujudkan dalam figur sebagai penguasa terhadap aspek kehidupan tertentu, ada dewa penguasa laut, penguasa api, angin, peperangan dan sebagainya. Setiap kali seseorang akan menyelenggarakan suatu kegiatan selalu berdoa memohon restu pada dewa yang bersangkutan. Dalam pewayangan dapat kita kenal dewa-dewa tersebut. Di antara dewa-dewa tersebut ada dewa yang paling berkuasa yang disebut dewa Sang Hyang Wenang. Wenang bermakna kekuasaan atau kewenangan untuk melakukan apa saja, sehingga Sang Hyang Wenang adalah dewa penguasa segala hal dan penentu segala seluk beluk kehidupan dewa-dewa, manusia dan alam semesta. Terdapat pula suatu ketika timbulnya gagasan bahwa kekuatan gaib ini terwujud dari asal muasal kehidupan yang bermula pada alat vital yang dimiliki oleh manusia. Dibuatlah tiruan alat vital manusia dari batu besar yang disebut sebagai lingga (alat kelamin laki-laki) dan yoni (alat kelamin wanita). Benda tiruan buatan manusia tersebut dipuja-puja bila ingin mendapatkan kesuburan. Konsep mengenai kekuatan gaib yang digambarkan di atas masih dapat kita temui dalam peninggalan sejarah maupun praktek kehidupan sehari-hari masyarakat, namun secara perlahan terkikis oleh hadirnya agama-agama baik yang berasal dari India, Cina, maupun Timur Tengah. Namun dengan pendekatan sinkretisisme yang diterapkan oleh rakyat, utamanya suku Jawa, dalam menerima agama-agama tersebut, konsep atau gagasan mengenai kekuatan gaib tersebut masih tetap nampak.[3] Dengan masuknya agama-agama besar terjadilah perubahan konsep terhadap hal yang gaib di Indonesia. Kalau semula orang beranggapan bahwa kekuatan gaib itu tersembunyi dalam benda-benda tertentu, kemudian terwujud dalam suatu sosok yang digambarkan seperti manusia, maka dengan masuknya agama-agama tersebut terjadilah perubahan yang sangat drastis mengenai hal yang gaib tersebut. Kekuatan gaib ini tidak berupa dan tidak berwujud, tidak bermula dan tidak berakhir, tetapi memiliki kekuatan dan kekuasaan untuk menjadikan alam semesta dan mengaturnya. Berkembanglah konsep mengenai Tuhan yang Esa, apapun namanya. Nampaknya pemikiran mengenai konsep masalah gaib ini berkembang terus, dewasa ini terdapat suatu gagasan oleh sementara pihak bahwa yang gaib itu terdapat dalam diri segala yang tergelar di alam semesta itu sendiri. Oleh karena itu, manusia dalam mencari kekuatan dan kekuasaan yang luar biasa itu perlu dicari dalam diri masing-masing. Inilah konsep pantheisme. Konsep ini berkembang terus sampai-sampai ada yang berpandangan bahwa kekuatan gaib yang luar biasa di luar diri manusia itu tidak ada. Bagi bangsa Indonesia pemikiran terakhir ini dinilai tidak sesuai dengan perkembangan yang terjadi di Indonesia. Konsep mengenai kekuatan gaib yang berpengaruh terhadap kehidupan manusia ini adalah konsep religiositas, suatu konsep dasar yang terdapat dalam setiap agama maupun keyakinan dan kepercayaan yang dianut oleh manusia. Pancasila mengandung konsep religiositas, suatu konsep yang mengakui dan meyakini bahwa di luar diri manusia terdapat kekuatan gaib yang menjadikan alam semesta, mengaturnya sehingga terjadi keselarasan dan keserasian. Sebagai akibat manusia Pancasila beriman dan bertakwa terhadap kekuatan gaib tersebut. Pancasila menyebutnya sebagai suatu prinsip yang bernama Ketuhanan Yang Maha Esa, yang merupakan esensi dari segala agama dan kepercayaan yang berkembang di Indonesia. Dewasa ini dunia terpolarisasi dalam sistem penyelenggaraan pemerintahan, satu sisi berusaha untuk menerapkan sistem pemerintahan sekular, satu pihak menerapkan sistem pemerintahan berdasar agama. Pemerintahan sekular berusaha membatasi bahwa urusan pemerintahan terbatas pada perkara yang menyangkut urusan kehidupan duniawi, mengatur kehidupan manusia selama hidup di dunia. Masalah kehidupan manusia setelah meninggalkan dunia menjadi tanggung jawab pribadi bukan urusan negara dan pemerintahan. Sebagai acuan dalam penyelenggaraan pemerintahan adalah kesepakatan yang berkembang dalam masyarakat sendiri. Sumber kekuasaan dalam pemerintahan sekular adalah rakyat sendiri yang diperintah. Sedang negara yang berdasar agama mengaitkan kehidupan duniawi dengan kehidupan setelah manusia meninggalkan dunia yang fana ini. Penyelenggaraan pemerintahan tidak dapat dipisahkan dari kehidupan duniawi dan kehidupan ukhrowi. Sebagai acuan dalam penyelenggaraan pemerintahan adalah segala wahyu yang berasal dari Tuhan. Segala kebijakan penyelenggaraan pemerintahan hasil konstruksi nalar manusia yang tidak sesuai atau tidak merupakan derivasi dari wahyu Tuhan batal demi hukum. Ternyata pertentangan antara dua sistem pemerintahan ini berkembang makin marak memasuki abad ke XXI. Dengan berdasar Pancasila utamanya sila pertama, Ketuhanan Yang Maha Esa, dalam penyelenggaraan pemerintahan, agama didudukkan dan ditempatkan secara proporsional. Agama dihormati tetapi tidak dijadikan dasar penyelenggaraan pemerintahan dan negara. Dengan demikian kepentingan agama dan konsep sekular diberi tempat dalam penyelenggaraan pemerintahan yang berdasar Pancasila. Pemerintahan dengan dasar Pancasila bukan negara agama, tetapi juga bukan negara sekular. Pemerintahan dengan dasar Pancasila memberikan akomodasi terhadap gagasan sekular dan pemerintahan berdasar agama. b) Konsep Humanitas Sejak berlangsungnya renaissance, pada abad 14 – 17, orang mulai menggagas ulang budaya yang berlangsung pada masa Yunani kuno. Bila sejak abad pertama orang terbius dengan agama-agama besar seperti agama Kristen dan Islam, sehingga pola fikir dan pola tindak manusia diwarnai oleh ajaran agama-agama tersebut, dengan berlangsungnya renaissance orang mulai mengembangkan daya fikirnya lagi untuk memecahkan segala persoalan yang dihadapinya. Orang mempercayakan diri pada daya fikir manusia, bahkan ada yang beranggapan hanya daya fikir yang dipercaya dapat mengantar ke kebenaran untuk mengatasi segala persoalan hidup manusia. Dengan berlangsungnya renaissance terjadi perubahan yang sangat mendasar mengenai pandangan manusia terhadap hakikat dirinya. Bila sebelum renaissance berlaku anggapan bahwa suara Tuhan adalah segalanya, sehingga segala ketentuan yang mengatur manusia sepenuhnya tergantung pada ketentuan Tuhan, dengan berlangsungnya renaissance orang mulai bertanya apakah memang demikian seharusnya. Manusia mengangkat dirinya dengan cara mendudukkan dirinya sesuai dengan harkat dan martabatnya sebagai makhluk pemikir. Bahkan suatu ketika merubah anggapan bahwa suara Tuhan itu adalah suara rakyat atau Vox populi vox Dei. Berkembanglah faham humanisme suatu faham yang menjunjung tinggi harkat dan martabat manusia sebagai pribadi yang memiliki cirinya masing-masing secara tersendiri, atau yang biasa disebut sebagai jatidiri. Sebagai turunan dari aggapan tersebut manusia memiliki kebebasan dalam berfikir, mengemukakan pendapat, serta menentukan pilihan hidupnya. Gerakan humanisme ini yang melahirkan gagasan individualisme, liberalisme dan pluralisme. Gerakan humanisme ini berkembang dengan pesatnya setelah berakhirnya perang dunia kedua. Hal ini sangat mungkin dipicu oleh rasa penyesalan ummat manusia yang bersikap dan bertindak dehumanis sepanjang zaman. Manusia diperlakukan sekedar sebagai alat pemuas kepentingan-kepentingan tertentu. Bangsa-bangsa di dunia kemudian bersepakat melindungi kebebasan individu tersebut dalam suatu konvensi yang disebut ”Universal Declaration of Human Rights” pada tahun 1948. Faham humanisme yang berisi konsep humanitas menyentuh pula pemikiran para founding fathers, sehingga oleh Bung Karno diangkat menjadi salah satu prinsip bagi kehidupan berbangsa dan bernegara, bahkan diusulkan untuk dijadikan salah satu prinsip yang menjadi dasar negara. Bung Karno menamakannya sebagai prinsip peri-kemanusiaan atau internasionalisme. Namun Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia akhirnya menyepakati sila kedua Pancasila ini ditetapkannya menjadi ”Kemanusiaan yang adil dan beradab,” yang memiliki makna sebagai berikut: 1) Manusia sebagai ciptaan Tuhan Yang Maha Esa didudukkan sesuai dengan kodrat, irodat, harkat dan martabatnya. Manusia dikaruniai oleh Tuhan berbagai disposisisi atau kemampuan dasar untuk mendukung misi yang diembannya. Disposisi tersebut adalah kemampuan untuk berfikir, merasakan, berkemauan dan berkarya. Sebagai akibat dari kemampuan tersebut manusia mengalami perkembangan dan kemajuan dalam hidupnya. Dengan kemampuannya tersebut manusia menghasilkan karya-karya baik yang bersifat nampak (tangible) maupun yang tidak nampak (intangible), terakumulasi dalam kehidupannya, dipelihara dan dijadikan kiblat dan acuan bagi hidupnya. Berkembanglah budaya dan peradaban. Disebabkan oleh pengalaman sejarah hidup yang berbeda yang dialami oleh masing-masing komunitas atau kelompok masyarakat, maka setiap kelompok masyarakat memiliki budaya dan peradabannya sendiri-sendiri. Demikian pula halnya dengan bangsa Indonesia. Sebagai manusia atau suatu komunitas wajib menghormati kodrat, harkat dan martabat manusia yang manifestasinya berupa keaneka ragaman adat budaya lokal dan daerah. 2) Dengan kemampuan dasar ”kemauan,” didukung oleh kemampuan fikir, perasaan, dan karya, manusia selalu berusaha untuk hidup dalam kondisi yang terbaik yang menimpa dirinya. Manusia selalu dirundung oleh ambisinya tersebut untuk mencari segala sesuatu yang diharapkan akan memberikan kepuasan hidupnya baik mengenai hal-hal yang bersifat jasmani maupun rokhani. Tuhan mengaruniai kebebasan pada manusia dalam menentukan pilihan hidupnya dalam mencari yang terbaik bagi kehidupannya. Namun kebebasan yang dikaruniakan oleh Tuhan kepada manusia tersebut tidak cuma-cuma. Kebebasan tersebut harus dipertanggung jawabkan kepada Tuhan maupun kepada masyarakat sekitarnya. Kebebasan ini biasa disebut sebagai hak asasi manusia, merupakan mahkota bagi kehidupan manusia yang tidak boleh diganggu gugat. Namun dalam melampiaskan kebebasan tersebut manusia dibatasi, sekurang-kurangnya oleh kebebasan yang juga menjadi hak manusia lain. Terdapat cara yang dengan mudah dapat dipergunakan sebagai acuan dalam menuntut atau melampiaskan kebebasan manusia, yakni tidak dibenarkan mengganggu dan melanggar kebebasan pihak lain pada waktu seseorang menuntut dan melampiaskan kebebasannya. 3) Meskipun manusia diciptakan dalam kesetaraan, namun realitas menunjukkan adanya fenomena yang beragam ditinjau dari berbagai segi. Keaneka ragaman manusia dapat dilihat dari sisi jasmani maupun mentalnya, sehingga setiap manusia memiliki kepribadian yang beragam yang membentuk jatidiri manusia sebagai individu. Namun dalam keaneka ragaman tersebut terdapat hal-hal yang disepakati bersama, menjadi pengikat kehidupan bersama. Terdapat nilai-nlai dan prinsip-prinsip sama yang merupakan common denominator antar berbagai komunitas. Sifat pluralistik manusia dihormati dan didudukkan dengan sepatutnya, tetapi harus dibingkai dalam suatu kebersamaan dan kesatuan. 4) Tata hubungan manusia dengan manusia yang lain dikemas dalam tata hubungan yang dilandasi oleh rasa kasih sayang. Bahwa eksistensi manusia di dunia adalah untuk dapat memberikan pelayanan pada pihak lain; orang Jawa menyebutnya sebagai ”leladi sesamining dumadi.” Manusia sebagai makhluk yang mengemban amanah untuk menjaga kelestarian ciptaan Tuhan memegang suatu prinsip ”memayu hayuning bawono.” Hal ini akan terselenggara dengan baik apabila dilandasi oleh sikap ”sepi ing pamrih, rame ing gawe; jer basuki mowo beyo;” bahwa dalam mengusahakan tewujudnya kehidupan yang sejahtera, terciptanya keharmonisan segala ciptaan Tuhan, manusia harus menyisihkan kepentingan pribadi dan golongan, serta rela berkorban demi terwujudnya kondisi yang diharapkan dimaksud. Dalam buku American Generalship karangan Edgar F. Puryear Jr, sifat tersebut disebut selflessness. Hal ini dapat terselenggara bila didasari oleh rasa cinta dan kasih sayang sesama. 5) Dalam berhubungan dengan sesama diharapkan manusia mampu untuk mengendalikan diri, tidak merasa dirinya yang paling benar, paling hebat, paling kuasa, sehingga mengabaikan dan memandang remeh atau tidak penting pihak lain. Orang Jawa mengatakannya ”ojo dumeh, ojo adigang, adigung, adiguno.” Secara bebas dapat diartikan jangan meremehkan pihak lain maupun kondisi yang terjadi, jangan bersikap angkuh, merasa dirinya paling hebat dalam segala hal. Sifat inklusif harus dikembangkan sedang sifat eksklusif harus dihindari. Sementara itu kejujuran harus dikembangkan sebagai landasan untuk mengikat hubungan yang serasi, selaras dan seimbang. Demikian pula sifat mementingkan diri sendiri yang mengantar timbulnya kesrakahan harus dihindari. c) Konsep Nasionalitas Abad ke XX merupakan abad kebangkitan wawasan kebangsaan bagi negara-negara di wilayah Asia, tidak terkecuali bagi masyarakat yang mendiami wilayah yang pada waktu itu dikuasai oleh pemerintah Belanda, yang bernama Nederlands Oost Indie atau Hindia Belanda. Sejak tahun 1908 para pemuda di wilayah tersebut telah gandrung dengan wawasan kebangsaan dengan mendirikan organisasi Boedhi Oetomo. Organisasi ini yang kemudian memicu lahirnya berbagai organisasi kepemudaan yang berasal dari berbagai daerah Hindia Belanda. Organisasi kepemudaan ini yang mendeklarasikan ”Sumpah Pemuda” yang sangat monumental, yang mengkristal menjadi dorongan kuat bagi lahirnya negara-bangsa Indonesia. Pada tanggal 1 Juni 1945 Bung Karno mengusulkan bahwa salah satu prinsip dasar negara adalah ”kebangsaan.” suatu prinsip bagi kehidupan berbangsa dan bernegara, bukan untuk kepentingan seseorang, golongan, tetapi suatu dasar ”semua buat semua.” Faham kebangsaan ini bukan merupakan faham kebangsaan yang sempit atau chauvinisme. Usul Bung Karno ini kemudian disepakati oleh BPUPKI menjadi persatuan Indonesia, yang memiliki makna sebagai berikut: 1) Rakyat Indonesia dalam hidup bermasyarakat dan bernegara terikat dalam suatu komunitas yang namanya bangsa Indonesia. Mereka mengaku dengan ikhlas dan bangga sebagai warga bangsa Indonesia, cinta serta rela berkorban demi negara-bangsanya. 2) Tanpa mengurangi hak pribadi, loyalitas warganegara terhadap negara-bangsanya, mengenai perkara yang bersifat sekular atau duniawi, diletakkan di atas kepentingan pribadi dan golongan. 3) Dalam mengembangkan wawasan kebangsaan ciri golongan, baik ditinjau dari segi etnis, suku, agama, maupun adat budaya, dihormati dan ditempatkan secara proporsional dalam menegakkan persatuan dan kesatuan bangsa. Wawasan kebangsaan tidak mengeliminasi keanekaragaman. Kearifan lokal (local wisdom) dipelihara, dijaga dan dikembangkan sejalan dengan wawasan kebangsaan. Kebudayaan lama dan asli yang terdapat sebagai puncak-puncak kebudayaan di daerah di seluruh Indonesia diperhitungkan sebagai kebudayaan bangsa. 4) Atribut negara-bangsa seperti bendera merah putih, lagu kebangsaan Indonesia Raya, lambang negara Garuda Pancasila, bahasa nasional Indonesia dan gambar kepala negara dihormati dan didudukkan secara proporsional sesuai dengan kesepakatan bangsa. Memperlakukan atribut negara secara tidak senonoh atau kurang beradab tidak sesuai dengan esensi wawasan kebangsaan. Menghormati atribut negara-bangsa tidak bermakna menyembah atau mensakralkan atribut tersebut. Perlu disadari bahwa mencederai atribut bangsa, atau melecehkan atribut bangsa sama saja dengan melecehkan diri sendiri sebagai warganegara-bangsa. 5) Dengan berprinsip pada wawasan kebangsaan, bangsa Indonesia tidak menolak masuknya kebudayaan asing dengan syarat bahwa kebudayaan dimaksud harus menuju ke arah kemajuan adab, budaya, kesatuan dan persatuan banga. Bahwa kebudayaan asing dimaksud dapat memperkembangkan dan memperkaya kebudayaan bangsa, serta mempertinggi derajat kemanusiaan bangsa Indonesia. 6) Dalam mengembangkan wawasan kebangsaan perlu dihindari berkembangnya faham kebangsaan sempit, yang memandang bangsanya sendiri yang paling hebat di dunia dan memandang rendah bangsa yang lain. Demikian pula dengan wawasan kebangsaan tidak berkembang menjadi faham ekspansionis yang berusaha untuk menguasai negara-bangsa lain. Dengan berpegang pada wawasan kebangsaan, bangsa Indonesia memiliki missi untuk ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial. d) Konsep Sovereinitas Bila konsep religiosits, humanitas dan nasionalitas memberikan makna tata hubungan manusia dengan sekitarnya, maka konsep sovereinitas yang terjabar menjadi prinsiup ”Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan,” memberikan gambaran bagaimana selayaknya tata cara hubungan antara unsur-unsur yang terlibat kehidupan bersama, untuk selanjutnya bagaimana menentukan kebijakan dan langkah dalam menghadapi permasalahan hidup. Sedangkan konsep sosialitas yang terjabar menjadi prinsip ”Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia,” memberikan gambaran mengenai tujuan yang ingin diwujudkan dalam kehidupan bersama, hidup berbangsa dan bernegara. Berbagai pihak memberikan penjelasan bahwa yang dimaksud ”kerakyatan” adalah yang oleh berbagai negara disebut demokrasi. Kerakyatan adalah demokrasi yang diterapkan di Indonesia yang memiliki ciri sesuai dengan latar belakang sejarah danbudaya bangsa Indonesia sendiri. Demokrasi adalah suatu sistem pemerintahan yang berprinsip bahwa sumber kekuasaan atau wewenang dalam menyelenggarakan pemerintahan bersumber pada rakyat. Dengan maraknya faham humanisme, pada era renaissance, manusia mulai mempertanyakan mengenai hakikat kekuasaan dalam memerintah. Kalau pada abad tengah dan sebelumnya negara pada umumnya dipimpin oleh seorang raja atau kaisar yang mengaku mendapat limpahan wewenang dari Tuhan, pada akhir abad ke XVIII orang mulai menyangsikan hal tersebut. Dengan mendudukkan manusia sesuai dengan harkat dan martabatnya, berasumpsi bahwa selayaknya kekuasaan atau wewenang memerintah itu bersumber dari yang diperintah, dari rakyat. Sangat terkenal semboyan yang disampaikan oleh Abraham Lincoln (1809 – 1865), presiden ke-16 dari Amerika Serikat, tentang demokrasi. Dikatakannya bahwa demokrasi adalah ”government from the people, by the people and for the people”, pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Sebenarnya gagasan manusia mengenai sumber kekuasaan yang terdapat pada rakyat, telah jauh hari difikirkan sebelum Lincoln mengemukakan slogan yang sangat terkenal tersebut. Thomas Jefferson (1743 – 1826) presiden ketiga dari Amerika Serikat sejak tahun 1770-an telah mengemukakan gagasannya, dan setelah dibahas oleh para founding fathers Amerika, diterima sebagai pernyataan Deklarasi Kemerdekaan Amerika. Sangat terkenal preambule deklarasi itu yang rumusannya sebagai berikut: We hold these truths to be self-evident that all men are created equal, that they are endowed by their Creator with unalienable Rights, that among these are Life, Liberty, and the Pursuit of Happiness. That to secure these rights, Governments are instituted among Men, deriving just powers from the consent of the governed. Pernyataan inilah sebagai dasar penyelenggaraan pemerintahan demokrasi yang bersifat individualistik dan liberalistik di Amerika Serikat. Ada baiknya kalau kita bandingkan dengan gagasan Lafayette (1757 – 1834) dari Perancis yang kemudian diolah menjadiDeclaration des Droits de l’Homme et du Citoyen yang rumusannya, setelah diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris adalah sebagai berikut: Men are born and remain free and equal in rights. Social distinction can be based only upon public utility. The aim of every political association is the preservation of the natural and imprescriptible rights of man. These rights are Liberty, Property, Security, and Resistance to Oppression. The source of all sovereign is essentially in the nation, no body, no individual can exercise authority that does not proceed from it in plain terms. Liberty consists in the power to do anything that does not injure others . . . .Law is the expression of general will, all citizen have the right to take part personally or by their representatives in it formations . . . Nampak adanya perbedaan landasan penyelenggaraan demokrasi antara Amerika Serikat dan Perancis. Demokrasi Amerika Serikat terlalu berorientasi pada kepentingan pribadi dan melindungi hak asasi individu. Hal ini nampak dalam rumusannya yang berbunyi :”Governments are instituted among men, deriving just powers from the consent of the governed.” Sedang Perancis mengutamakan negara dalam penerapan demokrasi, terbukti dalam pernyataannya :” The source of all sovereign is essentially in the nation.” Marilah sekarang kita bandingkan prinsip dari dua negara tersebut dengan prinsip yang melandasi demokrasi di Indonesia. Berikut disampaikan beberapa frase yang berisi prinsip bagi penyelenggaraan demokrasi di Indonesia yang terdapat dalam Pembukaan UJUD 1945. Bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa; Atas berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa dan dengan didorongkan oleh keinginan luhur, supaya berkehidupan kebangsaan yang bebas, maka rakyat Indonesia menyatakan dengan ini kemerdekaannya; Untuk membentuk suatu pemerintahan Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, . . . ,maka disusunlah kemerdekaan kebangsaan Indonesia, . . . , yang terbentuk dalam suatu susunan Negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat dengan berdasar kepada : Ketuhanan Yang Maha Esa, kemanusiaan yang adil dan beradab, persatuan Indonesia, dan kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, serta dengan mewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Dalam frase-frase yang terdapat dalam Pembukaan UUD 1945 tidak terdapat istilah atau kata-kata individu atau manusia, tetapi yang ditonjolkan adalah kepentingan bangsa. Kemerdekaan adalah hak bangsa, proklamasi kemerdekaan Indonesia adalah untuk dapat berkehidupan kebangsaan yang bebas, bahwa pemerintahan Indonesia adalah untuk melindungi segenap bangsa Indonesia dan di antaranya adalah untuk mencerdaskan kehidupan bangsa, bahwa Negara Republik Indonesia menerapkan kedaulatan rakyat dalam gerak pelaksanaannya dengan berprinsip kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/pewakilan. Dengan demikian demokrasi yang bersendi pada liberalisme yang individualistik tidak sesuai dengan demokrasi yang selayaknya diterapkan di Indonesia. Demokrasi di Indonesia tidak semata-mata untuk membela dan mengakomodasi hak pribadi, tetapi juga harus mengakomodasi kepentingan bangsa. Bersendi pada prinsip-prinsip yang terkandung dalam Pembukaan UUD 1945, demokrasi yang diterapkan di Indonesia hendaknya memenuhi ketentuan-ketentuan sebagai berikut: 1) Segala keputusan demokratis tidak dibenarkan mengarah pada timbulnya perpecahan bangsa. 2) Dalam mengambil keputusan hendaknya selalu berpegang pada adagium bahwa negara-bangsa ditempatkan di atas kepentingan pribadi dan golongan. 3) Hak-hak pribadi tetap dihormati tetapi selalu ditempatkan dalam kerangka terwujudnya keselarasan hidup serta kelestarian ciptaan Tuhan Yang Maha Esa. 4) Keputusan demokratis bukan semata-mata mengakomodasi aspirasi dan keinginan rakyat atau warganegara tetapi harus mengarah pada terwujudnya keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. 5) Praktek demokrasi yang diselenggarakan di negara lain dapat diterapkan di Indonesia dengan berpegang pada ketentuan di atas. Pengambilan keputusan dengan cara voting dibenarkan sejauh musyawarah untuk mencapai mufakat tidak dapat mencapai hasil. 6) Demokrasi yang diterapkan di Indonesia tidak semata-mata mengacu pada proses, tetapi harus memperhatikan juga tujuan yang telah menjadi kesepakatan bangsa. e) Konsep Sosialitas Pada umumnya, orang berbicara tentang demokrasi selalu dikaitkan dengan penyelenggaraan pemerintahan, sehingga selalu dikaitkan dengan kehidupan politik negara-bangsa. Dengan penyelenggaraan demokrasi manusia dihormati, dihargai dan didudukkan sesuai dengan harkat dan martabatnya sebagai manusia., sehingga timbul kepuasan batin dalam diri manusia. Namun kepuasan hidup manusia tidak hanya terbatas pada kepuasan mental dan spiritual saja, manusia juga memerlukan kepuasan dari sisi material. Manusia membutuhkan berbagai keperluan hidup, baik yang berupa materi pendukung bagi hidupnya, maupun mengenai hal-hal yang bersifat mental dan spiritual. Bung Karno dalam berbagai kesempatan selalu mengutip pendapat Juarez yang mengatakan bahwa demokrasi parlementer atau demokrasi politik tidak cukup, demokrasi politik harus disertai dengan demokrasi ekonomi. Dikatakannya : ”Dalam demokrasi parlementer tiap-tiap orang dapat menjadi raja. Tiap orang dapat memilih, tiap orang dapat dipilih. Tiap-tiap orang dapat memupuk kekuasaan untuk menjatuhkan menterinya, tetapi di bidang ekonom tidak demikian. Si kaum buruh yang pada hari ini di dalam parlemen adalah raja, besok pagi di dalam pabriknya ia dapat dilempar ke luar dari pabriknya, menjadi orang yang tiada kerja.”[4] Selanjutnya dikemukakan bahwa yang ingin diwujudkan dengan berdirinya negara Republik Indonesia ini adalah keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, yang bermakna suatu masyarakat yang adil dan makmur, berbahagia buat semua orang, tidak ada penghinaan, tidak ada penindasan, tidak ada penghisapan, tidak ada exploitation de l’ homme par l’homme. Sehingga akan terwujud masyarakat yang berbahagia, cukup sandang, cukup pangan, gemah ripah loh jinawi, tata tentrem kerta raharja. Persoalan yang timbul adalah bagaimana untuk dapat merealisasikan gagasan ini. Pemerintahan Inggris bercita-cita untuk mewujudkan affluent society, masyarakat yang serba kecukupan, masyarakat yang serba melimpah ruah dengan keperluan hidup, diterapkan pendekatan security welfare state. Setiap warga negara harus ikut dalam program asuransi, yang akan menjamin kelangsungan hidupnya. Amerika Serikat menerapkan yang disebut positive welfare state, yakni dengan cara memotong pengasilan orang kaya untuk dapat disebarkan kepada yang kurang beruntung. Bagaimana bangsa Indonesia mewujudkan masyarakat yang adil dan sejahtera. Berbagai pemikiran telah diusahakan bagaimana mewujudkan masyarakat yang adil dan sejahtera. Pasal-pasal UUD 1945 telah memberikan landasan untuk mencapai hal tersebut, di antaranya terdapat dalam pasal 33 dan 34 yang rumusannya adalah sebagai berikut : Pasal 33 (1) Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan; (2) Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara. (3) Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. (4) Perekonomian nasional diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional. Pasal 34 (1) Fakir miskin dan anak-anak yang terlantar dipelihara oleh negara. (2) Negara mengembangkan sistem jaminan sosial bagi seluruh rakyat dan memberdayakan masyarakat yang lemah dan tidak mampu sesuai dengan martabat kemanusiaan. (3) Negara betanggung jawab atas penyediaan fasilitas pelayanan kesehatan dan fasilitas pelayanan umum yang layak. Dengan telah tersedianya landasan penyelenggaraan demokrasi ekonomi ini, tinggal bagaimana rakyat Indonesia menjabarkan lebih lanjut menyusun peraturan perundang-undangan yang merupakan turunan dari pasal-pasal dimaksud, untuk selanjutnya direalisaikan dalam kenyataan. 3. Tantangan yang dihadapi dalam memperkokoh Ketahanan Bangsa Tantangan yang dihadapi dalam mempekokoh ketahanan bangsa adalah gerakan globalisasi yang telah melanda dunia. Gerakan globalisasi yang ber-adagium “dunia tanpa batas,” berpengaruh pula pada perkembangan nilai dan norma yang dimanfaatkan oleh ummat manusia di dunia. Demokrasi mewabah di dunia. Negara yang tidak menerima dan tidak menerapkan demokrasi dinilai tidak sesuai dengan tuntutan zaman. Bersama demokrasi terbawa nilai kebebasan dan kesetaraan dan perjuangan hak asasi manusia. Sebagai akibat kurangnya pemahaman terhadap demokrasi, kebebasan, kesetaraan dan menghargai hak asasi manusia, yang bersendi pada konsep Pancasila, terjadilah penyimpangan dan penyelewengan dalam penerapannya. Yang terjadi adalah kericuhan, gangguan keamanan, serta bebagai perilaku kurang terpuji pada para penyelenggara negara dan pemerintahan serta masyarakat. Perkembangan nilai penyerta demokrasi tersebut menjadi tantangan yang perlu dihadapi dalam memperkokoh ketahanan bangsa. Perlu dicermati pula dengan seksama bahwa dengan merebaknya gerakan globalisasi terjadilah gerakan kilas balik yang disebut gerakan tribalisasi, yakni suatu gerakan untuk menyelamatkan diri dari gempuran arus globalisasi, yakni kehilangan eksistensi diri. Manusia mencari kelompok yang mampu melindungi dari dampak negatif arus globalisasi. Diduga kelompok yang bersifat primordial yang memiliki sifat afinitas yang kuat dan alami, mampu mengantisipasi deras arus globalisasi. Berkembanglah kelompok berdasar kesukuan, keagamaan dan kekeluargaan, yang merupakan kelompok primordial. Gerakan tribalisasi yang berlindung pada adagium “kearifan lokal,” dapat saja melemahkan kertahanan bangsa. Gerakan tribalisasi ini perlu diantisipasi sebagai suatu ancaman yang akan melemahkan ketahan nasional. Perkembangan dunia dan kejadian-kejadian yang sedang melanda negara-bangsa indonesia, bila tidak segera ditanggulangi dengan upaya yang tegas dan nyata, bukan mustahil, dugaan yang disampaikan oleh John Naisbitt dalam bukunya yang berjudulMegatrends 2000, yang mengatakan bahwa Indonesia akan terpecah belah menjadi beberapa puluh negara, akan menjadi kenyataan.[5] 4. Upaya Memperkokoh Ketahanan Bangsa. Dalam rangka memperkokoh ketahanan bangsa perlu diusahakan hal-hal sebagai berikut: a. Fahami karakter bangsa yang merupakan jatidiri bangsa, yang tiada lain adalah aktualisasi dari konsep-konsep yang terkandung dalam Pancasila; b. Implementasikan konsep, prinsip dan nilai Pancasila dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara secara konsisten; c. Identifikasi tantangan yang akan memperlemah ketahanan bangsa, berupa nilai-nilai penyerta dari gerakan globalisasi yang akan menampakkan diri dalam bentuk materialisme, individualisme, konsumerisme, hedonisme, instantisme, dan pragmatisme sempit. d. Adakan gerakan untuk mengantisipasi terhadap nilai-nilai penyerta dari gerakan globalisasi tersebut. Dengan usaha dimaksud ketahanan bangsa akan terbentuk secara tepat dan mampu untuk mengantisipasi segala ancaman, tantangan, hambatan dan gangguan. Semoga.

Cyber War


SEKRETARIAT JENDERAL
DEWAN KETAHANAN NASIONAL
____________________________________




LESSON LEARNED RANGKAIAN WORKSHOP DAN CONFFERENCE CYBER SPACE NEGARA  ASEAN SERTA DAMPAKNYA BAGI INDONESIA[1]

 “The internet is fast, whereas criminal law systems are slow and formal. The internet offers anonymity, whereas criminal law systems require identification of perpetrators…The internet is global, whereas criminal law systems are generally limited to a specific territory. Effective prosecution with national remedies is all but impossible in a global space.” [Sieber, 2004][2]


PENDAHULUAN

1.            Latar Belakang
Perkembangan dunia dibidang teknologi, informasi dan komunikasi (informa
tion  communication and technology) / ICT mengalami kemajuan yang demikian pesat dan cepat, dan di luar dugaan. Melalui perkembangan dan pemanfaatan teknologi informasi dan komunikasi seperti internet dan peralatan komunikasi lainnya, manusia dapat mengetahui apa yang terjadi di belahan dunia manapun  dalam hitungan detik, dapat berkomunikasi dan mengenal orang dari segala penjuru dunia tanpa harus berjalan jauh dan bertatap muka secara langsung. Di era 90 an semenjak perkembangan teknologi informasi menjadi sangat pesat, muncul adagium  barang siapa menguasai informasi, menguasai dunia. Inilah yang mendorong negara adi daya untuk berlomba - lomba memasuki medan peperangan yang baru yaitu perang informasi terutama dengan memanfaatkan media masa dan jaringan informasi global. Hal ini dapat dibuktikan dengan kejatuhan pemerintahan seperti Haiti dan Uni Soviet, yang tidak terlepas dari perang informasi global tersebut.  Realitas menunjukkan bahwa Peralatan ICT disamping memberi manfaat bagi kemaslahatan masyarakat, di sisi lain juga memiliki potensi untuk digunakan sebagai alat melakukan kejahatan. Kejahatan yang dilakukan menggunakan teknologi informasi dan komunikasi dapat terjadi pada kejahatan biasa maupun yang secara khusus menargetkan kepada sesama infra struktur teknologi informasi dan komunikasi sebagai korbannya.  Pelakunyapun dapat berupa aktor negara maupun non negara. Dampak dari kejahatan yang muncul dari penggunaan teknologi, informasi dan komunikasi secara negatif dapat menyebabkan ancaman dan permasalahan terhadap aspek kehidupan masyarakat secara nasional dan transnasional.
Dalam dunia bisnis, pemerintahan termasuk pertahanan dan keamanan hampir semuanya menggunakan sarana internet, komputer untuk menjalankan aktifitasnya. Internet secara total merubah kecepatan dalam melaksanakan bisnis. Hal ini menunjukkan bahwa kreasi virtual telah menjadi bagian integral dalam menjalankan aktifitas sesuai fungsi masing masing dalam kegiatan dunia yang nyata.  Na`mun demikian pemberdayaan teknologi yang telah diciptakan dan dibangun juga memperkuat bagi yang kurang bertanggung jawab untuk menganggu dan menghancurkannya.  Hasil sutdy Symantec State of Enterprise Security menunjukkan bahwa beberapa tahun ini  tiga dari empat aktifitas dunia bisnis mengalami serangan cyber (Cyber attacks ).  Dimana mana pemerintah dan businesman disibukkan untuk meng countered Cyber attacks , antara lain Singapura dan Indonesia, China, USA dan masih banyak negara lainnya.  Cyber attacks  hanya memerlukan modal yang kecil atau sedikit manpower, tetapi kerusakan yang ditimbulkannya dapat terjadi sedemikan besarnya[3]. Sebagai contoh insiden Sasser Worm pada tahun 2004 cyber attack oleh seorang siswa warga negara Jerman yang berumur 18 tahun, mampu menganggu dan merusak lebih dari lebih dari sejuta jaringan komputer komputer dunia, yang menyebabkan kerugian lebih dari 15 juta US $.  Insiden ini menunjukkan bahwa serangan cyber  dapat dilakukan hanya oleh satu orang atau grup kecil dapat menyebabkan dampak kerusakan jaringan yang begitu besar.  Dengan analogi yang sama bagai mana kerugian tersebut diderita oleh Singapura atau perbankan Indonesia bila serangan itu terjadi, demikian pula untuk transaksi bisnis lainnya yang sudah on line.  Dari sini dapat diketahui betapa pentingnya keamanan jaringan komunikasi (Info-Comm Security ).  Demikian juga pentingnya keamanan terhadap cyber terorism dan cyber criminal.
 Merujuk pada latar belakang diatas maka tepatlah kiranya bila negara negara regional Asia Pacifik bekerja sama untuk menanggulang kejhatan ICT.  Dalam rangka meningkatkan kerjasama dan membangun hubungan rasa saling percaya (Confidence Building Measure/CBM), baru baru ini Asia-Pacific Center for Security Studies (APCSS) bekerjasama dengan Universitas Pertahanan Singapura mengundang para alumni APCSS khususnya anggota yang berasal dari negara ASEAN, beserta para pakar, akademisi, praktisi untuk melaksanakan Workshop “Cyberia: Identity, Cyberspace & National Security”, dilanjutkan dengan konferensi yang melibatkan praktisi dan swasta mengenai “Cybersecurity & Cyberterrorism”, selama empat hari, dari tanggal 20 s/d 24 Agustus 2012. Peserta Workshop terdiri dari 50 peserta (termasuk penyelenggara APCSS Amerika dan Singapura), berasal dari lima negara Anggota ASEAN yaitu Indonesia, Singapura, Malaysia, Thailand, Philipina. Peserta Confference terdiri 150 peserta, terdiri dari alumni APCSS, birokrat, praktisi, akademisi dan swasta. Bagi Unhan Singapura konferensi ini dilakukan sudah yang keenam kalinya, dan membawa kemajuan awareness terhadap utamanya terhadap Cybersecurity.
Kegiatan APCSS di luar negeri (outreach) untuk tahun ini dilaksanakan di lima negara yaitu Singapura, Indonesia, Australia, Maldive dan Pakistan. Indonesia sebagai bagian dari anggota ASEAN, telah mengirimkan 5 personil alumni APCSS dari Setjen Wantannas, BAIS, BIN, POLRI untuk mengikuti workshop dan confference tersebut.  Diharapkan kegiatan dimaksud dapat meningkatkan kemampuan berpikir yang berhubungan dengan isu keamanan, memberikan kesempatan untuk tukar menukar pengalaman, dialog membangun kesamaan pandang dan kapasitas ASEAN khususnya dalam merespon kontijensi, dan memperkuat networking, antar personel, kerjasama inter dan intrastate dalam menangani “Identity, Cyberspace & National Security, Cybersecurity & Cyberterrorism”, guna memberikan kontribusi khususnya dalam meningkatkan kapasitas Kementrian/ Lembaga (K/L), yang mampu merumuskan rekomendasi yang operable, tepat sasaran, dan tepat waktu kepada pimpinan negara. Hasil seminar workshop dan konferensi menunjukkan bahwa masih terjadi gap pengetahuan mengenai Identity, Cyberspace & National Security, Cybersecurity & Cyberterrorism penanggulangan serta prosedur dan hukum dimasing negara negara kawasan.

PEMBAHASAN

2.            Perkembangan Cyber Space
Cyberspace merupakan istilah baru dimana pemahaman dan perkembangan
nya disuatu negara dan negara lainnya berbeda, termasuk di kawasan Asia Pasifik.  Cyberspace, berakar dari kata latin Kubernan yang artinya menguasai atau menjangkau. Sedangkan kata Cyberspace pertama kali digunakan oleh William Gibson dalam novel fantasi ilmiahnya Neuromancer yang terbit pada tahun 1984, dimana digambarkan Meatspace dan Cyberspace sperti koin uang logam. Meatspace sebagai dunia nyata dan Cyberspace sebagai dunia maya sehingga keduanya tidak bisa dipisahkan. Kata ini sendiri dipopulerkan oleh Bruce Sterling dan John Perry Barlow. Cyberspace secara de facto diangggap sebagai jejaring Internet, kemudian World Wide Web. Sehingga saat ini kita berasumsi Cyberspace sama dengan internet. Perkembangan cyberspace  sangat pesat, dimana penggunaannya telah berkembang ke hal positif dan negatif yang dapat mempengaruhi kebijakan suatu negara dalam menangani keamanan nasionalnya.  
Dalam 5 tahun terakhir 2007 s/d 2012 Asia menjadi tempat pertumbuhan pengguna internet yang paling pesat dan paling banyak (53%) populasi internet dunia berasal dari Asia, dengan pertambahan pengguna internet dari 415 miilion menjadi  1,1 billion dalam 5 tahun[4].
3.            Peningkatan Ancaman Cyber
Kebutuhan untuk menanggapi tantangan keamanan dapat dilihat dari
meningkatnya pengguna jaringan di Asia Timur yang mendapatkan serangan cyber. Di Jepang misalnya, laporan kejahatan cyber pada tahun 2005 meningkat 52 persen (untuk 3.161 insiden dilaporkan) dari tahun sebelumnya. Tren serupa juga bisa dilihat di Korea Selatan di mana, pada tahun 2002, jumlah kasus kriminal berbasis internet meningkat menjadi 60.000 naik dari 121 pada tahun 1997. Pada tahun 2006 telah meningkat menjadi 70.545 kasus, dengan penipuan identitas dan hacking menjadi dua jenis kejahatan yang paling umum. Meskipun kemajuannya mengalami lompatan yang tidak dapat diragukan lagi, namun demikian walaupun sudah ada undang undang dimasing masing negara regional, kejahatan cyber tetap meningkat, di regional serta ekstra yurisdiksi. Statistik kejahatan dunia maya tersebut masih belum maksimal, karena apa yang dilaporkan tidak sesuai dengan jumlah kejahatan didunia maya dan masih adanya variasi definisi kejahatan dunia maya, serta keengganan pihak swasta, perusahaan untuk mengungkapkannya.
Selain peningkatan jumlah ancaman cyber, sifat ancaman juga berubah, kelompok maya (virtual) menjadi lebih canggih dalam struktur serangan mereka. Umumnya berkisar pada jenis penipuan yang menggunakan situs web, ponsel untuk mencuri nomor kartu kredit dan pencurian identitas, penipuan melalui dengan meluncurkan virus atau spyware, dan "malware" seperti Trojan, yang memungkinkan penjahat untuk dapat mengkontrol ribuan komputer dan melakukan serangannya. Yang terakhir ini telah berkembang secara sangat signifikan, mengingat pertumbuhan internet seperti kehadiran online di China, yang merupakan pengguna internet terbesar di dunia. Ini akan menjadi isu yang menjadi perhatian tidak hanya untuk China, tetapi juga untuk negara-negara lain terkena dampak keberadaan website.

4.            Identitas (Identity)
Identitas merupakan 'karakter dasar negara' atau sebuah konsep relasional. Identitas dikonstruksi secara sosial. Identitas merupakan gambar individualitas dan kekhasan ("kedirian") yang diselenggarakan dan diproyeksikan oleh aktor dan dibentuk  melalui hubungan signifikan dengan "orang lain.[5]"  Karena permasalahan identitas baik kelompok atau negara dapat menimbulkan konflik yang dapat mengancam keamanan nasional  Kejahatan yang dilakukan sekarang ini salah satunya dengan memalsukan identitas yang dapat menimbulkan ancaman terhadap keamanan Regional. Dari pelaksanaan diskusi tingkat regional dapat disampaikan hal hal penyalah gunaan identitas beresiko terhadap keamanan antara lain:
(a)          Groups use identity for violent action-’lone wolf’ phenomenon (self radicalized individual and cells); Fenomena adanya Grup yang menggunakan identitas untuk  tindakan tindakan kekerasan-'lone wolf' (individu radikal diri dan sel);
(b)          Clashes between groups (intra state)-Intolerance-religious-majority vs minority; (Bentrokan antara kelompok (intra state)-Intoleransi-agama mayoritas vs minoritas);
(c)          Increase probability of groups developing linkages with other international terrorist groups to strengthen and accrue logistical support-transnational linkages; (Kemungkinan Meningkatnya kelompok mengembangkan hubungan dengan kelompok-kelompok teroris internasional untuk memperkuat jaringannya dan terkait dengan  dukungan logistik-transnasional);
(d)          Online emulation, replication, radicalization-learning from other theatres-copy cat techniques; (emulasi online, replikasi, radikalisasi-learning dari teater-lainnya dengan meniru teknik cat);
(e)          Spill over effect-chain reaction-religious attacks; (Imbas atas reaksi berantai-serangan agama);
(f)            Sabotage, espionage, subversion; (sabotase, spionasi dan subversi);
(g)          Identity is important/significant- but other factors come into play like governance, education, rights. )  (Identitas adalah penting/significant- tetapi ada faktor-faktor lain yang ikut bermain seperti pemerintahan, pendidikan, hak azasi)

5.            Keamanan Nasional
Keamanan nasional (National Security) adalah kebutuhan untuk mempertahankan kelangsungan hidup negara melalui penggunaan ekonomi, proyeksi diplomasi, kekuasaan dan kekuasaan politik. Awalnya keamanan nasional (kamnas) berfokus pada kekuatan militer, sekarang mencakup berbagai aspek, yang semuanya mencakup pada keamanan militer, non ekonomi bangsa dan nilai-nilai yang dianut oleh masyarakat nasional. Oleh karena itu, dalam rangka untuk memiliki keamanan nasional, negara perlu memiliki keamanan ekonomi, keamanan energi, keamanan lingkungan, dan lain-lain. Ancaman keamanan tidak hanya melibatkan musuh konvensional seperti lainnya negara-bangsa tetapi juga aktor non-negara seperti kekerasan non-state aktor, kartel narkotika, perusahaan multinasional dan organisasi non-pemerintah, beberapa pihak berwenang termasuk bencana alam dan peristiwa yang menyebabkan kerusakan lingkungan yang parah. Perkembangan ICT memudahkan untuk mengendalikan keamanan nasional, tetapi juga mempermudah organisasi yang tidak bertanggung jawab untuk menyerang, mengnagganggu dan menggagalkannya. Masing masing negara berusaha untuk menjamin tercapainya kepentingan nasional dengan cara mengambil Langkah-langkah antara lain sebagai berikut:
1)          menggunakan diplomasi untuk menggalang sekutu dan mengisolasi ancaman;
2)          marshalling kekuatan ekonomi untuk memfasilitasi atau memaksa kerjasama;
3)          mempertahankan angkatan bersenjata yang efektif;
4)          menerapkan langkah-langkah kesiapan pertahanan sipil dan darurat (termasuk undang-undang anti-terorisme);
5)          memastikan ketahanan dan redundansi infrastruktur kritis;
6)          menggunakan layanan intelijen untuk mendeteksi dan mengalahkan atau menghindari ancaman dan spionase, dan untuk melindungi informasi rahasia;
7)          menggunakan layanan kontra intelijen atau polisi rahasia untuk melindungi bangsa dari ancaman internal.
Namun demikian Hasil Pooling seluruh peserta workshop dan confference 2012 di Singapura menunjukkan: Tiga ancaman jangka pendek yang paling serius terhadap keamanan yang dapat mengancam keamanan nasional masing masing negara adalah: Religious extremism; Terrorism ; Pandemic disease/ Natural disaster ; Maritime crisis ; Cyber crisis ; Energy/ Environmental crisis ;Corruption ; Ethnic tensions dan Other. Sebagai perbanding bahwa anncaman bersama yang ditetapkan oleh para Menteri Pertahanan ASEAN dan para Panglimanya yang terdiri dari enam hal: terorisme, keamanan maritim, Humanitarian Assistance/Disaster Relief (HADR), bencana alam, foodsecurity, dan climate change.  Dari sini kelihatan bahwa cybersecurity belum merupakan prioritas ancaman.  Selanjutnya dapat diprediksi kemungkinan prioritas untuk mengatasi ancaman kedepan yaitu:
(1)  Dengan melaksanakan diskusi Inter agency collaboration pada tingkat  national- Cyber crime bill in ASEAN-external experts to be involved- MoU/ Agreement between government and private sector. (Aturan bersama Cyber crime di Asean, pelibatan ahli dari eksternal disertai dengan MOU antara pemerintah dan sektor swasta)
(2)  More private sector participation/ PPP where practical/ feasible. (Partisipasi sektor swata akan lebih banyak/ppp secara praktis/Feasible).
(3)  International organizations for eg. UN and related agencies-provide framework-multilateral. (Organisasi internasional, contohnya UN dan agen lainya yang sesuai memerlukan kerangka kerjasama multilateral).
(4)  Need to harmonize domestic legal frameworks within ASEAN to deal with cyber crime and related issues. (Memerlukan harmonisasi kerangka hukum domestik sesama angota ASEAN dalam menangani cybercime dan isu isu terkait).
(5)  Need for advocate inside governments-need for CIO/CTO (membutuhkan bantuan dalam pemerintahan-kebutuhan CIO/CTO)
(6)  Need to attract TRACK II interaction-SME, practitioners, academia, NGO personnel. (perlu untuk menarik interaksi dalam diplomasi track II, SME, praktisi, akademisi, LSm dan personel).
(7)  Integrating national with regional and global efforts. (mengintegrasikan upaya nasional, regional dan global).
(8)  New technology based on Malaysia experiences-push (get message out)-pull (get website more interactive)-networking (interaction with public). (Teknologi baru berdasarkan pengalaman Malaysia-mendorong (keluar message)-tarik (mendapatkan website lebih interaktif)-networking (interaksi dengan publik)).
(9)  Need for change for mindset in governments-willingness to embrace new technology for greater public interface-will require new resources. (Perlu untuk perubahan pola pikir bagi pemerintah, kesediaan untuk mengadopsi teknologi baru untuk  hubungan dengan  masyarakat yang lebih besar,  membutuhkan sumber daya baru).

6.             Cyberspace,  Cybercrime dan Cybertrorism
a.    Cyberspace.
Perhatian negara negara dan ASEAN terhadap cyberspace utamanya cybercrime dan cyberterorism, masih kurang.  Hal ini disamping dibutuhkan SDM dengan pengetahuan IT yang tinggi, brain ware dan software mengenai IT dan komputer.  Singapura secara struktur sudah mempunyai badan yang menangani masalah cyber security, negara ASEAN lainnya kelihatan belum memilikinya.  Malaysia, setelah peristiwa Ambalat 2005 mulai menaruh perhatian terhadap cybersecurity dan dikoordinasikan oleh dewan keamanan nasionalnya (National Security council), bekerjasama dengan kementrian telekomunikasi dan swasta.  Negara negara ASEAN lainnya secara struktural belum kelihatan secara serius menanganinya. Indonesia masih pada tahap wacana, konsep dan sarasehan.

b.    Cybercrime
Cybercrime menurut Komisi Eropa didefinisikan "Tindakan kriminal
atau pelanggaran yang dilakukan melalui jaringan komunikasi elektronik dan sistem informasi atau sistim  jaringan yang berisiko terhadapnya", Yang digolongkan sebagai Aksi Cybermafia Acute kelompok penjahat Dunia maya yang terorganisir. Lingkungan kegiatan kriminalitas siber kelas Dunia salah satunya seperti yang terjadi ditahun 2001,  ketika 150 pakar pengguna internet melakukan rapat di Eropa bagian Timur tepatnya Ukraina untuk membentuk suatu organisasi kriminal 'Carder Planet' dibawah pimpinan Dmitry Glubov sebagai 'Godfather'.  Artikel Baru pemahaman Equity bahwa internet mampu menciptakan kesempatan pencucian uang dan dapat mendatangkan keuntungan, dengan 'Perdagangan data perbankan.'  Kelompok yang tergolong mafiacyber ini mengorganisir pencurian Data Kartu fasilitas kredit lalu menggunakannya dengan tidak sah. Dari demonstrasi dan penjelasan dari Agen USA disampaikan bahwa mafia cyber ini yang terbesar berasal Yunani dan Rusia. Para pelaku kriminal dengan cybercriminal dapat mencuri data lewat internet, mencuri uang lewat ATM, mencuri uang lewat antar BANK dan kriminal lainnya menggunakan cyberspace.

c.            Cyberterrorism
 Cyberterrorism adalah bentuk extreme lain dalam terminologi dunia
modern yang melibatkan aksi-aksi dengan teknologi untuk tujuan politis lewat  aksi kriminalitas maya seperti penyerangan sistem komputer, networks, yang tujuannya membahayakan, merugikan bahkan dapat menciderai kehidupan manusia dan mengancam keamanan nasional suatu negara. Diantara aksi mereka targetnya mencari kelemahan (vulnerability) dalam sistem kontrol transportasi (traffic control system) yang dapat menimbulkan kerusakan dan membahayakan keselamatan jiwa umat manusia.  Mengutip satu definisi umum, menurut agen FBI Mark Pollitt ‘cyberterrorism is the premeditated, politically motivated attack againts information, computer systems, computer programs, and data which result in violence againts noncombatant targets by subnational groups or clandestine agents. Ditambahkan Danning, pakar cyber-politics, bahwa aksi-aksi terorisme melalui dunia cyber dapat menyebabkan kerugian-kerugian yang sangat serius, bisa berupa kesulitan ekonomi sampai dengan menghilangkan kekuasaan suatu Pemerintahan atau targetnya membuat collaps Perusahaan di suatu negara.
Diawal-awal kemunculannya salah satu aksi cyberterrorism yang menyita banyak perhatian dunia global diantaranya yang terjadi di Jepang tahun 1995 dimana sebuah software yang disusupkan terroris berhasil mengacaukan jalur transportasi di Tokyo yang membunuh 12 orang dan melukai lebih dari 6000 orang.  Memang dipertanyakan definisi cyberterrorism karena definisi terrorism sendiri sampai dengan sekarang ini PBB belum satu kata, namun setidaknya dengan definisi diatas Cyberterrorism yang merusak, merugikan materiil maupun nyawa tersebut perlu ditanggulangi.

d.            Gigihnya Ancaman Terorisme
            Ancaman terorisme terus-menerus, sangat kompleks dan selalu berkembang. Kita semua tahu bahwa teroris mengabaikan kehidupan manusia dan tidak terpengaruh oleh batas-batas geografis. Mereka telah menggunakan internet untuk tujuan perekrutan, pendanaan, training, pengontrolan dan pengembangan organisasi, fund dressing serta indoktrinasi dan mengajak untuk berbuat radikal. Ada juga ketakutan bahwa terorisme dan pembajak secara terpadu mengancam rantai pasokan maritim di seluruh dunia. Setiap hari masih terjadi berita media yang menyiarkan adanya ancaman terrorisme dinegara negara regional, termasuk di Indonesia.  Media juga memberitakan penembakan yang dilakukan oleh aparat pemerintah terhadap kaum teroris maupun penembakan yang dilakukan oleh teroris terhadap polisi. Walaupun telah diberlakukan UU penanggulangan terorisme di Indonesia, internal security act seperti di Singapura dan Malaysia, namun itu semua tidak dapat menjamin dan menghentikan adanya serangan terorisme. Seperti Singapura yang telah memberlakukan ISA selama 20 tahun, menahan  Muhammad Fadil Abdul Hamid seorang radikalis Singapura yang telah melakukan kontak online dengan seorang perekrut yang dicurigai Al-Qaeda dan ingin memulai jihad bersenjata di luar negeri. Dua warga negara Singapura lainnya, Muhammad Anwar Jailani dan Muhammad Thahir Shaik Dawood, juga ditempatkan pada Restriction Orders. Mereka juga telah bertindak radikal sesuai dengan ideologi jihad. Sementara itu di daerah, kegiatan teroris yang dilakukan oleh Jemaah Islamiyah (JI) masih tetap berlangsung. Pada bulan Februari 2008, anggota JI Rijal Yadri bin Jumari ditangkap dan ditahan di bawah Internal Security Act. Pada saat penangkapannya, Rijal bekerja dengan unsur-unsur JI asing untuk menghidupkan kembali jaringan JI klandestin Singapura. Pada bulan Juli 2008, satu di antara mereka ditangkap oleh Indonesia dalam serangan di Palembang. Sel teroris telah mengumpulkan bahan peledak untuk serangan yang direncanakan terhadap sasaran lokal maupun asing di Jakarta. Ketika Mas Selamat Kastari ditangkap kembali di Malaysia pada tahun 2009, ia telah didukung oleh simpatisan di daerah. Tahun 2012, Indonesia menemukan sebuah kamp pelatihan teroris di Aceh dan menemukan bahwa mereka memiliki hubungan dengan elemen JI. Hanya dua bulan sebelumnya, pemerintah Indonesia menemukan  peta stasiun MRT di Orchard ketika mereka menyerbu sebuah tersangka sel teroris di Jakarta Timur, yang memunculkan kecurigaan bahwa para teroris menargetkan stasiun tersebut. Dan terakhir pada bulan januari 2013 polisi telah menembak mati 5 pelaku yang diduga terorisme dari Sulawesi.  Indonesia juga telah menangkap, mengadili pelaku tindak terorisme yang jumlahnya cukup banyak mencapai ratusan orang.
Hal ini menunjukkan masa masa suram, bahwa meskipun telah dilakukan penangkapan terhadap personil kunci Al-Qaeda dan afiliasinya diberbagai daerah regional,  sepertinya JI tidak hancur tetapi malah terpecah ke dalam sel yang menyebar kedalam kelompok. Meskipun jaringan pusat Al-Qaeda telah dilemahkan, tetapi ideologi jihad  tetap hidup. Teroris memanfaatkan anonimitas dunia maya untuk menyebarkan ideologi mereka, bertukar informasi, dan merekrut anggota baru. Ini menjelaskan kebangkitan terus menerus terorisme. Perlu diingat bahwa ancaman terorisme adalah nyata terjadi setiap saat di Asia Tenggara khususnya Indonesia. Indonesia, Singapura telah dan tetap menjadi target ikon untuk teroris. Sebagai pusat transportasi keuangan dan rumah bagi ribuan perusahaan multinasional, banyak dari Barat, maka Singapura dapat menjadi sasaran yang menarik bagi mereka yang ingin menyerang info-comm dan infrastruktur rantai pasokan.  Demikian pula hal ini dapat terjadi untuk kota kota besar lainya seperti jakarta, Kuala Lumpur, Bangkok dan Manila. Oleh karena negara negara ASEAN harus tetap waspada dan seluruh bangsa menaruh perhatiannya terhadap upaya upaya yang dilakukan demi menjaga stabilitas keamanan nasionalnya. Pemerintah, pelaku bisnis dan setiap individu - kita semua - memiliki bagian untuk untuk memastikan bahwa Jakarta, Singapura tidak menjadi korban serangan teroris, dengan mempertimbangkan ancaman terhadap keamanan masing masing negara.

e.            Cyberwar dan Cyberwarfare
Hasil beberapa kali diskusi juga menyimpulkan bahwa perang kedepan akan memasuki rea cyberwar yang merupakan perang konsep, oleh karenanya butuh pengetahuan Informasi, komputer baik brain ware, hardware, maupun software, oleh karenanya perlu kepedulian yang tinggi (Cyber Domain Awareness) bagi tiap negara untuk meningkatkan kerjasama regional, utamanya menghadapi cyberterorism dan cybercrime. Indonesia menyelenggarakan sarasehan nasional Cyber deffence, yang diadakan dikemhan pada tanggal 2 oktober 2012, menekankan perlunya cyber army untuk mengantisipasi serangan melalui dunia maya tanpa menghadirkan pasukan. Cyber army yang dimaksud disini adalah prajurit cyber yang terdiri dari individu individu terampil serta ahli dalam cyber warfare, yang dituangkan dalam konsep Pembangunan Nasional Cyber defence, sebagai garda terdepan dalam menjawab tantangan perang informasi[6].  Kesadaran semacam ini masih memerlukan usaha keras untuk mengakomodasikannya sebagai bagaian dari pertahanan nirmiliter. Tentunya bukan hanya individu yang terampil tetapi secara institusional meberdayakan seluruh potensi bangsa, khususnya yang berkompeten dalam bidang informasi.

7.            Dampak Cyber space bagi Indonesia
Dalam era globalisasi saat ini, dinamika dan fenomena cyberspace merupakan konsekuensi logis dari kemajuan teknologi dan informasi yang sangat pesat. Sarana yang digunakan antara lain adalah situs jejaring sosial berupa Facebook, Twitter, Friendster, Flickers, Blogger, Wordpress, youtube dan lain-lain dimana keberadaannya telah mempengaruhi pola pikir, pola sikap dan pola tindak setiap individu dalam memanfaatkan cyberspace. Dampak positifnya masyarakat dan pemerintah akan dengan mudah mendapatkan informasi secara real time dan cepat, Kejadian disuatu negara dapat diketahui saat itu juga dinegara belahan bumi yang lain, transaksi bisnis lebih effisien dan cepat, dapat melakukan aktifitas sosial secara on line, memudahkan pencarian informasi keluarga, sahabat, korespondensi dan manfaat lainnya. Indonesia adalah pengguna internet facebook terbesar didunia antara bulan Oktober 2011 26.598.240 pengguna menjadi 29.844.240 pengguna face book dengan pertumbuhan 12,2%[7].  Dari total pengguna facebook 78% memakai mobile phone.

Facebook Population in Southeast Asia Total Users (as of 1 Oct 2010 and 1 Nov 2010) and % Month-on-Month Growth
Rank
Country
Nov 01
Oct 01
% Growth
1
Indonesia
29,844,240
26,598,240
12.2%
2
Philippines
17,942,340
16,349,240
9.7%
3
Malaysia
8,815,780
8,136,780
8.3%
4
Thailand
6,071,480
5,376,700
12.9%
5
Singapore
2,382,200
2,273,440
4.8%
6
South Korea
1,730,320
1,454,740
18.9%
7
Japan
1,688,600
1,411,260
19.6%
8
Vietnam
1,493,600
1,270,560
17.6%
9
Brunei
187,740
169,240
10.9%
10
Cambodia
162,800
130,680
24.6%
11
Laos
28,960
28,620
1.2%

Dari penggunaan yang terbanyak ini harus ada benefit secara ekonomi dan digunakan untuk memperkuat persatuan dan kesatuan bangsa.  Contohnya pada peristiwa Ambalat tahun 2005, bagaimana volunter warga negara Indonesia mengadakan perang cyber dengan warga negara Malaysia menggunakan internet, twiter, youtube, chatting dll, sayangnya Indonesia belum mewadahinya menjadi bagian dari kamnas, karena UU Kamnas sampai sekarang belum selesai.  Berbeda dengan negara jiran yang lalu mewadahi secara struktural dalam sistim keamanan nasionalnya.  Apakah Indonesia akan membeiarkan selalu kalah langkah dalam mengambil keputusan strategis seperti ini.  Jawabannya tentu saja tidak, lalu bagaimana, siapa yang mengkoordinirnya, Kemhankah atau kominfo atau Wantannas atau institusi lain?
Dampak negatif bagi kehidupan masyarakat atas penggunaan situs jejaring sosial tersebut antara lain adalah maraknya pemberitaan yang bernuansa SARA meskipun UU RI No. 11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik Bab VII  telah mengatur Perbuatan Yang Dilarang. Larangan yang dimaksudkan diantaranya adalah larangan bagi setiap orang untuk dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan informasi bermuatan SARA, menimbulkan kebencian atau permusuhan individu dan atau kelompok masyarakat tertentu.  Dampak negatif lainnya adalah tindak pidana penipuan melalui internet, kejahatan terrorisme, penipuan melalui facebook, indoktrinasi radikalisme melalui website, chatting, penyebaran gambar, video dan counter narasi yang menyudutkan kelompok tertentu.  Dengan demikian akar persoalan cyber space bagi Indonesia antara lain:
a.          UU RI No. 11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik pada hakekatnya merupakan perkembangan hukum cyber atau hukum telematika yang relatif baru, kurang luas dalam sosialisasinya, implikasinya masyarakat kurang memahami hakekat tujuan pemanfaatan teknologi informasi dan larangan-larangan yang terkandung di dalamnya.  Masyarakat luas pada umumnya belum sepenuhnya memahami  substansi materi UU No. 11 Tahun 2008 tentang ITE (khususnya  Bab VII pasal 27 dan pasal 28) dan sanksi hukum yang ada. Mudahnya akses dan tidak adanya pembatasan atau ketentuan persyaratan apapun dalam pemanfaatan jejaring sosial, sehingga riskan untuk disalah gunakan untuk kepentingan yang tidak baik/melanggar hukum, seperti penipuan lewat toko on line, facebook. Akibat masih terjadinya fanatisme sempit  pada sebagian individu/kelompok masyarakat tertentu sehingga memanfaatkan jejaring sosial sebagai media efektif untuk  kepentingan negatifnya, contoh aramah.com, penggalangan dana FPI dengan mencantumkan no rekening dan radio FPI lewat internet. Masyarakat pengguna jejaring sosial sering lepas kontrol dalam aktivitas komunikasinya sehingga  tidak mengindahkan kaidah etika/moral berkomunikasi.
b.          Masyarakat Indonesia bersifat majemuk dalam pengertian banyak suku-etnis, agama, golongan dan struktur sosialnya masih diwarnai oleh kesenjangan yang cukup signifikan. Pada kondisi tertentu memiliki potensi untuk mudah dihasut/diadu domba dengan memanfaatkan isu SARA, tidak mustahil dapat menimbulkan anarkhisme dan destruktif.
c.          Reformasi nasional meski telah menghasilkan berbagai kemajuan, namun juga menimbulkan ekses negatif antara lain kebebasan masyarakat untuk menyatakan pendapat di muka umum kerap dilakukan dengan mengabaikan kebebasan orang lain/kelompok lain.
d.          Aparat penegak hukum kerapkali gamang ketika berhadapan dengan kerumunan massa (crowd) yang seringkali tidak terkendali dan cenderung melakukan tindakan destruktif. Kegamangan aparat penegak hukum antara lain khawatir dianggap melanggar HAM jika melakukan upaya penertiban terhadap massa beringas. 
Untuk mengantisipasi dan mencari solusi terbaik atas aktivitas pada jejaring sosial pada dunia maya (cyberspace) perlu dibuat regulasi secara komprehensif.  Disamping itu diperlukan koordinasi dan kerjasama terpadu antar instansi terkait dan pemangku kepentingan lainnya untuk mengambil langkah antisipasi dan solusi masalah ini mulai dari SDM, regulasi dan pengawasan yang ketat.

8.            Membenahi Ketimpangan antar Negara
  Kemampuan Ekonomi dan politik yang berbeda antara negara negara ASEAN telah menimbulkan ketimpangan bagi negara-negara regional yang berdampak langsung pada kemampuan masing-masing untuk menangani cyberspace. Negara-negara yang lebih maju secara ekonomi dan politik lebih terbuka memiliki kapasitas yang lebih besar untuk mengatasi ketidak amanan dunia maya, dibandingkan negara-negara miskin dan lebih represif. Selain itu, perbedaan dalam konektivitas internet memiliki korelasi langsung dengan modernisasi ekonomi suatu negara serta dengan integrasi dengan proses pembangunan global. Faktor-faktor yang mendasari dan kehadiran cyber yang mengakibatkan masing-masing negara, pada gilirannya, memiliki efek langsung pada jenis keamanan cyber dan tantangan yang mereka hadapi. Disamping itu juga perbedaan budaya di antara negara-negara ASEAN yang secara signifikan berpengaruh terhadap antisipasi dan solusi masalah cyberspace. Pembangunan ekonomi dengan kemajuan yang tinggi dan sistem politik yang lebih demokratis tidak secara otomatis menjamin berlakunya norma-norma dan nilai-nilai yang sama dengan negara-negara maju lainnya. Seperti halnya di Jepang, Singapura, di mana situs porno tidak selalu dilihat sebagai ancaman, berbeda dengan negara lainnya, dimana warganya tidak menyetujuinya untuk mengakses materi tersebut. Selain itu,  tingginya tingkat pembangunan ekonomi dan sosial, ditambah dengan tingginya penetrasi internet tidak menjamin keamanan untuk meng akses internet.  Indonesia, Singapura, negara yang secara sosio-ekonomi telah maju, akses ke situs web diperbolehkan tetapi beberapa negara regional dan internasional lainya masih menolaknya. Khusus untuk Indonesia sudah mulai mengontrol dan memblokir situs internet porno, walaupun belum semuanya berhasil di kendalikan.
Dengan demikian jelaslah bahwa dunia maya menimbulkan masalah keamanan yang baru bagi hukum dan ketertiban suatu negara yang memerlukan aturan penegakan hukum sendiri, serta menjadi bahan pertimbangan dalam menentukan ancaman. Oleh karena cyber space dengan cybersecurity dan cyberterorism-nya saling berhubungan didunia maya, yang tidak terikat oleh aturan kedaulatan dan  non-interferensi dengan segala kosekuwensinya yang memerlukan pembenahan tersendiri.  Oleh karena itu ketimpangan antar negara dalam menangani dunia maya cyberspace, perlu direducer dengan kerjasama antar negara ASEAN melalui sharing knowledge, pelatihan/workshop dan confference secara berkala dan kerjasama secara nyata dilapangan untuk mengatasinya.

9.            Regional Responses
  Pendekatan regional untuk ancaman keamanan bukan merupakan hal yang  
baru. Sejak berdirinya Forum Regional ASEAN pada tahun 1994, negara-negara Asia Timur dan mitra dialog ekstra-regional telah membahas cara-cara untuk mengurangi ketidakamanan regional. Paska serangan bom teroris  9 September terhadap AS, organisasi regional lainnya seperti APEC juga telah memasukkan isu-isu keamanan regional pada agenda kebijakan mereka. Dalam pengertian ini, penanganan ancaman keamanan cyber sudah memperoleh manfaat adanya mekanisme penanganan keamanan regional. Dengan demikian, negara harus berusaha untuk mengatasi kekurangan dalam kapasitas cyber, dengan bekerja sama dalam organisasi regional seperti ASEAN-institusi terkait dan APEC, untuk mengurangi tantangan yang ditimbulkan oleh ancaman keamanan cyber.

10.         ASEAN & ASEAN Regional Forum
  Tindakan ASEAN dalam mengamankan dunia maya telah dilakukan dalam dua
bentuk. Pertama, telah terjadi upaya umum untuk meningkatkan kapasitas regional dan sumber daya melalui proses e-ASEAN yang dimulai sejak 1999. Kedua, telah terjadi serangkaian upaya yang lebih eksplisit untuk mengamankan dunia maya dari subversi keamanan nasional secara transnasional, khususnya yang bersumber dari kegiatan organisasi kriminal dan teroris. Ada juga subfocus pada aspek pengembangan cyber, yang dianggap kritis - jika hanya untuk membantu mengatasi apa yang dilihat sebagai akar penyebab kejahatan dan terorisme yang meluap ke dunia maya regional, yaitu kemiskinan dan keterbelakangan. Sampai batas tertentu peristiwa 9/11 memberikan dorongan upaya untuk melakukan sekuritisasi keamanan cyber di tingkat regional. Namun, upaya itu sangat politis, dengan tanggapan utama melakukan studi tentang sistem hukum negara-negara regional, pertukaran informasi, dan upaya untuk mengembangkan perjanjian ekstradisi.

11.         Asia Pacific Economic Cooperation (APEC)
  Berkaitan dengan APEC, suatu lembaga dengan basis keanggotaan yang jauh
lebih luas, telah menghadapi tantangan serupa tetapi berbeda dalam melindungi anggotanya terhadap ancaman cyber. Sebagai lembaga ekonomi tanggapan  APEC untuk masalah cyber dan ancamannya telah berfokus pada isu-isu seperti e-commerce, pencurian identitas, dan perkembangan terkait, akhir tahun 1990 beralih pada aspek pidana dunia maya (khususnya keamanan informasi), dan kemudian pasca  9/11  fokus pada terorisme cyber. Selanjutnya, ditengarahi ada kesenjangan digital yang jauh lebih besar antara anggota APEC daripada yang ada antara anggota ASEAN.
Fokus bisnis yang diberikan oleh anggota APEC, jauh lebih baik daripada ASEAN.  Seacara proaktif, baru-baru ini, organisasi masyarakat sipil yang terlibat dengan sektor bisnis memastikan bahwa kegiatan perusahaan memiliki input dan dukungan seluas mungkin untuk masalah ini. Hal ini tercermin dalam kolaborasi APEC dengan OECD - seperti lokakarya Malware pada bulan April 2007 - dan joint workshop antar anggota APEC-ASEAN pada Jaringan Keamanan, yang memungkinkan kedua peserta untuk berinteraksi dan berbagi pengetahuan dan praktik.

12.         Respon Internasional
Sementara inisiatif regional mendapat pujian yang baik, tantangan dalam
memerangi ketidakamanan maya juga dilaksanakan di tingkat internasional yang lebih luas. Uni Eropa (UE), telah mengembangkan salah satu perjanjian keamanan maya paling komprehensif bagi setiap organisasi transnasional. Pada akhir 1990-an Uni Eropa secara resmi mulai mempertimbangkan dampak destabilisasi ancaman maya bisa saja terjadi pada negara-negara anggotanya, pasar dan masyarakat. Hasil akhirnya adalah 'instrumen yang mengikat secara hukum' yang disebut Konvensi Eropa tentang Cyber-Crime 2001 (Konvensi Budapest), dianggap sebagai perjanjian untuk menangani masalah keamanan cyber di tingkat domestik dan regional. Selain itu, masuknya Kanada, Jepang, Afrika Selatan dan Amerika Serikat dalam proses penyusunan Konvensi yang berarti, telah memiliki jangkauan melampaui batas-batas Eropa. Bagian kunci dari Konvensi adalah yang berkaitan dengan harmonisasi peraturan perundang-undangan dan jangkauan hukum transnasional dan  pengejaran pelaku kejahatan cyber di seluruh perbatasan.
Pada pertengahan tahun 2004, penanda tangannan Konvensi telah meluas mencapai 37 negara. Dalam hal kerja sama transnasional, Konvensi mewajibkan negara-negara yang meratifikasinya untuk memberikan kerjasama yang seluas-luasnya. Dalam menciptakan instrumen mengikat CoE dan semua mitra penyusunan mencari masukan sektor swasta serta organisasi-organisasi masyarakat sipil. Sementara beberapa kelompok memiliki kepentingan mengenai isu-isu kebebasan privasi dan individu, adopsi Konvensi yang cepat pada wilayah politik di mana hak-hak sipil dianggap penting  juga merupakan sinyal penerimaan luas. Selain itu, hal ini semakin menjadi standar global, baik untuk kerjasama maupun praktek-praktek terbaik. Dengan demikian, di tingkat internasional, Uni Eropa memberikan contoh respon kebijakan transnasional untuk mencari solusi politik yang dirasakan untuk menangani tantangan keamanan.




13.         Pelajaran Yang bisa dipetik (Lesson Learned)
a.            Perkembangan teknologi informasi dan komunikasi (ICT)  Cyberspace seperti internet dan peralatan komunikasi lainnya membawa kemajuan yang berdampak positif untuk mengetahui apa yang terjadi di dunia ini dalam hitungan detik, dapat berkomunikasi dan mengenal orang dari segala penjuru dunia tanpa harus berjalan jauh dan bertatap muka secara langsung.  Dari sisi negatif Kejahatan menggunakan sarana internet dapat menembus ruang dan waktu, tidak ada batas negara, tidak mengenal yurisdiksi, dan dapat dilakukan dari mana saja dan kapan saja. Sementara itu Peraturan perundangan untuk menjerat pelaku kejahatan ICT saat ini masih ketinggalan dibanding kemajuan teknologi dan kejahatan ICT. Indonesia sebagai pengguna internet terbesar di Asia setelah China, pengguna facebook terbesar didunia rawan terhadap serangan cyberspace utamanya cyber terrorism, radikalisme, cybercrime.
b.            Bagi indonesia Tanggungjawab dan kewajiban untuk mengendalikan dampak ICT bukan hanya terletak pada pemerintah tetapi memerlukan partisipasi masyarakat, khususnya terhadap pelaku kejahatan ICT.
c.            Cyber space cyberterorism dan cybercrime”, cybersecurity merupakan hal menarik yang sangat penting untuk diantisipasi dan dicarikan solusinya bagi keamanan nasional Indonesia dan keamanan regional.
d.            Keseriusan APCSS dan UNHAN Singapura dengan penyelenggaraan workshop dan konferensi menunjukkan betapa seriusnya ancaman cyber ini terhadap keamanan nasionalnya, hal ini juga dapat dilakukan oleh UNHAN Indonesia untuk melaksanakanya.
e.            Pengetahuan mengenai Cyber space, cybercrime dan cyber terrorism serta cyber security akan terus berkembang seiring dengan perkembangan IT.
f.             Dalam diskusi diketahui Negara Singapura dan Malaysia pasca peristiwa Ambalat tahun 2005, telah secara serius memasukkan cyberspace kedalam penanganan dan koordinasi pada struktur organisasi dewan keamanan nasionalnya.Indonesia belum mebuatnya secara struktur, masih dalam kemampuan individu-individu.
g.            Hubungan dan interaksi antar negara diperlukan bukan hanya pada saat kegiatan workshop dan confference, tetapi kelanjutannya, sehingga dapat memberikan kontribusi positif bagi CBM guna meningkatkan kesejahteraan dan keamanan umat manusia.

PENUTUP.
14.         Kesimpulan
a.                      Kehadiran negara-negara dengan berbagai kapasitas dalam komunitas internasional membuat sulit untuk memungkinkan resolusi cepat dari suatu masalah tertentu. Cepatnya perubahan di dunia maya - dan munculnya petugas dari ancaman berbasis web terhadap negara, pasar, masyarakat dan individu - memerlukan tindakan cepat oleh aktor securitizing jika media penting melalui mana sebagian besar penduduk dunia saat berkomunikasi adalah untuk dipertahankan. Apa yang dibutuhkan Oleh karena itu struktur horizontal yang mendukung di mana negara-negara pada tingkat yang sama dari pembangunan, dengan kebutuhan yang serupa dapat bekerja sama dalam meningkatkan keamanan cyber mereka. Penciptaan tingkat regional pemerintahan telah menciptakan ruang kolaboratif dimana kegiatan horisontal tersebut dapat berlangsung.
b.                  Dengan demikian, tantangan bagi negara dalam menangani ancaman cyber adalah dua kali lipat. Pertama, ia harus menemukan dan mengadopsi keseimbangan yang tepat antara pendekatan regional dan internasional. Kedua, di mana negara adalah anggota dari organisasi regional, perlu untuk memastikan bahwa pendekatan regional dan norma-norma internasional tidak menyimpang melainkan berkembang secara paralel. Dengan demikian, sementara isu-isu budaya bersama, sejarah dan geografi mungkin memainkan peran kunci dalam lebih tingkat regional pengembangan kebijakan keamanan cyber, kesamaan tidak boleh menjadi dasar bagi perbedaan dengan upaya internasional yang lebih luas.
c.                   Dari rangkaian Workshop dan konferensi beberapa negara yang diadakan akhir akhir ini mengenai cyberspace, cybersecurity, cybercrime, dan cyberterorism merupakan hal baru yang perkembangannya cukup pesat dan memerlukan perhatian tersendiri. Negara-negara di ASEAN khususnya kecuali Singapura belum begitu mendalami cybersecurity, hal ini tercermin dari ancaman bersama yang ditetapkan oleh para Menteri Pertahanan ASEAN dan para Panglimanya yang terdiri dari enam hal: terorisme, keamanan maritim, Humanitarian Assistance/Disaster Relief (HADR), bencana alam, foodsecurity, dan climate change belum memasukkan cybersecurity. Mengingat perkembangan cybersecurity yang dapat berdampak terhadap keamanan nasional secara serius maka cybersecurity dapat menjadi pertimbangan tersendiri sebagai ancaman yang harus mendapatkan prioritas.
d.                  Dalam merumuskan cyberterorism diketahui bahwa PBB maupun negara-negara Asia-Pasifik masih kesulitan karena  definisi terorisme yang belum sepaham. Namun demikian peserta sepakat bahwa cyberterorism dengan tindakannya merupakan ancaman bersama yang serius, yang dapat menganggu keamanan regional dan keamanan masing-masing negara.
e.                   Negara-negara harus mempertimbangkan apa penekanan fokus kebijakan yang harus dimiliki - apakah pendekatan regional atau global akan lebih cocok untuk kebutuhan spesifik. Hubungan antara ranah domestik dan arena global adalah bahwa dari hubungan vertikal, dengan negara memilih untuk berpartisipasi dalam organisasi internasional untuk lebih kebutuhan sendiri. Namun, kehadiran negara-negara dengan berbagai kapasitas dalam komunitas internasional membuat sulit untuk memungkinkan resolusi cepat dari suatu masalah tertentu. Cepatnya perubahan di dunia maya - dan munculnya petugas dari ancaman berbasis web terhadap negara, pasar, masyarakat dan individu - memerlukan tindakan cepat oleh aktor securitizing jika media penting melalui mana sebagian besar penduduk dunia saat berkomunikasi adalah untuk dipertahankan. Apa yang dibutuhkan Oleh karena itu struktur horizontal yang mendukung di mana negara-negara pada tingkat yang sama dari pembangunan, dengan kebutuhan yang serupa dapat bekerja sama dalam meningkatkan keamanan cyber mereka. Penciptaan tingkat regional pemerintahan telah menciptakan ruang kolaboratif dimana kegiatan horisontal tersebut dapat berlangsung.

15.         Rekomendasi
a.            Perlunya negara-negara untuk mempertimbangkan apa penekanan fokus kebijakan harus memiliki - apakah pendekatan regional atau global akan lebih cocok untuk kebutuhan spesifik. Hubungan antara ranah domestik dan arena global adalah bahwa dari hubungan vertikal, dengan negara memilih untuk berpartisipasi dalam organisasi internasional untuk lebih kebutuhan sendiri. Menyarankan kepada Pemerintah khususnya Menkum HAM TNI, Polri, Menkominfo, untuk mengkaji kembali dan koordinasi secara bersama dalam menentukan cybersecurity beserta turunannya yang dapat berdampak terhadap keamanan nasional, serta mengkaji dan merevisi Revisi UU No. 11 Tahun 2008 tentang ITE dan mempercepat realisasi RUU TIPITI (Tindak Pidana Teknologi Informasi/Cyber Crime) dilengkapi dengan peraturan pelaksanaannya yang visioner dan akomodatif dalam mengimbangi kemajuan teknologi utamanya kejahatan lewat cyberspace.
b.            Mengingat cepatnya perkembangan ICT termasuk cyberspace, oleh karenanya perlu kiranya Kemhan/TNI secara serius mengkaji cybersecurity sebagai salah satu ancaman, menjabarkannya dalam doktrin pertahanan dan doktrin TNI dan petunjuk Angkatan beserta dengan kontijensinya.
c.            Rangkaian Workshop dan konferensi mengenai Identity, Cyberspace & National Security, Cybersecurity & Cyberterrorism merupakan hal yang sangat berguna, oleh karena itu Indonesia perlu mengirimkan personilnya untuk menghadiri kegiatan semacam ini dan mengembangkannya. Dengan mengadakan kegiatan serupa bagi pengembangan cybersecurity dan cyber deffence di Indonesia, yang dimotori oleh Kemhan/Unhan, Kemenkominfo, Wantannas, TNI, dan Polri untuk mengadakan diskusi, workshop, sarasehan, konferensi mengenai cyberspace, cybersecurity, cybercrime, dan cyberterorism.
d.            Kementerian terkait
1)            Bersama Pemda secara terus menerus melakukan sosialisasi dan pemahaman kepada masyarakat luas terkait dengan UU RI No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.
2)            Bekerjasama dengan pihak swasta (pembangun situs) memperketat persyaratan pembuatan account/registrasi untuk menghindari penyalahgunaan penggunaan jejaring sosial.
3)            Bersama aparat penegak hukum
a)          Membentuk Satgas Kewaspadaan Nasional untuk melakukan pemantauan dan penelusuran setiap terjadi indikasi informasi yang disebar luaskan melalui twitter dunia maya terkait isu-isu yang bernuansa SARA yang pada akhir-akhir ini semakin meresahkan, dan melakukan blocking jika benar-benar mengarah kepada penyebaran kebencian dan permusuhan.
b)          Merespon dan mengimbangi berita-berita yang bersifat menghasut, menyesatkan, provokasi dengan berita-berita yang sifatnya mencerdaskan masyarakat agar berita yang di atas tidak berkembang ke kondisi yang lebih buruk.
c)          Mendorong pihak operator selular, berperan aktif untuk membantu penegak hukum melakukan pelacakan dan mencari bukti berita SMS yang terindikasi/berbau provokasi atau hasutan.

e.            Kementerian terkait  bekerja sama dengan Pemerintah Daerah dan Swasta dibantu para Tokoh Masyarakat, Tokoh Agama dan Tokoh Pemuda:
1)            Membuat aturan mengenai kewajiban identitas riil dalam menggunakan account jejaring sosial agar pengguna mempunyai tanggung jawab secara moral.
2)            Melakukan koordinasi, informasi dan edukasi, pencerdasan kepada masyarakat luas agar selalu waspada dalam menyikapi setiap adanya isu-isu yang berkembang terutama yang bernuansa SARA baik pada dunia nyata maupun pada dunia maya untuk tidak mudah terpancing dan terprovokasi hasutan yang belum tentu benar sumbernya.
3)            Membangun dan meningkatkan budaya etika berjejaring sosial.
4)            Mengajak para orang tua untuk meningkatkan pengawasan dan bimbingan terhadap anak/keluarga dalam penggunaan jejaring sosial (cyberspace) agar tidak terpengaruh terhadap budaya yang kurang baik.
5)            Mendorong peran guru, dosen, pembimbing, pemuka agama, tokoh masyarakat/adat untuk meningkatkan pengawasan secara terus menerus kepada warga masyarakat dan anak didiknya.

f.             Aparat Penegak Hukum :
1) Memperkuat jumlah dan meningkatkan profesionalisme personil intelijen dan cyber-crime sampai tingkat Polres guna meningkatkan fungsi pemantauan.
2)   Meningkatkan kualitas SDM yang mampu menangani perangkat ICT yang digunakan Aparat penegak hukum 
3)  Melakukan komunikasi konstruktif, memanfaatkan Intregated Criminal Justice System (ICJS)/ Makejapol untuk menerapkan hukuman maksimal bagi para pelaku penghasutan/penyebarluasan isu-isu bernuansa SARA pada jejaring media sosial.

Jakarta,      Januari 2013


   Dr. A. YANI ANTARIKSA., SE, SH, MM
LAKSAMANA PERTAMA TNI











SEKRETARIAT JENDERAL
DEWAN KETAHANAN NASIONAL
____________________________________







LESSON LEARNED RANGKAIAN WORKSHOP
DAN CONFFERENCE CYBER SPACE  NEGARA ASEAN
SERTA DAMPAKNYA BAGI INDONESIA













Oleh
Laksma TNI Dr. A. Yani Antariksa, SE,SH,MM.
















Jakarta,    Januari 2013



[1] Tulisan dibuat untuk Majalah Wira tahun 2013.

[2]  Dr. Nicholas Thomas, Seminar on "Cyber Security In East Asia” RSIS Conference Room 1, Level B4, 4th December 2008.   

[3] Speech By Senior Minister And Coordinating Minister For National Security Prof S Jayakumar At The 2010 National Security Dialogue With The Business Community On 27 July 2010, 9.40am At Orchard Hotel Ballroom 1 & 2

[4] Elina Noor, “VIRTUAL/REALITY: THE PROJECTION OF RADICAL IDENTITY AND NATIONAL SECURITY IN CYBERSPACE”, Workshop, Cyberia, Singapura, 20 Agustus 2012
[5] Jepperson, Wendt dan Katzenstein,  "Norma, Kebudayaan dan Identitas Keamanan Nasional, 1996.
[6] --------------,“Sarasehan National cyber Defense, Majalah Wira, Vol 38, no 22 September Oktober 2012.
[7] Ibid, Elina Noor .