Selasa, 03 Desember 2013

KEBIJAKAN PENYELARASAN MINIMUM ESSENTIAL FORCE KOMPONEN UTAMA


1. Umum

Minimum Essential Force (MEF) merupakan amanat pembangunan nasional bidang pertahanan keamanan yang telah ditetapkan dalam RPJMN 2010-2014 sesuai Peraturan Presiden Nomor 5 Tahun 2010. Sedangkan pada Tahun 2009 telah dirumuskan Strategic Defence Review (SDR) dan ditetapkan pokok-pokok pikiran serta direkomendasikan langkah-langkah strategis dalam mewujudkan suatu kekuatan pokok minimum yang telah ditetapkan dalam Peraturan Menteri Pertahanan Nomor 2 Tahun 2010 sebagai bagian dari postur ideal pertahanan negara. Kepentingan utama kebijakan penyelarasan MEF adalah untuk mengoreksi terhadap faktor perencanaan, mekanisme penyelenggaraan dan anggaran pertahanan dan tidak menyimpang dari sistem manajemen pengambilan keputusan pertahanan negara sesuai dengan tataran kewenangan.Adapun unsur-unsurnya terdiri dari sumber daya manusia, materiil/alat utama sistem senjata (Alutsista) TNI, sarana pangkalan dan daerah latihan, industri pertahanan, organisasi, dan anggaran.

Adapun tujuannya agar dapat dijadikan pedoman bagi penyusunan kebijakan-kebijakan terkait pembangunan postur TNI, khususnya MEF Komponen Utama.

Penyelarasan MEF merupakan upaya terobosan yang diambil melalui percepatan untuk mengatasi kendala deviasi peruntukan anggaran MEF dalam mewujudkan pencapaian MEF tahun 2010-2014.

Secara realita MEF dibangun untuk merefleksikan kekuatan optimal pemberdayaaan sumber daya nasional yang ada dan dibangun sesuai dengan kemampuan sumber ekonomi nasional.MEF merupakan strategi pembangunan kekuatan Komponen Utama menuju ideal dan MEF tidak diarahkan pada konsep perlombaan

persenjataan/arms race maupun sebagai strategi pembangunankekuatan untuk memenangkan perang total, akan tetapi sebagai suatu bentuk kekuatan pokok yang memenuhi standar tertentu serta memiliki efek tangkal. Pembangunan MEF diselaraskan dengan sumber daya yang terbatas dengan merevitalisasi industri pertahanan, namun diharapkan tetap mampu mengatasi ancaman aktual sebagai skala prioritas tanpa mengesampingkan ancaman potensial dalam kerangka TNI mampu melaksanakan Operasi Militer Perang (OMP) dan Operasi Militer Selain Perang (OMSP), disamping itu guna mewujudkan strategi penangkalan.

Penyelarasan MEF akan memberikan wujud nyata pengembangan kekuatan Trimatra Terpadu yang merupakan bagian dari rencana dasar MEF, sehingga dapat diimplementasikan secara bertahap melalui empat strategi pengembangan MEF, yaitu rematerialisasi, revitalisasi, relokasi, dan pengadaan. Strategi tersebut juga dilengkapi dengan kebijakan pengembangan personel TNI yang menggunakan prinsip zero growth policy dan right sizing serta mempertimbangkan aspek organisasi. Prinsip tersebut dilakukan untuk meningkatkan profesionalitas TNI yang diarahkan untuk mewujudkan suatu komposisi personel TNI yang tangguh dan handal.

2. Cakupan Penyelarasan MEF

Penyelarasan MEF dibatasi pada lingkup Komponen Utama yaitu TNI mengingat komponen cadangan dan komponen pendukung sebagai kekuatan pengganda tidak dapat dilihat sebagai kekuatan pokok/essential yang dibutuhkan pada ukuran minimum untuk menghadapi ancaman aktual, sebagaimana kekuatan MEF. Komponen cadangan dan komponen pendukung dikerahkan dalam konteks Operasi Militer Perang (OMP) dan perang konvensional melalui mobilisasi dan demobilisasi. Pada konteks Operasi Militer Selain Perang (OMSP) kekuatan komponen utama yang dibangun melalui MEF dapat membantu komponen nasional lainnya.

3. Pengertian

Capability Based Planning. Capability based planning adalah perencanaan pembangunan kekuatan untuk mencapai tingkat kekuatan tertentu yang dibutuhkan untuk dapat melaksanakan tugas dengan mempertimbangkan kemampuan anggaran dan aset negara yang dimiliki. Threat Based Planning. Threat based planning adalah perencanaan pembangunan kekuatan yang didasarkan pada pendekatan prediksi ancaman yang dihadapi dan perhitungan kebutuhan kekuatan dengan mempertimbangkan kekuatan musuh yang akan dihadapi.
Flash Point. Flash Point adalah bagian dari wilayah Indonesia yang

diidentifikasi sebagai daerah yang memiliki potensi tinggi terjadinya

berbagai ancaman aktual, sebagai dasar prioritas dibangunnya

komposisi dan disposisi MEF secara bertahap dan berkesinambungan.

Rematerialisasi. Rematerialisasi adalah pemenuhan menuju 100% TOP

DSPP personel dan materiil satuan TNI.

Revitalisasi.Revitalisasi adalah peningkatan strata satuan/penebalan

satuan/materiil setingkat diatasnya yang disesuaikan dengan

perkembangan ancaman dalam wilayahnya.

Relokasi. Merupakan pengalihan satuan/personel/materiil dari satu

wilayah ke proyeksi wilayah flash point.

Pengadaan. Pengadaan merupakan pembangunan satuan baru berikut

personel dan Alutsistanya dalam kerangka mewujudkan

pembangunan MEF Komponen Utama.

KEPENTINGAN PENYELARASAN MEF

4. Umum

Secara umum berbagai problematika yang dihadapi selama 2 (dua)

tahun berjalan semenjak ditetapkannya pembangunan MEF, perlu

dievaluasi sebagai bahan penyempurnaan dalam merumuskan

penyelarasan MEF tahun berikutnya.

Problematika tersebut meliputi; aspek penentuan ancaman, aspek

perencanaan, aspek mekanisme penyelenggaraan, aspek anggaran,

dan aspek manajemen pengambilan keputusan MEF, serta personel

dan organisasi. Pada bagian persoalan yang terkait dengan tahapan

pencapaian, dititikberatkan pada pencapaian (empat) strategi MEF

yaitu rematerialisasi, revitalisasi, relokasi, dan pengadaan. Keempat

hal ini sangat tergantung pada konsistensi, komitmen, dan

kontinuitas yang terdapat dalam sistem penyelenggaraan MEF di

Mabes TNI dan ketiga angkatan (TNI-AD, TNI-AL, dan TNI-AU).

5. Penentuan Ancaman

Pembangunan MEF disusun berdasarkan pada: pertama, skala

prioritas dalam menghadapi ancaman aktual dengan tidak

mengesampingkan ancaman potensial (threat based design); kedua,

kemampuan yang menjadi kemandirian (capability based defense);

ketiga, berdasarkan pada penganggaran sesuai kemampuan ekonomi

negara; dan keempat, dapat terwujudnya faktor penggentar (deterrence

factor) sebagai bagian dalam mewujudkan saling percaya dengan

negara sahabat CBM.

Dengan belum terbentuknya Dewan Keamanan Nasional sebagai

institusi yang berwenang menetapkan ancaman nasional, maka dapat

dimaklumi jika saat ini masih adanya asumsi ancaman menjadi bias

dan sangat tergantung pada persepsi masing-masing institusi.

Selaras dengan buku induk SDR 2011 dan Peraturan Menteri

Pertahanan 02 Tahun 2010 telah merumuskan asumsi ancaman dari

perkembangan lingkungan strategis terkini.

Cyber crime yang sebelumnya merupakan ancaman potensial telah

berubah menjadi ancaman yang bersifat aktual sebagai bentuk

tambahan ancaman aktual baru yang berdimensi sangat cepat dari

lingkup lokal, nasional, regional, dan internasional atau sebaliknya

dapat membahayakan kedaulatan negara, keutuhan wilayah, dan

keselamatan bangsa.

Ancaman aktual merupakan ancaman yang memerlukan penanganan

sangat mendesak, mengingat ancaman tersebut telah, sedang, dan akan terjadi setiap saat, yang tidak dapat diprediksi secara pasti

karena dimensi waktu sangat cepat serta prosesnya dapat merambah

dari lokal, nasional, regional, dan global. Adapun jenis ancaman

aktual terdiri atas: terorisme, separatisme, pelanggaran di wilayah

perbatasan dan pulau terluar, bencana alam, beragam kegiatan ilegal,

konflik horizontal, cyber crime, dan kelangkaan energi. Ancaman

potensial merupakan ancaman yang akan terjadi dan waktunya dapat

bisa diprediksi. Eskalasi waktu dan potensi ancaman cukup besar,

seperti pemanasan global, beragam kegiatan ilegal di ALKI,

pencemaran lingkungan, pandemik, krisis finansial, agresi militer, dan

kelangkaan air bersih dan pangan. 6. Aspek Perencanaan

Perencanaan yang baik merupakan suatu keberhasilan dari tahapan

pembangunan MEF dan merupakan titik awal terlaksananya

perwujudan MEF.

Realisasi perencanaan dapat dioptimalkan melalui ketelitian,

ketepatan, dan selektif antara shopping list Alutsista dan ketersediaan

anggaran yang terbatas, sehingga konsisten dalam perencanaan,

dukungan anggaran, dan hakekat MEF. Perencanaan MEF di strata

Kemhan, Kemen-PPN/Bappenas, Kemenkeu, dan TNI telah disepakati

kebijakan bersama (collegial policy) bahwa MEF merupakan

pembangunan kekuatan pertahanan militer terdiri atas Alutsista,

sarana dan prasarana, organisasi, dan SDM.

Dukungan anggaran MEF TNI tahun 2010 merupakan tahap awal dari

paradigma baru penerapan sistem perencanaan pembangunan pertahanan, yang diselaraskan dengan pemetaan dukungan anggaran

dan disesuaikan dengan kaidah pembangunan MEF.

Kementerian Pertahanan sebagai fungsi pemerintah pada aspek

regulator, administrator, dan fasilitator pada konteks perencanaan

terhadap TNI, berupaya terus mendorong penguatan secara

menyeluruh agar fungsi kebijakan dapat sepenuhnya dilaksanakan

oleh fungsi operasional TNI. Hal ini diharapkan tidak terjadi

perubahan-perubahan pada pengajuan anggaran MEF yang tidak

sesuai dengan kepentingan dan dokumen MEF yang merupakan

bagian dari dokumen perencanaan pertahanan.

7. Mekanisme Penyelenggaraan

Mekanisme penyelengaraan pemenuhan pembangunan MEF terkait

khusus dengan pengadaan perlu adanya pertimbangan menyeluruh

terkait dengan jenis dan produk Alutsista, anggaran, dan durasi

pengadaan. Pada proses pengadaan Alutsista TNI terkait dengan jenis

anggaran yang dialokasikan mengalami kendala waktu pemenuhan,

sebagai contoh adalah proses pengadaan alat komunikasi

pengamanan perbatasan (Alkom Pamtas) fasilitas Pinjaman Dalam

Negeri (PDN) tahun 2010 belum terselesaikan dikarenakan adanya

kendala anggaran PDN tidak boleh untuk pengadaan luar negeri.

Di sisi lain untuk pengadaan dalam negeri, kemampuan industri

pertahanan masih terbatas dalam memenuhi spesifikasi teknis yang

dibutuhkan TNI. Pengadaan luar negeri menggunakan fasilitas Kredit

Eksport (KE) yang memiliki birokrasi panjang dan lambatnya proses

dari setiap simpul pengadaan. Hal ini menyebabkan pengadaan

Alutsista memerlukan waktu yang lama, sementara teknologi

berkembang cepat, dan waktu penyerapan anggaran terbatas.

Pada tahapan ini penyelenggaran MEF melalui sistem pengadaan

banyak menghadapi problematika dengan beberapa tahapan

kepentingan yang pada akhirnya memperlambat proses eksekusi dan

berujung pada tidak optimalnya operasional. Sementara Alutsista

semakin tidak laik pakai bahkan bisa membahayakan keselamatan

manusia dan lingkungan. Dalam MEF terdapat pembangunan dan

pengembangan organisasi yang perlu disesuaikan. Ketidaksinkronan

antara kebijakan dan operasional di lapangan apabila dihadapkan

pada kondisi kritis Alutsista perlu adanya konsistensi dalam sistem

penggantian Alutsista tersebut ( data tentang kondisi kritis alutsista

dapat dilihat pada lampiran), di samping itu sistem standardisasi

militer dan kelaikan Alutsista militer banyak yang belum terpenuhi.8. Aspek Anggaran

Komitmen pemerintah membangun pertahanan negara pada skala

nasional dapat diwujudkan sebagai penentu kebijakan anggaran

dengan memperkokoh kebersamaan secara kolegial serta

memprioritaskan anggaran pertahanan walaupun masih adanya

beberapa kepentingan politik di tingkat DPR RI yang semakin panjang

proses penyelesaiannya.

Hal tersebut dapat diakselerasi melalui perencanaan dan

pengalokasian anggaran di Bappennas dan kemampuan ketersediaan

anggaran di Kemenkeu agar prioritas anggaran pertahanan

ditingkatkan. Hal ini dapat terlihat pada indikator rencana dan

pemenuhan kebutuhan pertahanan yang sesuai dengan rincian

anggaran baseline yang direncanakan.

Proses perencanaan penganggaran dari bottom up dan top down terjadi

interaksi antara kebutuhan, pemenuhan, dan realibilitas ketersediaan

anggaran pertahanan negara pada rencana strategis pertahanan

negara tahun 2005-2009 selalu tidak terlaksana.

Pada Renstra Hanneg tahun 2005-2009 sebesar Rp. 404.123,60 M dan

terdukung sebesar Rp. 150.586,04 M atau mencapai 37,26%; dengan

persentase kenaikan rata-rata sebesar 40,77% setiap tahunnya dan

cenderung semakin menurun ditinjau dari APBN maupun PDB

sehingga sasaran pembangunan pertahanan negara tidak dapat

dicapai sesuai dengan rencana target yang ditetapkan. Hal tersebut

dapat dilihat pada diagram 1 di bawah ini, yang menggambarkan

perjalanan anggaran pertahanan yang dikaitkan antara kebutuhan

Komponen Utama/TNI semenjak tahun 2005-2009 dan pemenuhan

anggaran dimulai tahun 2010 sebagai sistem indikator pemenuhan

anggaran dari pemerintah.Perubahan kebijakan mendasar dari proses anggaran top down

menjadikan kebutuhan anggaran pertahanan untuk menghadapi

ancaman nasional dibatasi oleh keterbatasan anggaran yang terlihat

dari pagu indikatif yang ada atau sesuai kemampuan pemerintah.

Implementasi penyaluran anggaran dengan rencana kebutuhan

diupayakan sesuai konsep MEF khususnya terkait dengan

penggunaan dana KE. Ada beberapa permasalahan sebagai berikut :

a. Penetapan alokasi blue book pinjaman luar negeri setiap Renstra

selalu terlambat.

b. Proses pinjaman luar negeri sangat lama (lebih dari 36 bulan),

dimana kegiatan tersebut melebihi dari 30 langkah yang melibatkan

berbagai institusi.

c. Pinjaman luar negeri sangat tergantung kepada negara pemberi

kredit.

d. Permasalahan negosiasi material kontrak harus diikuti oleh

negotiation loan.

e. Pinjaman luar negeri sangat sulit mendapatkan Bank penjamin

untuk material militer.

f. Pinjaman luar negeri sangat dipengaruhi oleh ketersediaan rupiah

murni sebagai uang muka pendamping.

g. Proses persetujuan pencairan anggaran (pencabutan tanda bintang)

terhadap rupiah murni pendamping memerlukan waktu yang relatif

panjang.h. Konsep operations requirement (Opsreq) dengan ketersediaan

pinjaman luar negeri sering tidak seimbang.

i. Kegiatan evaluasi spesifikasi teknis (Spektek) sering terlambat.

Penggunaan anggaran pinjaman dalam negeri dan badan usaha milik

nasional industri pertahanan (BUMNIP) dan badan usaha milik swasta

(BUMS), memiliki problematika sebagai berikut :

a. Alokasi kontrak menggunakan rupiah murni besarannya terbatas.

b. Proses pengadaan PDN masih mengacu pada Permenhan Nomor 07

Tahun 2006 tentang pengadaan barang dan jasa militer dengan

menggunakan fasilitas KE di lingkungan Dephan dan TNI.

c. Proses pengadaan yang cukup panjang mengakibatkan

keterlambatan daya serap di akhir tahun anggaran.

d. Alokasi anggaran PDN di UO Kemhan dan pelaksanaan

program/kegiatan oleh UO TNI dan Angkatan mengakibatkan

proses lebih lama karena panjangnya penyelesaian administrasi.

9. Mekanisme Pengambilan Keputusan MEF

Pengelolaan pertahanan tidak terlepas dari sistem manajemen

pertahanan yang masih menggunakan sistem tradisional dengan

mengutamakan pengambilan keputusan bersifat perorangan atau

pejabat dari pertimbangan sistem yang telah ditentukan.

Sistem pengawasan manajemen pertahanan belum efektif sehingga

proyeksi MEF diharapkan mampu melakukan pengambilan keputusan

yang sesuai dengan prosedur dan sistem yang berlaku. Shopping list

MEF seharusnya mendapat landasan hukum dengan Peraturan

Presiden.

Transisi perubahan mendasar terhadap sistem penganggaran dari

tahun 2009 ke tahun 2010 menyebabkan pencapaian yang tidak

sesuai dengan MEF karena tahun 2010 masih merupakan

perencanaan dari tahun sebelumnya, diharapkan pengambil

keputusan pemegang otoritas dapat membedakan pembangunan MEF

dan pembangunan lainnya dalam rangka pembangunan pertahanan

komponen utama.

10. Aspek Personel dan Organisasi

Kebijakan zero growth merupakan kebijakan Presiden RI dalam upaya

memberdayakan eksistensi SDM militer/TNI terutama personel di luar

struktur organisasi/luar formasi (LF). Pada tahun 2009 kuantitas TNI

yang berjumlah kurang lebih 410.189 orang dapat lebih efektif dalammelaksanakan tugas pokoknya. Dengan kebijakan tersebut

diharapkan pada setiap Renstra selalu terjadi keseimbangan jumlah

personel atau tidak mengalami perubahan, bahkan meningkat dari

aspek kualitas.

Pembangunan MEF secara otomatis juga akan diikuti pembangunan

organisasi baru dan revitalisasi organisasi, tentunya kebijakan

tersebut sangat berpengaruh terhadap pengisian TOP dan DSPP

organisasi, implementasi right sizing satuan TNI melalui

restrukturisasi, dan revitalisasi organisasi yang berakibat organisasi di

luar wilayah flash point akan mengalami defisit personel.

PENCAPAIAN PEMBANGUNAN MEF SAMPAI TAHUN 2011

11. Umum

Tahun 2010 sebagai tahun pertama Renstra Hanneg tahun 2010-

2014, Kementerian Pertahanan telah meletakkan dasar pembangunan

pertahanan negara yang meliputi rencana strategis Kemhan dan TNI

yaitu mulainya pembangunan MEF tahun 2010. Pembangunan MEF

tahun 2010 ini masih bervariasi dan belum berfokus pada aspek

anggaran maupun pola pengadaannya.

12. Hasil pencapaian pembangunan MEF tahun 2010

a. Rematerialisasi

Rematerialisasi merupakan pemenuhan menuju 100% TOP/DSPP

personel dan materiil satuan TNI.

1) Mabes TNI. Nihil.

2) TNI Angkatan Darat ( data tentang pencapaian personil dan

materiil sampai dengan tahun 2010 dapat dilihat pada

lampiran ).

3) TNI Angkatan Laut ( data tentang pencapaian personil dan

materiil sampai dengan tahun 2010 dapat dilihat pada

lampiran ).

4) TNI Angkatan Udara ( data tentang pencapaian personil dan

materiil sampai dengan tahun 2010 dapat dilihat pada

lampiran ).

b. Revitalisasi

Revitalisasi merupakan peningkatan strata satuan/penebalan

satuan/materiil setingkat diatasnya yang disesuaikan dengan

perkembangan ancaman dalam wilayahnya.1) Mabes TNI. Nihil.

2) TNI Angkatan Darat ( satuan yang ditingkatkan stratanya

dapat di lihat pada lampiran ).

3) TNI Angkatan Laut ( satuan yang ditingkatkan stratanya dapat

di lihat pada lampiran ).

4) TNI Angkatan Udara ( satuan yang ditingkatkan stratanya

dapat di lihat pada lampiran ).

c. Pengadaan

Pengadaan merupakan pembangunan satuan baru berikut

personel dan Alutsistanya dalam kerangka mewujudkan

pembangunan MEF Komponen Utama.

1) Mabes TNI ( data tentang pengadaan personil dan materiil

dapat dilihat pada lampiran ).

2) TNI Angkatan Darat ( data tentang pengadaan personil dan

materiil dapat dilihat pada lampiran ).

3) TNI Angkatan Laut ( data tentang pengadaan personil dan

materiil dapat dilihat pada lampiran ).

4) TNI Angkatan Udara ( data tentang pengadaan personil dan

materiil dapat dilihat pada lampiran ).

13. Hasil Pencapaian Pembangunan MEF tahun 2011

Tahun 2011 sebagai tahun kedua Renstra Hanneg tahun 2010-2014,

merupakan tindak lanjut dari dasar pembangunan pertahanan negara

yang meliputi :

a. Rematerialisasi

Rematerialisasi yang merupakan pemenuhan menuju 100% TOP

DSPP personel dan materiil satuan TNI.

1) Mabes TNI. Nihil.

2) TNI Angkatan Darat ( data tentang pencapaian personil dan

materiil sampai dengan tahun 2011 dapat dilihat pada

lampiran ).

3) TNI Angkatan Laut ( data tentang pencapaian personil dan

materiil sampai dengan tahun 2011 dapat dilihat pada

lampiran ).

4) TNI Angkatan Udara ( data tentang pencapaian personil dan

materiil sampai dengan tahun 2011 dapat dilihat pada

lampiran ).b. Revitalisasi

Revitalisasi merupakan peningkatan strata satuan/penebalan

satuan/materiil setingkat diatasnya yang disesuaikan dengan

perkembangan ancaman dalam wilayahnya.

1) Mabes TNI ( data tentang organisasi yang ditingkat stratanya

terdapat dalam lampiran ).

2) TNI Angkatan Darat ( satuan yang ditingkatkan stratanya dapat

di lihat pada lampiran ).

3) TNI Angkatan Laut ( satuan yang ditingkatkan stratanya dapat

di lihat pada lampiran ).

4) TNI Angkatan Udara ( satuan yang ditingkatkan stratanya

dapat di lihat pada lampiran ).

c. Relokasi

Relokasi merupakan pengalihan satuan/personel/materiil dari

satu wilayah ke proyeksi wilayah flash point.

1) TNI Angkatan Darat. Nihil.

2) TNI Angkatan Laut ( satuan yang akan direlokasi dapat dilihat

pada lampiran ).

3) TNI Angkatan Udara. Nihil.

d. Pengadaan

Pengadaan yang merupakan pembangunan satuan baru berikut

personel dan Alutsistanya dalam kerangka mewujudkan

pembangunan MEF Komponen Utama.

1) Mabes TN ( data tentang materiil yang masuk dalam program

pengadaan terdapat pada lampiran ).

2) TNI Angkatan Darat ( data tentang pengadaan organisasi,

personil, dan materiil terdapat pada lampiran ).

3) TNI Angkatan Laut ( data tentang pengadaan organisasi,

personil, dan materiil terdapat pada lampiran ).

4) TNI Angkatan Udara ( data tentang pengadaan organisasi

terdapat pada lampiran ).

PENYELARASAN PEMBANGUNAN MEF TAHUN 2012-2014

14. Umum

Pijakan dasar sebagai penentu kebijakan strategis di bidang

pertahanan periode 2010-2014 ditekankan pada keterkaitan yang erat antara strategic objective–defence capabilities dan anggaran

pertahanan. Proyeksi penggunaan kekuatan TNI berdasarkan

perkiraan strategis 3 (tiga) tahun ke depan meliputi;

pertama, mengatasi masalah perbatasan dan pulau-pulau kecil

terluar khususnya yang berada di Corong Barat; kedua, mengatasi

separatisme; ketiga, mengatasi terorisme; keempat, mengatasi

bencana alam; kelima, mengatasi ragam kegiatan ilegal dan

mengatasi permasalahan wilayah perbatasan negara; keenam,

penyiapan Standby force, Striking force dan Peace Keeping Operation

(PKO).

Dengan prediksi peningkatan anggaran pertahanan untuk lima

tahun ke depan, diharapkan dapat dibangun kekuatan MEF. Dengan

demikian, sasaran penyelenggaraan pertahanan tiga tahun ke depan

adalah terwujudnya kondisi aman dan damai di berbagai daerah

yang terus membaik dengan meningkatnya kemampuan dasar

pertahanan negara yang ditandai dengan peningkatan kemampuan

Komponen Utama pertahanan negara.

15. Pembangunan MEF Mabes TNI Tahun 2012–2014

a. Pengadaan kebutuhan alat peralatan dalam rangka mendukung

kegiatan operasi TNI bersifat Trimatra Terpadu meliputi; Rantis dan

Ransus, senjata dan munisi, peralatan deteksi/intelijen, peralatan

Jihandak, dan Aloptik.

b. Pengadaan kebutuhan komunikasi elektronik dalam rangka

mendukung kegiatan operasi TNI bersifat Trimatra Terpadu.

c. Perwujudan penyesuaian MEF (data tentang perwujudan

penyesuaian MEF terdapat dalam lampiran ).

16. Pembangunan MEF TNI Angkatan Darat tahun 2012-2014

a. Pembangunan MEF pada tahun 2012.

Untuk tahun 2012 TNI Angkatan Darat telah merencanakan

pembangunan kekuatannya sebagai berikut :

1) Rematerialisasi ( data tentang organisasi, personil, dan materiil

yang masuk rematerialisasi terdapat dalam lampiran ).

2) Revitalisasi ( data tentang organisasi, personil, dan materiil yang

masuk revitalisasi terdapat dalam lampiran ).

3) Pengadaan/Pembentukan satuan baru ( data tentang organisasi,

personil, dan materiil yang masuk dalam pengadaan terdapat

dalam lampiran ).4) Pemenuhan Alutsista yang belum terpenuhi pada tahun 2010

dan 2011 maupun kebutuhan pangkalan untuk satuan baru

maupun melanjutkan renstra tahun 2005-2009 ( data tentang

pemenuhan alutsita yang belum terpenuhi dapat dilihat pada

lampiran ).

b. Pembangunan MEF pada tahun 2013.

1) Rematerialisasi ( data tentang organisasi, personil, dan materiil

yang masuk rematerialisasi terdapat dalam lampiran ).

2) Revitalisasi ( data tentang organisasi, personil, dan materiil yang

masuk revitalisasi terdapat dalam lampiran ).

3) Pengadaan( data tentang organisasi, personil, dan materiil yang

masuk pengadaan terdapat dalam lampiran ).

4) Pemenuhan Alutsista yang belum terpenuhi pada tahun 2010,

2011 dan 2012 maupun kebutuhan pangkalan untuk satuan

baru maupun melanjutkan renstra tahun 2005-2009.

c. Pembangunan MEF pada tahun 2014.

1) Rematerialisasi ( data tentang organisasi, personil, dan materiil

yang masuk rematerialisasi terdapat dalam lampiran ).

2) Revitalisasi ( data tentang organisasi, personil, dan materiil yang

masuk revitalisasi terdapat dalam lampiran ).

3) Pengadaan ( data tentang organisasi, personil, dan materiil yang

masuk pengadaan terdapat dalam lampiran ).

4) Pemenuhan Alutsista yang belum terpenuhi pada tahun 2010,

2011, 2012 dan 2013 maupun kebutuhan pangkalan untuk

satuan baru maupun melanjutkan renstra tahun 2005-2009.

17. Pembangunan MEF TNI AL 2012 - 2014.

a. Rematerialisasi (data tentang materiil yang masuk rematerialisasi

terdapat dalam lampiran ).

b. Revitalisasi (data tentang organisasi, materiil yang masuk

revitalisasi terdapat dalam lampiran ).

c. Relokasi (data tentang organisasi, personil, dan materiil yang

masuk relokasi terdapat dalam lampiran ).

d. Pengadaan (data tentang Pembangunan bidang organisasi, personil,

dan materiil yang masuk pengadaan terdapat dalam lampiran ).

18. Pembangunan MEF TNI AU tahun 2012 -2014

a. Rematerialisasi (data tentang materiil yang masuk rematerialisasi

terdapat pada lampiran ).b. Revitalisasi (data tentang organisasi, materiil yang masuk

revitalisasi terdapat pada lampiran ).

c. Pengadaan (data tentang organisasi, personil, dan materiil yang

masuk pengadaan terdapat pada lampiran ).

PEMENUHAN MEF MELALUI INDUSTRI PERTAHANAN DALAM NEGERI

DAN FORMAT ANALISIS KEBUTUHAN

19. Umum

Tahun 2010 telah dicanangkan sebagai tahun kebangkitan industri

pertahanan dengan pertimbangan bahwa “tidak ada masa depan

tanpa teknologi/no future without technology”, seiring dengan itulah

menjadikan satu nafas antara pembangunan dan keberlanjutannya/

suistainable development untuk menumbuhkembangkan sinergitas

antara pembangunan ekonomi dan pertahanan. Kebijakan pemerintah

mulai tahun 2010 adalah pertahanan mendukung ekonomi (economy

backed by defence), diharapkan bahwa nanti terdapat ruang yang

tersedia bagi teknologi untuk mengubah masa depan bangsa dan

negara. Hal penting yang menjadi atensi untuk merealisasikan

pemberdayaan industri dalam negeri yaitu: pertama, kerja sama lintas

instansi, kedua, manajerial dari BUMNIS (Indhan); dan ketiga

pemenuhan keseluruhan kemampuan anggaran dan kemampuan

SDM; keempat sarana prasarana yang tersedia.

20. Kebijakan Penguasaan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (Iptek) Bidang

Pertahanan.

Indonesia memerlukan kebijakan yang lebih progresif untuk mengejar

ketertinggalan dalam penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi

(Iptek) bidang pertahanan dalam rangka mewujudkan kemandirian

Industri Pertahanan (Indhan). Kemandirian industri pertahanan

sangat bergantung pada tiga pilar pelaku Iptek, yaitu perguruan tinggi

dan lembaga Litbang, industri, dan user (TNI sebagai pengguna). Oleh

sebab itu, pemerintah akan segera merumuskan kebijakan terpadu

bidang Iptek dan Indhan yang diarahkan pada kebutuhan industri

pertahanan, yang meliputi:

a. Pengembangan SDM, program unggulan dan strategis yang

berkualitas di bidang rancang bangun dan rekayasa teknologi serta

prioritas transfer teknologi yang dibutuhkan.

b. Kerja sama penelitian dan pengembangan di bidang ilmu

pengetahuan dan teknologi, dan industri pertahanan baik dalam

negeri maupun luar negeri.c. Pemberdayaan industri nasional yang berpotensi untuk menjadi

industri pertahanan.

Lembaga pemerintah terkait perlu menindaklanjuti kebijakan ini

dengan langkah-langkah strategis, diantaranya diversifikasi spektrum

produk, baik komersial maupun produk militer; menetapkan regulasi

di lingkungan Kementerian Pertahanan/TNI untuk menggunakan

produk dalam negeri; menetapkan regulasi kerja sama dan

pembiayaan pengembangan industri pertahanan; dan menetapkan

regulasi industri pertahanan, termasuk dengan melibatkan pihak

swasta sebagai bentuk komitmen terhadap upaya peningkatan

kemandirian industri pertahanan.21. Pemenuhan Alutsista melalui Joint Production

Kebijakan pemerintah dalam pemenuhan kebutuhan Alutsista adalah

mengutamakan produk dalam negeri, apabila industri pertahanan

dalam negeri belum mampu maka menggunakan produk luar negeri

namun tetap melibatkan industri dalam negeri salah satunya melalui

mekanisme joint production.

Bila industri pertahanan dalam negeri belum mampu maka

pemenuhan Alutsista dari luar negeri diusahakan tetap memberikan

kompensasi melalui mekanisme Imbal Dagang lainnya oleh industri

nonpertahanan.

Kebijakan membangun infrastruktur industri pertahanan yang

merupakan bagian dari industri nasional, perlu membangkitkan

industri unggulan berbasis teknologi strategis dengan bekerja sama

dengan negara lain.produksi bersama (joint production/co-production) yang merupakan

bagian dari mekanisme offset dan Imbal Dagang (counter trade).

Produksi dilaksanakan berdasarkan perjanjian antara penjual dan

pembeli untuk mendapatkan informasi teknologi guna melakukan

produksi seluruh atau sebagian peralatan pertahanan yang sesuai

dengan aslinya.Joint production yang telah dilaksanakan untuk pemenuhan pesawat

tempur yaitu joint production yang mengarah pada pengembangan

bersama pesawat KFX dengan Korea Selatan Adapun joint production

lain yang dapat dilaksanakan oleh PT DI adalah pesawat turboprop

pengganti OV-10, helikopter C725 Cougar, helikopter BELL 412,

torpedo SUT dan hovercraft. Produk PT PINDAD adalah panser kanon,

dan untuk produk PT. PAL adalah perusak kawal rudal.

22. Strategi Utilisasi Industri Pertahanan Dalam Negeri

Kemampuan industri pertahanan dalam memproduksi Alutsista akan

berpengaruh terhadap kemandirian pemenuhan kebutuhan Alutsista

dari dalam negeri. Pembinaan industri pertahanan diarahkan kepada

pencapaian kemandirian kemampuan menyediakan alat peralatan

pertahanan untuk mendukung kemampuan pertahanan dalam

menghadapi ancaman.

Kemampuan yang ingin dicapai sesuai dengan proyeksi pada tahun

2024 adalah memiliki industri pertahanan yang mampu menyediakan

kebutuhan Alutsista untuk mendukung kemampuan pertahanan yang

memiliki daya tangkal terhadap seluruh kekuatan negara tetangga.

Pembinaan industri pertahanan diarahkan pada pencapaian

kemampuan desain, produksi, pemasaran, layanan purna jual,

pemeliharaan, dan dukungan logistik terpadu yang memenuhi standar

nasional/internasional secara bertahap, berlanjut, dan konsistensesuai bidang industrinya, melalui pengembangan iptek yang

melibatkan akademis, lembaga litbang, dan industri serta kerja sama

dengan pihak luar negeri dalam rangka transfer teknologi.

Kebijakan pemerintah untuk menggunakan produksi dalam negeri,

perlu ditindak lanjuti oleh pengguna/TNI dalam bentuk kebijakan

nyata untuk menggunakan produk-produk industri pertahanan dalam

negeri sebagai salah satu bentuk pembinaan industri pertahana.

.23. Komponen Utama Pengguna Produk Indhan

a. Mabes TNI (Menggunakan anggaran rupiah murni).

Kegiatan untuk mengintegrasikan kebutuhan standar dan

memenuhi kebutuhan senjata dan munisi ketiga angkatan adalah

senjata: SS-2 V1 kal 5,56 mm, SS-2 V2 kal 5,56 mm, SS-1

Marinize kal 5,56 mm, dan pistol G2 Combat. Munisi kaliber besar

meliputi: Gr. Mortir kal 60 mm CO, Gr. Mortir 60 mm LR, Gr.

Mortir kal 81 mm, motor rocket FFAR 2,75", Bomb P 100,

warhead rocket FFAR 2,75" (anti personel dan smoke) dan MKB

jenis lainnya. Munisi kaliber kecil meliputi: Mukal 9 mm (Mu 1

TJ), Mukal 9 mm (Mu 1 JHP), Mukal 5,56 mm (Mu-5 TJ), Mukal

5,56 mm (Mu-5 M), Mukal 5,56 mm (Mu-5 TJ) link, Mukal 7,62

mm (Mu-2TJS), Mukal 7,62 mm (Mu-2 TJ) link, Mukal 7,62 mm

(Mu-8 TJ) AK, Mukal 12,7 mm (50) link HBFL, Mukal 12,7 mm

(50) link CIS.Pemenuhan kebutuhan yang dilakukan oleh Indhan untuk produk

amunisi khusus meliputi; Mu pistol Isy kal 1" (M,P,H), granat

tangan GT 5 OFF, granat tangan GT 5 PE, granat tangan assap

(M,P,H), TNT 50 s.d 500 gr, dan detonator listrik. Sedangkan

kebutuhan untuk alat peralatan khusus (Alpalsus) adalah sea

rider dan penjernih air. Selain itu diperlukan juga alat

perlengkapan khusus (Alkapsus) terdiri atas: helm anti peluru

level III dan rompi anti peluru. Kebutuhan lain berupa Alkom

perbatasan & PUO.

b. TNI Angkatan Darat.

Pemeliharaan dan pengadaan Alutsista TNI AD melalui industri

pertahanan sangat dibutuhkan terutama; panser Anoa, retrofit

AMX-13 dan pengadaan; senapan SS munisi kal 5,56 mm (MU-

5Tj), munisi kal 5,56 mm (MU-5TH), Rantis ¾ Ton, payung udara

orang (PUO), APS Pindad Yon Mekanis, helm latihan. Rompi anti

peluru level 4-A, helm tempur two in one Level 3-A, munisi kal

12,7 mm x 99 mm serta munisi kal 7,62 mm link.

c. TNI Angkatan Laut.

Kegiatan yang bisa diberikan TNI Angkatan Laut ke industri

pertahanan berupa: Platform Kapal Cepat Rudal (KCR), Kapal

Patroli (PC), Kapal Angkut Tank (AT), Kapal Bantu Cair Minyak

(BCM), Landing Craft Utiliy (LCU), Landing Craft Vehicle Personel

(LCVP), combat boat, sea raider, Rantis 2½T, mobil pembuat air

tawar, peralatan latihan penerbangan, peralatan latihan navigasi,

refurbishment TPO SUT, senjata perorangan, munisi kaliber kecil,

helm anti peluru, radar surveillance/LPI Ecdis, combat

management system (CMS) dalam negeri, peralatan pemadam

kebakaran dan truck 2 ½ ton .

d. TNI Angkatan Udara.

Pemiliharaan, perawatan dan pengadaan Alutsista TNI Angkatan

Udara dapat dilaksanakan dan bekerja sama dengan industri

pertahanan dalam negeri. Pengadaan 1 unit pesawat CN-235 MPA,

pengadaan 2 unit pesawat C-212 200, pengadaan lanjutan 2 unit

helikopter NAS-332, upgrade simulator Hawk-109/209 upgrade

FBT, munisi kaliber besar, kecil dan khusus, senapan serbu Kal

5.56 mm, dan alins alongin.

24. Format Analisis Kebutuhan MEF

Upaya strategis untuk mencegah adanya penyimpangan dalam

pengadaan yang tidak sesuai dengan kepentingan MEF perlu didesain

suatu prosedur dan tata cara analisis kebutuhan untuk Postur MEFdari aspek dokumen kebijakan, dokumen rencana strategis, operations

requirement sampai dengan level teknis dan administratif, khususnya

aspek strategi melalui pengadaan sebagai berikut :

a. Pengadaan suatu Alutsista harus menyebutkan nama dan jumlah.

b. Nama dan jumlah Alutsista tersebut apabila dihadapkan proyeksi

kekuatan TNI bisa menjawab respon dari analisis lingkungan

strategis dalam menghadapi ancaman aktual yang telah

dirumuskan dalam dokumen MEF.

c. Rencana pengadaan Alutsista yang telah sesuai dengan point b,

maka kemampuan dan daya kekuatannya sebagaimana Alutsista

yang telah tercantum dalam dokumen MEF Permenhan 02 Tahun

2010.

d. Alutsista yang telah sesuai dengan dokumen MEF direncanakan

akan di gelar sesuai kepentingan pembangunan kekuatan MEF.

e. Kebutuhan sarana dan prasarana pendukung untuk Alutsista

tersebut harus sesuai dengan yang tercantum dalam dokumen

MEF.

f. Selaras dengan 6 langkah di atas, kebutuhan Alutsista MEF

tertuang dalam dokumen perencanaan sebagai berikut :

1) Rencana pembangunan jangka menengah/RPJM atau rencana

strategi tahun 2010-2014.

2) Rencana pembangunan tahunan pertahanan negara.

g. Penyedia potensial Alutsista tersebut mengutamakan produsen

dalam negeri, apabila tidak ada dapat mengajukan penyedia dari

luar negeri dengan menyebut nama pabrikan dan negaranya

KEBIJAKAN PEMBANGUNAN MEF KOMPONEN UTAMA 2015–2024

25. Umum

Kebijakan pembangunan 2015-2024 akan mewadahi pembangunan

MEF 2010-2014 yang belum terlaksana, prioritas kebijakan

pembangunan MEF Komponen Utama 2015-2024 yang akan

dilaksanakan oleh Presiden terpilih berikutnya sebagai pemerintah

baru, tentunya secara sistem akan melanjutkan kebijakan sebelumnya

untuk membangun kekuatan pertahanan dengan tetap

mempertahankan empat pilihan strategi (rematerialisasi, revitalisasi,

relokasi dan pengadaan). Kebijakan diarahkan pada tahapan

pencapaian dengan mempertimbangkan realita alokasi anggaran

pertahanan dalam APBN. Kebijakan pembangunan MEF diharapkan

tidak terlalu membebani keuangan negara, namun tetap dapat

mendorong percepatan menuju pemenuhan postur ideal TNI. Atas

dasar pertimbangan tersebut, dan diselaraskan dengan rencana

pembangunan jangka panjang nasional maka pembangunan MEF

akan dilaksanakan dalam jangka waktu lima belas tahun, dimulai

pada tahun 2010 melalui tiga tahap lima tahunan yang tidak menutup

kemungkinan akan mengembangkan pembangunan untuk komponen

pendukung dan komponen cadangan.

Kebijakan pertahanan integratif merupakan kebijakan pertahanan

yang mengintegrasikan dan menyinergikan semua potensi dan

kekuatan pertahanan negara yang harus dimaknai dan

diimplementasikan. Kebijakan pembangunan MEF Komponen Utama

untuk 2015-2024 melalui: pengadaan Alutsista TNI yang dilakukan

oleh industri pertahanan dalam negeri, dan pengadaan Alutsista dari

luar negeri yang harus diikuti dengan transfer of technology (ToT) dan

transfer of knowladege (ToK) agar penggunaan dan pemeliharaan

dapat berjalan dengan baik. Pembangunan MEF merupakan

penjabaran dari kebijakan pemerintah di bidang pertahanan negara

yang tertuang dalam kebijakan umum pertahanan negara serta

kebijakan penyelenggaraan pertahanan negara.

26. Tahap – II : 2015 - 2019

Pembangunan kekuatan pokok minimum pada lima tahun kedua

berikut ini merupakan tindak lanjut dari tahap I dengan fokus

menyelesaikan rencana strategi tahap I yang belum selesai serta

pemantapan dan peningkatan kemampuan Postur TNI. Apabila

pembangunan tahap I terlaksana sesuai dengan yang direncanakan,

maka pada pembangunan MEF tahap II sesuai dengan kebijakan

Pembangunan kekuatan TNI

Pendahuluan
Tujuan penyelenggaraan pertahanan negara pada hakekatnya adalah untuk menjaga dan melindungi kedaulatan negara, keutuhan wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia, dan keselamatan segenap bangsa dari segala bentuk ancaman. Kebijakan Nasional di Bidang Pertahanan yang tertuang dalam Perpres Nomor 5 Tahun 2010 tentang RPJMN 2010 � 2014, menyatakan bahwa sasaran pembangunan bidang pertahanan dan keamanan diarahkan untuk terwujudnya �peningkatan kemampuan pertahanan negara dan kondisi keamanan dalam negeri yang kondusif, sehingga aktivitas masyarakat dan dunia usaha dapat berlangsung secara aman dan nyaman�. Untuk mencapai sasaran tersebut, maka strategi yang diterapkan adalah pencapaian Kekuatan Pokok Minimum (Minimum Essential Force/MEF), pemberdayaan industri pertahanan nasional, pencegahan gangguan keamanan dan pelanggaran hukum di laut, peningkatan rasa aman dan ketertiban masyarakat, modernisasi deteksi dini keamanan nasional dan peningkatan kualitas kebijakan keamanan nasional.
Sesuai dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia (TNI), tugas pokok TNI adalah menegakkan kedaulatan negara, mempertahankan keutuhan wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945, serta melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia dari ancaman dan gangguan terhadap keutuhan bangsa dan negara.
Perkembangan Lingkungan Strategis dan Potensi Ancaman
Dinamika perkembangan lingkungan global masih akan diwarnai isu aksi terorisme internasional, kelangkaan energi, pemanasan global, pembangunan kekuatan militer negara-negara besar dan perkembangan peperangan yang bersifat asimetris (asymmetric warfare). Perkembangan isu regional masih diwarnai permasalahan perbatasan antar negara, dimana Indonesia masih memiliki masalah penetapan batas wilayah laut (maritime boundary delimitation) dengan 10 negara tetangga (India, Thailand, Malaysia, Singapura, Vietnam, Filipina, Republik Palau, Papua Nugini, Australia dan Timor Leste),  dan 3 perbatasan darat (Papua Nugini, Timor Leste dan Malaysia), kejahatan lintas negara (trans-national crime), perompakan (piracy), penyelundupan manusia (people smuggling), kegiatan ilegal lainnya seperti: illegal migrant, illegal fishing, illegal logging,  pelanggaran wilayah, jaminan keamanan jalur perhubungan laut internasional (Sea Lanes Of Communication/SLOC) dan jalur perdagangan laut internasional (Sea Lanes Of Trade/SLOT) yang berada di perairan Indonesia. Pada lingkup nasional yang harus kita hadapi adalah isu gerakan separatis OPM, kerusuhan horisontal sebagai dampak proses demokratisasi, aksi kelompok radikal, dan juga ancaman bencana alam, mengingat Indonesia terletak pada ring of fire yang rentan terhadap bahaya letusan gunung berapi, gempa bumi, banjir dan tanah longsor, termasuk bencana tsunami.
Oleh karena itu, TNI sebagai komponen utama pertahanan negara, harus senantiasa siap melaksanakan peran, fungsi dan tugas pokoknya, melalui pembinaan kekuatan dan kemampuan yang berkelanjutan sesuai dengan kebutuhan postur Kekuatan Pokok Minimum (MEF), serta penggunaan dan penggelaran kekuatan TNI yang disesuaikan dengan perkembangan eskalasi ancaman dan keputusan politik negara. Mengalir dari dinamika lingkungan strategis tersebut, maka kemungkinan ancaman yang akan dihadapi adalah sebagai berikut:
Yang bersifat potensial. Isu keamanan perairan di kawasan, wilayah perbatasan, pelanggaran wilayah, hak azasi manusia (HAM), dan pencemaran lingkungan serta bencana alam.
Yang bersifat faktual. Keamanan Selat Malaka dan pulau terluar, terorisme, separatisme, berbagai macam kegiatan ilegal, konflik horisontal dan kelangkaan energi.
Visi dan Misi TNI
Dalam upaya menyikapi konstelasi geografi negara dan kemungkinan ancaman serta dihadapkan pada peran dan tugas TNI, dirasakan perlu adanya Visi dan Misi TNI agar mampu melaksanakan tugas pokok dan kebijakan di bidang pertahanan. Sebagaimana kebijakan umum Kabinet Indonesia Bersatu ke-2 dalam tata kelola pemerintahan, ada tiga hal yang menjadi pedoman, yaitu: kesinambungan dan perubahan (change and continuity), mengurai sumbatan (debottle necking) dan kebersamaan (together we can).  Demikian pula di lingkungan TNI, sebagai institusi yang dituntut memiliki integritas dan soliditas, sangatlah penting bagi TNI untuk memiliki kesinambungan kepemimpinan. Perlu kita sadari, telah banyak yang dilakukan oleh para pendahulu pemimpin TNI, yang secara keseluruhan ditujukan untuk membangun TNI yang kuat dan menjadi kebanggaan bangsa.   Untuk itu, seyogiyanya kita tetap melanjutkan komitmen ini guna terlaksananya tugas pokok TNI dalam rangka menjamin kelancaran pembangunan nasional.  Dengan demikian, maka Visi dan Misi TNI yang perlu diperhatikan adalah sebagaimana tertuang dalam Peraturan Panglima TNI Nomor Perpang/11/II/2010 tanggal 25 Februari 2010, tentang Revisi Kebijakan Strategis TNI Tahun 2010-2014, dimana visi TNI adalah �Terwujudnya TNI sebagai komponen utama pertahanan negara yang tangguh�, dengan misi:  (1) Menjaga kedaulatan dan keutuhan wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) serta keselamatan bangsa; (2) Mewujudkan pembangunan kekuatan, kemampuan dan gelar kekuatan menuju Minimum Essential Force secara bertahap.  Dalam hal ini, yang dimaksud dengan tangguh adalah:
Pertama, memiliki jati diri TNI yang meliputi:
-           Tentara rakyat, yaitu tentara yang anggotanya berasal dari warga negara Indonesia.
-           Tentara pejuang, yaitu tentara yang berjuang menegakkan negara Republik Indonesia dan tidak mengenal menyerah dalam melaksanakan dan menyelesaikan tugasnya.
-           Tentara nasional, yaitu tentara kebangsaan Indonesia yang bertugas demi kepentingan negara dan di atas kepentingan daerah, suku, ras dan golongan agama.
-           Tentara profesional, yaitu tentara yang terlatih, terdidik, diperlengkapi secara baik, tidak berpolitik praktis, tidak berbisnis, dan dijamin kesejahteraannya, serta mengikuti kebijakan politik negara yang menganut prinsip demokrasi, supremasi sipil, hak asasi manusia, ketentuan hukum nasional dan hukum internasional yang telah diratifikasi.
Kedua, soliditas, yang berarti adanya kebersamaan yang kuat, kukuh, tak tergoyahkan dan tak akan terpecah walaupun dilanda gempuran dan tekanan.
Ketiga, memiliki kekuatan yang cukup dan mampu menghadapi ancaman, baik yang bersifat faktual maupun potensial, serta berdaya tangkal tinggi.
Keempat, menjadi kebanggaan bangsa Indonesia, dimana TNI merupakan bagian milik bangsa dan rakyat Indonesia, yang berasal dari rakyat, bekerja dan bertugas untuk rakyat, mampu melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia, serta senantiasa ada dalam hati rakyat.
Adapun jabaran dari misi TNI dalam rangka mewujudkan visi yang telah disebutkan tadi adalah:
Menjaga kedaulatan dan keutuhan wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) serta keselamatan bangsa.          Kedaulatan adalah suatu hak eksklusif untuk menguasai suatu wilayah pemerintahan, masyarakat, atau atas diri sendiri. Dalam menjaga kedaulatan dan keutuhan wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), TNI bersama rakyat dan seluruh komponen bangsa lainnya, mewujudkannya dengan memanfaatkan semua sumber daya nasional untuk pertahanan (pertahanan semesta).
Mewujudkan pembangunan kekuatan, kemampuan dan gelar kekuatan menuju Minimum Essential Force secara bertahap.  Dalam mewujudkan kemampuan dan gelar kekuatan menuju Minimum Essential Force, TNI menyusun perencanaan pembangunan kekuatan untuk mencapai tingkat kekuatan tertentu (capability based planning) termasuk pentahapannya sesuai dengan program pembangunan Kekuatan Pokok Minimum yang telah dicanangkan Pemerintah dan diharapkan terealisasi pada tahun 2024. Upaya mewujudkan MEF ini terbagi dalam tiga tahap perencanaan strategis (renstra) yaitu Renstra I (2010-2014), Renstra II (2015-2019), dan Renstra III (2020-2024).
Dalam upaya menuju postur MEF, pengelolaan Alutsista TNI dilakukan dengan penghapusan, mempertahankan kemampuan, dan pengadaan. Pembangunan MEF TNI tersebut juga diikuti dengan peningkatan SDM TNI, peningkatan sarana dan prasarana yang mendukung operasionalisasi Alutsista beserta pengawaknya, serta pengerahan unsur-unsur operasional yang lebih efektif. Hal ini dimaksudkan untuk mengoptimalkan penggunaan anggaran pertahanan sebaik mungkin.
Dalam mewujudkan visi dan misi di atas, seluruh prajurit TNI harus didorong untuk bersama-sama membangun karakter prajurit TNI dengan menekankan dan menumbuhkembangkan nilai-nilai kedisiplinan, kehormatan, kejujuran, dedikasi, loyalitas, profesionalisme dan keberanian. Untuk itu proses implementasi Semangat Baru TNI perlu terus ditekankan dan ditumbuhkembangkan sesuai jabaran sebagai berikut:
Kedisiplinan (Self Dicipline).  Prajurit TNI yang memiliki ketaatan dan kepatuhan yang hakiki dalam menjalankan tugas serta tanggung jawabnya sesuai dengan peraturan yang berlaku.
Kehormatan (Honour).   Prajurit TNI yang memiliki integritas tinggi dalam tugas dan tanggung jawab serta dapat menjalin dan menjaga hubungan dengan atasan, rekan dan bawahan.  Selain itu prajurit TNI harus menjaga martabat TNI dan diri sendiri serta mendapat pengakuan dan dibanggakan masyarakat.
Kejujuran (Honesty). Prajurit TNI yang lurus hati, tidak berbohong, tidak curang, tulus dan ikhlas serta berkata apa adanya.
Dedikasi (Dedication).  Prajurit TNI yang mau berkorban tenaga, pikiran dan waktu demi keberhasilan suatu usaha atau tujuan organisasi, serta memiliki jiwa pengabdian yang tinggi.
Loyalitas (Loyalty). Prajurit TNI yang patuh dan setia serta mempunyai komitmen kuat terhadap sesama prajurit , organisasi, bangsa dan negara.
Profesionalisme (Professionalism).    Prajurit TNI yang memahami tugas dan tanggung jawab serta pengetahuan dan keahlian yang mendukung dan melaksanakannya baik secara individu maupun dalam tim dengan sebaik-baiknya.
Keberanian (Courage).    Prajurit TNI yang memiliki kepercayaan diri dan karakter untuk melakukan apa yang benar dalam menghadapi tuntutan tugas, permasalahan, bahaya dan ancaman. Prajurit yang berani mengambil keputusan yang terbaik untuk organisasi, bangsa dan negara tanpa mempedulikan kepentingan pribadi.
Kebijakan Pembinaan dan Penggunaan Kekuatan TNI
Kebijakan yang akan dikembangkan ke depan, diarahkan untuk tercapainya kemampuan, kekuatan dan gelar TNI yang mampu menjaga kedaulatan dan keutuhan wilayah NKRI serta keselamatan bangsa dalam tataran kekuatan pokok minimum (MEF) meliputi pembinaan dan penggunaan kekuatan TNI. Kebijakan pembinaan TNI, yang meliputi kebijakan pembinaan kekuatan, pembinaan kemampuan dan gelar serta pembangunan kekuatan TNI, diarahkan untuk mencapai kekuatan dan kemampuan pada tataran kekuatan pokok minimum (MEF) dan dilakukan secara bertahap serta berkesinambungan melalui pemeliharaan, modernisasi dan pengadaan Alutsista baru dengan memberdayakan industri pertahanan dalam negeri; melaksanakan penataan organisasi didukung oleh SDM yang memiliki integritas moral, intelektual, kesamaptaan jasmani, dan kesejahteraan, melaksanakan pengembangan sistem dan metoda Tri Matra terpadu serta menggelar kekuatan secara efektif dan efisien.
Pembinaan kekuatan pada dasarnya diarahkan untuk mencapai sasaran tertatanya struktur organisasi TNI sesuai Peraturan Presiden Republik Indonesia No. 10 Tahun 2010 tentang Susunan Organisasi TNI dengan mempertimbangkan right sizing dan terisinya struktur Satuan Operasional TNI di daerah perbatasan, daerah rawan konflik serta pulau-pulau terluar; meningkatnya kesiapan Alutsista dan material khusus TNI yang terpadu antar matra dengan memberdayakan industri pertahanan nasional; terpenuhinya kebutuhan personel yang memenuhi standar kompetensi dan kualifikasi serta terjamin kesejahteraannya; terpenuhinya kualitas dan kuantitas sarana prasarana dukungan; terpenuhinya piranti lunak peraturan perundangan tentang perbantuan, pengerahan dan penggunaan kekuatan TNI.
Langkah-langkah yang perlu diprioritaskan, antara lain: menata seluruh struktur organisasi TNI disesuaikan dengan Peraturan Presiden Republik Indonesia No. 10 Tahun 2010 tentang Susunan Organisasi TNI; melaksanakan validasi Daftar Susunan Personel/Tabel Organisasi Personel dengan mempertimbangkan right sizing; pengisian Satuan Operasional TNI di daerah perbatasan, utamanya perbatasan darat di Kalimantan, Timor Leste dan Papua, daerah rawan konflik serta dua belas pulau-pulau terluar; melaksanakan rematerialisasi Alutsista TNI melalui pemeliharaan secara terencana dengan memberdayakan fasilitas pemeliharaan angkatan yang dapat digunakan secara terpadu dan melaksanakan optimalisasi dukungan logistik TNI; melanjutkan pembentukan Satuan TNI Pasukan Reaksi Cepat Penanggulangan Bencana (PRCPB) maupun pembentukan Diklat Pusat Misi Pemeliharaan Perdamaian (PMPP); menyempurnakan doktrin Tri Matra Terpadu, Aturan Pelibatan, serta sistem dan manajemen pembinaan; melaksanakan pembinaan personel sesuai siklus pembinaan karier; optimalisasi pelayanan kesehatan matra untuk dapat digunakan secara terpadu; mengupayakan ketersediaan rumah non-dinas bagi prajurit TNI bekerja sama dengan Kementerian Perumahan Rakyat melalui program Rusunawa, Rusunami dan KPR-BTN, mendorong realisasi pemberian tunjangan khusus perbatasan dan tunjangan kinerja, serta mengupayakan pemenuhan tunjangan keahlian sesuai indeks yang ditentukan; melengkapi fasilitas latihan dan meningkatkan kualitas 10 komponen pendidikan; melaksanakan fungsi pengawasan melekat, penegakan hukum dan penyempurnaan peraturan serta piranti lunak yang berkaitan dengan pelaksanaan tugas; melanjutkan penataan administrasi kepemilikan aset-aset TNI yang bergerak maupun tidak bergerak.
Pembinaan kemampuan, diarahkan untuk mencapai terwujudnya intelijen TNI yang mampu melakukan pendeteksian dini atas segala kerawanan masalah pertahanan dan keamanan negara; terwujudnya kemampuan pertahanan TNI yang memiliki daya tempur tinggi dan profesional dalam menggunakan Alutsista TNI secara terpadu dalam tataran kekuatan pokok minimum (MEF); terwujudnya kemampuan keamanan TNI yang memiliki mobilitas tinggi di seluruh wilayah NKRI baik darat, laut maupun udara; meningkatnya kemampuan perbantuan kepada POLRI dan Pemerintah Daerah sesuai dengan peraturan yang berlaku; terlaksananya efektivitas kegiatan pemberdayaan wilayah pertahanan; meningkatnya kemampuan dukungan untuk penyelenggaraan tugas-tugas OMP dan OMSP.
Dalam melaksanakan pembinaan kemampuan, langkah-langkah yang ditempuh antara lain: meningkatkan kemampuan deteksi dini dan koordinasi satuan kewilayahan; meningkatkan kualitas dan kuantitas Latihan Gabungan TNI; meningkatkan kemampuan prajurit TNI untuk melaksanakan tugas-tugas OMSP; melaksanakan kegiatan latihan pra-tugas bagi prajurit TNI yang akan melaksanakan penugasan baik OMP maupun OMSP; meningkatkan kemampuan manajemen logistik dan perbekalannya sesuai dengan kebutuhan untuk mendukung operasi; meningkatkan kemampuan Komando dan Pengendalian Satuan Operasional; meningkatkan kualitas Satuan PPRC dan PRCPB TNI melalui pendidikan dan latihan serta melengkapi peralatannya. Untuk penggelaran kekuatan, diarahkan guna terwujudnya efektivitas dan efisiensi pelaksanaan tugas pokok TNI dengan langkah-langkah memantapkan gelar kekuatan terpusat TNI, mengevaluasi gelar satuan kewilayahan untuk mendukung operasi-operasi di daerah perbatasan dengan negara tetangga dan pulau-pulau terluar dihadapkan pada perkembangan dinamika ancaman.
Pembangunan Kekuatan TNI
Kebijakan pembangunan kekuatan TNI, diarahkan untuk meningkatkan dan menambah kemampuan dan kekuatan TNI menuju postur kekuatan pokok minimum (MEF) dengan konsep Tri Matra Terpadu secara bertahap dan berlanjut yang diatur dalam Renstra Pembangunan TNI. Sasaran pembangunan kekuatan TNI diarahkan untuk terwujudnya kesiapsiagaan TNI sebagai komponen utama pertahanan negara sesuai kekuatan pokok minimum (MEF); meningkatnya kondisi teknis peralatan Alutsista TNI sesuai dengan perkembangan teknologi; terwujudnya kekuatan TNI sesuai kekuatan pokok minimum (MEF); terlaksananya peningkatan sarana prasarana dan fasilitas pangkalan militer; terwujudnya gelar Satuan Operasional TNI yang efektif dan efisien; meningkatnya kemampuan dan perlengkapan Pasukan Khusus TNI (AD, AL, AU) yang mampu mendukung strategi peperangan asimetris (asymmetric warfare).
Untuk itu langkah-langkah yang menjadi prioritas adalah melaksanakan revitalisasi/modernisasi Alutsista TNI secara bertahap dan berlanjut guna peningkatan kemampuan daya tempur sesuai fungsi asasinya; melaksanakan relokasi dan peningkatan status gelar kekuatan TNI di wilayah perbatasan, daerah rawan konflik dan 12 pulau terluar; melaksanakan pengadaan Alutsista TNI secara bertahap sesuai kekuatan pokok minimum (MEF); melaksanakan pengadaan Alutsista Pasukan Khusus TNI (AD, AL, AU) dan melengkapi kebutuhan sesuai dengan standar peralatan Pasukan Khusus matra; pemberdayaan industri pertahanan nasional, dan peningkatan kerja sama dengan Perguruan Tinggi, Litbang, Kementerian Pertahanan/TNI; melaksanakan penghapusan Alutsista TNI yang tidak produktif sesuai perencanaan kekuatan pokok minimum (MEF) TNI; mendorong tersedianya alokasi anggaran untuk memenuhi kekuatan pokok minimum (MEF); terpenuhinya kekuatan personel TNI menuju kekuatan pokok minimum (MEF) dengan mempertimbangkan zero growth.
Penggunaan Kekuatan
Kebijakan penggunaan kekuatan TNI dengan mengedepankan keterpaduan tri matra dalam rangka melaksanakan operasi militer untuk perang (OMP) dan operasi militer selain perang (OMSP), dilaksanakan dalam rangka penyelenggaraan pertahanan negara dan/atau dalam rangka mendukung kepentingan nasional sesuai peraturan perundang-undangan.
Penggunaan kekuatan TNI pada OMP dilakukan setelah ada pernyataan perang yang dikeluarkan oleh Presiden melalui mekanisme pengambilan keputusan politik negara dengan pertimbangan bahwa tujuan penggunaan kekuatan TNI pada OMP merupakan jalan terakhir yang terpaksa harus dipilih setelah berbagai upaya damai dalam penyelesaian konflik antar negara tidak tercapai.  OMP dilakukan dengan tujuan mempertahankan kedaulatan negara, keutuhan wilayah, serta keselamatan bangsa dan negara dari kekuatan militer negara lain yang melakukan agresi terhadap Indonesia.  Penggunaan kekuatan TNI pada OMSP dilaksanakan berdasarkan kebijakan dan keputusan politik negara.
Sasaran penggunaan kekuatan diarahkan pada penangkalan dan pencegahan berbagai bentuk ancaman dari kekuatan militer asing yang akan melakukan agresi terhadap Indonesia; tersedianya data intelijen yang akurat, akuntabel dan tepat waktu; terlaksananya pengerahan kekuatan TNI di wilayah perbatasan, daerah rawan konflik dan dua belas pulau-pulau terluar dengan berpedoman pada Prosedur Tetap Operasi dan Aturan Pelibatan; terlaksananya penegakan hukum dan penjagaan keamanan di wilayah laut dan udara; tertanggulanginya pelanggaran wilayah dan pelanggaran hukum; terlaksananya pemberdayaan wilayah pertahanan untuk terciptanya Ruang, Alat Dan Kondisi (RAK) juang; terlaksananya pengerahan kekuatan TNI dalam melaksanakan OMSP.
Berdasarkan UU Nomor 3 Tahun 2002 tentang Pertahanan Negara, dimana dalam pasal 3 ayat (2) menyebutkan bahwa pertahanan negara disusun dengan memperhatikan kondisi geografi Indonesia sebagai negara kepulauan, strategi yang digunakan dalam menyelenggarakan OMP dirumuskan dalam bentuk Strategi Pertahanan Nusantara (SPN). Aktualisasi dari konsep pertahanan tersebut dikembangkan dengan strategi pertahanan nusantara yang membagi wilayah pertahanan menjadi tiga mandala untuk menghadapi musuh, yaitu mandala pertahanan luar, mandala pertahanan utama, dan mandala pertahanan dalam.
Untuk itu penggunaan kekuatan dalam OMP yang menjadi prioritas adalah melaksanakan operasi intelijen dan pemberdayaan satuan kewilayahan untuk memantau situasi wilayah; melengkapi material khusus pos-pos pengamat di wilayah perbatasan dan pulau-pulau terluar; menggelar kekuatan TNI untuk menjaga kedaulatan di perbatasan darat, laut dan udara; menyiagakan kekuatan terpusat untuk sewaktu-waktu dapat dikerahkan ke daerah konflik; melaksanakan pengamatan wilayah NKRI khususnya wilayah perbatasan darat, laut dan udara; menggelar satuan PPRC.
Penggunaan kekuatan dalam OMSP dilaksanakan sesuai kebijakan dan keputusan politik negara dengan prioritas menggelar kekuatan TNI untuk melaksanakan pengamanan perbatasan dengan negara tetangga dalam bentuk patroli terkoordinasi (Patkor); menggelar kekuatan TNI di daerah rawan konflik dan rawan pelanggaran hukum di laut dan udara; menggelar pengamanan Presiden dan Wakil Presiden beserta keluarganya; menyiagakan kekuatan TNI untuk melaksanakan operasi mengatasi gerakan separatis bersenjata, mengatasi pemberontakan bersenjata, mengatasi aksi terorisme, mengamankan obyek vital nasional yang bersifat strategis, melaksanakan tugas perdamaian dunia,  memberdayakan wilayah pertahanan, membantu tugas Pemerintah di daerah, membantu Kepolisian Negara RI, membantu mengamankan tamu negara, membantu menanggulangi akibat bencana, SAR, membantu Pemerintah dalam pengamanan pelayaran dan penerbangan; membangun kerja sama militer dengan negara lain, dengan berpedoman pada tiga substansi kerangka kerja sama militer yang ditetapkan oleh Kementerian Pertahanan, guna membangun saling kepercayaan, mencegah konflik, dan bersama-sama mencari solusi terbaik, dalam bentuk patroli terkoordinasi, latihan bersama, pertukaran prajurit, kunjungan/ muhibah dan forum kerja sama militer lainnya; optimalisasi peran TNI dalam bentuk Bakti TNI dalam rangka mendukung Pembangunan Nasional dan peningkatan kesejahteraan masyarakat khususnya daerah terpencil dan tertinggal.
Di samping hal-hal tersebut di atas, ke depan dalam pembangunan kekuatan TNI akan dikembangkan manajemen dan strategi perencanaan TNI yang terpadu di antara ketiga Angkatan. Keterpaduan tersebut meliputi lima aspek, yaitu: perencanaan, operasi, pendidikan dan latihan, penyelenggaraan dukungan, dan pengadaan alutsista.
Keterpaduan dalam aspek perencanaan, diwujudkan melalui sistem perencanaan top-down dan bottom-up yang di-olahyudha-kan pada tingkat Mabes TNI untuk mensinergikan kepentingan masing-masing Angkatan dan kepentingan TNI menjadi satu rumusan tri matra terpadu sehingga dapat merumuskan program secara terpadu sesuai dengan ketersediaan anggaran.
Keterpaduan dalam aspek operasi, diwujudkan melalui sinergitas antar Angkatan yang dimulai dari proses perencanaan, penyiapan dan gelar kekuatan, sehingga matra saling bekerja sama dan melengkapi sesuai kapasitas masing-masing, demikian pula keterpaduan di bidang Komando Pengendalian, komunikasi maupun organisasi bantuan tembakan, sehingga operasi akan lebih efektif dan efisien. Keterpaduan tersebut sampai dengan harmonisasi dan komposisi Alutsista yang akan operasi.
Keterpaduan dalam aspek pendidikan dan latihan, untuk mewujudkan sumber daya manusia TNI yang berkualitas dan memiliki pemahaman yang sama tentang kedudukannya sebagai prajurit TNI, maka perlu diwujudkan suatu pendidikan yang terintegratif dalam aspek strata pendidikannya maupun kelembagaannya. Pada aspek latihan, menformulasikan keterpaduan tiap-tiap matra guna mewujudkan kesiapsiagaan TNI dalam merespons ancaman, dilakukan melalui keterpaduan siklus latihan TNI yang telah ditetapkan dan mengacu pada pengembangan satu konsep Tri Matra Terpadu.  Dalam rangka pemenuhan pelaksanaan tugas operasi dengan tugas-tugas khusus juga dilakukan latihan-latihan persiapan baik secara matra maupun gabungan dalam bentuk latihan pratugas, melaksanakan pemanfaatan infrastruktur latihan seoptimal mungkin dengan menggunakan sarana dan prasarana latihan yang dimiliki oleh masing-masing matra secara bersama-sama untuk dapat meningkatkan profesionalisme masing-masing matra.
Keterpaduan dalam aspek dukungan diwujudkan dalam bentuk optimalisasi fasilitas yang dimiliki matra, sehingga diperoleh efisiensi.   Dalam rangka perawatan Alutsista dapat menggunakan fasilitas pemeliharaan dan perbaikan matra lain yang telah memadai, demikian pula dengan perawatan personel dapat dilaksanakan melalui fasilitas perawatan personel secara terpadu yang telah dimiliki oleh salah satu rumah sakit Satuan TNI di daerah.  Fasilitas milik TNI lainnya dapat digunakan secara bersama oleh matra lain.
Keterpaduan dalam aspek pengadaan Alutsista.  Untuk mendapatkan efisiensi dalam pemenuhan kebutuhan Alutsista TNI guna mewujudkan kemampuan    dan daya tangkal yang tinggi dalam merespon ancaman, TNI dalam merencanakan pengadaan Alutsista harus mencerminkan kepentingan Tri Matra Terpadu dan berorientasi pada keleluasaan, kepentingan serta kemampuan matra dengan mempertimbangkan faktor karakteristik geografi.
Penutup
Dari pandangan yang telah diuraikan di atas, menjadi atensi kita bersama bahwa tantangan ke depan yang dihadapi bangsa dan negara akan semakin kompleks, oleh karena itu keberhasilan mewujudkan TNI sebagai komponen utama pertahanan negara yang tangguh, dengan tingkat soliditas yang kuat, memiliki jati diri sebagai prajurit TNI, dilengkapi dengan Alutsista yang cukup memadai dan dibanggakan oleh bangsa Indonesia, serta mampu melaksanakan tugas pokok dan tugas-tugas lainnya, sangat tergantung dari dukungan seluruh komponen bangsa.
Mengakhiri tulisan ini, saya ucapkan terima kasih dan penghargaan yang tinggi atas segala pengabdian dan pelaksanaan tugas yang selama ini telah ditunjukkan oleh segenap jajaran prajurit TNI dimanapun berada dan bertugas. Semoga Tuhan Yang Maha Kuasa senantiasa memberikan bimbingan, kekuatan dan hidayah-Nya kepada kita sekalian dalam mengabdikan diri demi kejayaan TNI, bangsa dan negara Indonesia tercinta.
Sekian dan terima kasih.
Sumber Laksma TNI Agus Hartono  http://www.tni.mil.id

Mengoptimalkan Kekuatan Pertahanan RI

Mengoptimalkan Kekuatan Pertahanan RI

Selasa, 17 April 2012

Sampai saat ini, pembangunan pertahanan masional baru menghasilkan postur pertahanan negara dengan kekuatan terbatas dan relatif tertinggal dari negara-negara tetangga. Keterbatasan dukungan anggaran untuk pembangunan pertahanan nasional, menjadi salah satu kendala dalam pencapaian pembangunan postur pertahanan pada tingkat minimum essential force (MEF).

MEF adalah suatu standar kekuatan pokok dan minimum TNI yang mutlak disiapkan sebagai prasyarat utama serta mendasar bagi pelaksanaan tugas pokok dan fungsi TNI secara efektif. Ini dalam rangka menghadapi ancaman aktual untuk mempertahankan keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Hibah 24 F-16
Karena itu, hibah pesawat F-16 dari Amerika Serikat (AS) merupakan bagian dari upaya mengoptimalkan kekuatan pertahanan udara RI. Sejauh ini, proses kedatangan 24 unit pesawat tempur itu tak mengalami kendala. Yakni, sesuai jadwal, akan dilakukan secara bertahap, yang dimulai pada pertengahan 2014. Pesawat hibah itu akan memperkuat skuadron pesawat tempur Indonesia, terutama Skuadron Fighting F-16. Sehingga, nanti TNI akan memiliki dua skuadron pesawat F-16.
Saat ini, RI sudah memiliki 10 unit F-16. Maka, kedatangan 24 unit pesawat tempur itu akan menggenapi jumlah pesawat tempur Indonesia menjadi 34 unit. Satu skuadron terdiri atas 16 pesawat tempur, jadi nanti ada dua skuadron F-16.
Ke-24 unit F-16 yang akan didatangkan itu, kini sedang menjalani proses pemutakhiran (upgrade) di AS. Pesawat-pesawat itu di-upgrade dari Blok 25 menjadi Blok 52 di pabrik yang lebih modern. Bagian yang di-upgrade meliputi persenjataan, avionic, air frame, dan mesin. Perlu dicatat, sejauh ini, Foreign Military Sales (FMS) antara AS dan Indonesia berjalan lancar.
Saat perwakilan Kementerian Pertahanan (Kemhan) meninjau pemutakhiran F-16 yang akan dihibahkan itu di AS, banyak hal yang menggembirakan. Antara lain, ke-24 pesawat itu di-upgrade di pabrik yang lebih modern. Bagi AS, hal ini menjadi atensi khusus dalam meningkatkan hubungan bidang pertahanan kedua negara. Ada juga proses transfer of technology.
Kemudian, AS menambah jaminan jam terbang 2.200, yakni dari 8.600 menjadi 10.800 jam terbang. Pemerintah RI mendapatkan 28 engine generasi teranyar yang baru menempuh 1.000 jam terbang. Dari 28 engine itu, 24 terpasang, dan 4 dijadikan cadangan..
Selanjutnya, dari 30 pesawat yang dihidupkan, hanya 24 yang di-upgrade. Sisanya, 6 pesawat dijadikan komponen (sparepart). Dari ke-24 pesawat F-16, terdiri-dari 19 pesawat F-16 seri C (hanya satu pilot), dan 5 seri D untuk pelatihan (training).
Untuk diketahui, jauh sebelumnya, Komisi I DPR telah menyetujui hibah pesawat F-16 dari AS dengan skema pembayaran FMS. Persetujuan itu diberikan setelah DPR menggelar rapat dengan Menteri Pertahanan, Panglima TNI, dan Kepala Staf TNI Angkatan Udara. Dengan demikian, rencana memperkuat pertahanan udara Indonesia akan segera terwujud.
Alutsista Dalam Negeri
Untuk memenuhi MEF hingga 2024, Kementerian Pertahanan kembali menandatangani nota kesepahaman (MoU) pengadaan alat utama sistem persenjataan (alutsista) dan infrastruktur dengan sejumlah industri pertahanan dalam negeri senilai Rp 1,3 triliun. Penandatanganan MoU itu dilakukan dengan sejumlah BUMN/BUM Swasta Industri Pertahanan, yakni PT Pindad, PT Dirgantara Indonesia (DI), PT Palindo Marine, dilakukan di Kantor Kemhan, Jakarta, 6 Maret lalu.
Kemhan-TNI melakukan MoU dengan sejumlah industri pertahanan dalam negeri dalam pengadaan alusista, seperti amunisi kecil hingga besar. Untuk pengadaan helikopter angkut dilakukan kerja sama dengan PT DI senilai 65 juta dolar AS. Kemudian, dilakukan pula kerja sama untuk pengadaan kapal cepat rudal 40 meter (KCR-40), Rocket FFAR dan lainnya. Total anggaran untuk alutsista tersebut mencapai Rp1,3 triliun.
Kerja sama dengan industri dalam negeri ini, dalam rangka membangun kekuatan TNI dan pemenuhan MEF. Selain itu, Kemhan sudah bekerja sama dengan Korea Selatan untuk pengadaan pesawat tempur jenis KF-X/IF-X. Pesawat ini lebih tinggi dari F-16 dan Sukhoi.
Tak hanya itu, Komite Kebijakan Industri Perta-hanan (KKIP) yang diketuai Menhan juga akan membeli kapal selam, kapal PKR, tank, rudal, roket dan lainnya. Adapun sasaran kinerja KKIP tahun 2012 ini adalah melakukan program kerja, yakni penyiapan regulasi industri pertahanan (penyelesaian RUU Industri Pertahanan dan Keamanan), penetapan kebijakan nasional dalam rangka stabilisasi dan optimalisasi industri pertahanan, penetapan program dan menindaklanjuti penyiapan produk masa depan.
Untuk penetapan kebijakan nasional meliputi, kebijakan peningkatan kemampuan industri pertahanan, menjamin keberhasilan program transfer of technology (ToT), kebijakan sinergitas dan intensitas kegiatan penelitian, dan kebijakan penyiapan SDM terampil untuk industri pertahanan melalui pendidikan formal.
Sejak dibentuk tahun 2010, KKIP telah menghasilkan beberapa kebijakan, yakni masterplan revitalisasi industri pertahanan, grand strategy KKIP, kriteria industri pertahanan, kebijakan dasar pengadaan alusista dan almatsus Polri untuk pemberdayaan industri pertahanan dan verifikasi kemampuan industri pertahanan dan revitalisasi manajemen BUMN Industri Pertahanan. Hal ini dalam rangka modernisasi alutsista TNI dan almatsus Polri serta te-realisasinya program revitalisasi industri pertahanan. *** 
Sumber www.suarakarya-online.com/news. R Ediwan Prabowo

LINGSTRA DAN GEOPOLITIK OIL

LINGSTRA DAN GEOPOLITIK OIL
BAB I. PENDAHULUAN
Latar Belakang
Perkembangan negara-negara di dunia telah mencapai fase modernisasi dimana negara-negara di dunia telah mengalami kemajuan yang tinggi di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi sehingga penjajahan model konvensional sudah dapat dikatakan tidak ada lagi di dunia. Seperti kita ketahui, perkembangan pola kehidupan manusia setiap hari akan semakin mengalami perubahan yang tanpa terasa tidak kita sadari. Perkembangan teknologi mobilitas terbaru akan terus muncul dan teknologi lama pun semakin hari semakin tergerus. Jika 20-an tahun yang lalu komunikasi manusia masih mengandalkan teknologi telefon kabel dan telegram yang masih sangat terbatas, maka sekarang ini teknologi tersebut perlahan-lahan mulai tergantikan dengan munculnya handphone dan akses internet. Teknologi mobilitas manusia pun telah mengalami kemajuan, hal ini terlihat dengan semakin banyaknya kendaraan dengan teknologi terbaru di jalan raya yang bahkan jumlah kendaraan ini melebihi daya tampung jalan yang sesungguhnya.
Demkian pula dengan pola pikir negara-negara di dunia pada saat ini telah mengalami kemajuan dan perubahan. Setiap negara dengan berbagai kepentingan dan kebutuhan akan melakukan strategi dan tindakan untuk memenuhi kebutuhan dan kepentingan negara tersebut. Jika pada jaman kolonial penjajahan di masa yang lalu, Indonesia menjadi negara jajahan negara-negara Eropa yaitu Belanja, Spanyol dan Portugis dalam rangka untuk memenuhi kebutuhan rempah-rempah negara-negara tersebut. Bentuk penjajahan di masa lalu bersifat terbuka dan melalui kekuatan fisik militer. Hal ini sangat berbeda dengan bentuk “penjajahan” di masa sekarang ini yang bersifat non militer. Sifat penjajahan atau penguasaan negara pada masa sekarang ini tidak terasa dan akan disadari ketika tujuan penguasaan negara tersebut telah tercapai.
Jika pada akhir-akhir ini Indonesia bersitegang dengan Pemerintah Negara Malaisya, salah satu penyebabnya adalah konflik perbatasan Ambalat di Kalimantan. Malaisya melalui perusahaan Petronas mengklaim blok di Ambalat yang notabene mengandung minyak bumi sebagai wilayah Malaisya dan akan melakukan eksplorasi minyak di dua blok di Ambalat. Bahkan Malaisya telah membuat peta baru yang memasukkan wilayah Ambalat sebagai wilayah Malaisya. Indonesia mengklaim bahwa wilayah Ambalat merupakan wilayah NKRI dan dibuktikan dengan peta wilayah NKRI. Pangkal permasalahan disini adalah kepentingan Malaisya untuk menguasai sumber minyak bumi.
Seperti kita ketahui, minyak bumi merupakan energi yang tidak terbarukan. Jika minyak bumi dieksplorasi secara terus menerus, maka sumber tersebut semakin lama semakin habis. Alternatif selain menggunakan subtitusi energi lainnya sebagai pengganti minyak bumi untuk mencukupi kebutuhan energi ini yaitu dengan melakukan eksplorasi di daerah baru, jika langkah ini tidak dilakukan maka kebutuhan minyak bumi tidak akan tercukupi. namun meskipun upaya-upaya pencarian sumber minyak bumi yang baru terus dilakukan dan membuahkan hasil, jika jumlah penduduk di dunia semakin bertambah dan tingkat kemajuan teknologi yang bergantung pada energi minyak bumi juga semakin banyak, maka tetap saja sumber minyak bumi akan cepat menipis.
Geopolitik pada saat ini menjadi peranan penting bagi suatu negara untuk dapat memetakan kekuatan lingkungan sekitar dan menguasai lingkungan tersebut untuk tujuan tertentu. Kagan seperti dikutip Purbo (2012) berpendapat bahwa “Geopolitic is not only about war and peace. It is about controlling the world resources, particularly “black gold”. Several international conflicts in recent times have been sparked by the need to control oil fields. The worlds depence on oil is complete.[1] Atau dapat disimpulkan, Kagan berpendapat bahwa Geopolitik bukan hanya mengenai perang dan perdamaian, namun mengenai mengendalikan sumber daya di dunia, khususnya “emas hitam”, beberapa konflik internasional sekarang ini muncul karena kebutuhan untuk mengendalikan lahan minyak. Dunia sangat bergantung pada minyak bumi.
Untuk itu, sebagai negara yang telah mengalami berbagai konflik atas nama geopolitik, Indonesia melakukan pengenalan akan lingkungan strategis di wilayahnya dan melakukan pengkajian lingkungan strategis baik di tingkat regional, nasional maupun global. Dengan adanya pengenalan lingkungan strategis, Indonesia diharapkan mampu untuk melihat apa saja faktor yang rawan konflik dengan negara tetangga, apa saja yang menyebabkan internal Indonesia rawan disintegrasi bangsa dan isu apa saja yang berkembang di dunia sehubungan dengan Indonesia yang merupakan negara yang kaya dengan sumber daya alam, serta masih banyak faktor-faktor yang perlu dikaji lingkungan strategis lainnya guna kepentingan bangsa.
Indonesia memiliki luas wilayah yang cukup luas, hal ini merupakan tantangan tersendiri bagi pemerintah Indonesia untuk dapat tetap melakukan monitoring wilayahnya. Sebelum melakukan monitoring wilayah teritorialnya, bangsa Indonesia harus melakukan pengenalan akan wilayahnya yang memiliki perbedaan antarwilayahnya dan memiliki karakteristik yang unik dari berbagai sisi seperti kebudayaan, adat, bahasa, lingkungan daerahnya, dan lain sebagainya.Hal inilah yang mendasari pentingnya wawasan nasional.
Tidaklah mungkin pemerintah Indonesia akan melakukan berbagai proteksi dan membuat kebijakan-kebijakan terkait masing-masing wilayah di Indonesia tanpa pemerintah Indonesia melakukan berbagai kajian dan pengenalan akan wilayah Indonesia tersebut. Sebagai contoh, peraturan yang ditetapkan untuk daerah Aceh tidak dapat diterapkan di wilayah lainnya karena karakteristik budaya dan kondisi yang berbeda.

Maksud dan Tujuan
Tulisan ini disusun untuk menguraikan pemahaman mengenai:
1.    Lingkungan stratejik dan telaahan stratejik suatu bangsa terhadap lingkungannya;
2.    Pentingnya lingkungan stratejik “defence planning”;
3.    Wawasan nasional suatu bangsa termasuk wawasan nasional Indonesia;
4.    Geopolitik secara teori (Teori Universal Geopolitik: Geopolitik sebagai suatu ilmu, Teori Ruang Hidup, Konsep Penguasaan Ruang Hidup) dan berbagai tinjauan: Kesejarahan, Kebudayaan, Kefilsafatan, Kewilayahan dan Perkembangan Geopolitik;
5.    Geopolitic Oil

Rumusan Masalah
Permasalahan yang dibahas pada tulisan ini adalah:
1.    Lingkungan stratejik dan telaahan stratejik suatu bangsa terhadap lingkungannya;
2.    Pentingnya lingkungan stratejik “defence planning”;
3.    Wawasan nasional suatu bangsa termasuk wawasan nasional Indonesia;
4.    Geopolitik secara teori (Teori Universal Geopolitik: Geopolitik sebagai suatu ilmu, Teori Ruang Hidup, Konsep Penguasaan Ruang Hidup) dan berbagai tinjauan: Kesejarahan, Kebudayaan, Kefilsafatan, Kewilayahan dan Perkembangan Geopolitik;
5.    Geopolitic Oil





BAB II. PEMBAHASAN

1.    Lingkungan Strategik Dan Telaahan Strategik Suatu Bangsa Terhadap Lingkungannya
Perkembangan lingkungan strategik sekarang ini sulit untuk diprediksi ketidakstabilan yang terjadi, sehingga dinamika politik dan keamanan menjadi corak yang paling dominan yang dihadapi  oleh setiap negara di dunia[2]. Dinamika lingkungan strategis memang selalu membawa implikasi baik positif maupun negatif, secara langsung maupun tidak langsung. Hal ini dapat mempengaruhi jalannya pembangunan nasional yang sedang terlaksana saat ini. Perkembangan lingkungan strategis dapat melalui aspek-aspek astha gatra, aspek statis (demografi, geografi dan sumber daya alam) dan aspek dinamis (ideologi, politik, ekonomi, sosial budaya dan pertahanan keamanan). Hal inilah yang menjadi alasan mendasar setiap negara perlu melakukan penelaahan dan pengkajian lingkungan strategisnya masing-masing, baik dalam lingkup global, regional maupun nasional agar negara dapat menyusun strategi dan kebijakan yang tepat untuk kepentingan nasionalnya.
Pemahaman terhadap lingkungan strategik suatu negara perlu dilakukan untuk menjelaskan bagaimana lingkungan strategik dan ancaman yang dihasilkan yang berpengaruh kepada keamanan nasional. Lingkungan strategik ini terdiri dari lingkungan global, regional dan nasional.
Pada masa globalisasi sekarang ini, dinamika perkembangan lingkungan strategis semakin kompleks dan berjalan demikian cepat dan telah membawa perubahan dalam segenap aspek kehidupan yang berdampak kepada semakin menguatnya kecenderungan dari sebagian anak bangsa, untuk lebih berorientasi pada kepentingan universal dengan mengabaikan kepentingan nasional. Hal tersebut telah menimbulkan berbagai konflik di berbagai strata kehidupan masyarakat yang akhirnya bermuara pada disintegrasi bangsa (Ryacudu, 2008).[3]
Dinamika politik dan keamanan internasional semakin intens karena dibawah pengaruh fenomena globalisasi dan berbagai implikasinya, negara-negara di dunia dituntut untuk saling bekerjasama, namun pada sisi lain persaingan antarnegara dalam melindungi kepentingan nasional juga semakin meningkat. Interdependensi antarnegara semakin menguat, tetapi pada saat yang bersamaan kesenjangan power ekonomi dan militer semakin melebar karena agenda dan isu internasional masih dominan dipengaruhi oleh agenda dan kebijakan negara-negara maju. Akibatnya negara-negara berkembang yang memiliki sumberdaya terbatas, harus lebih hati-hati mengatasi permasalahan yang dihadapi, lebih aktif memperkuat ketahanan nasional di berbagai bidang, dan lebih baik dalam melakukan penyesuaian-penyesuaian yang diperlukan dalam melindungi kepentingan-kepentingan nasionalnya. Untuk itu, melakukan telaahan dan prediksi kecenderungan (analisa) lingkungan strategis global dan regional, bersifat fundamental bagi proses perumusan kebijakannasional dalam berbagai bidang.
Suatu bangsa yang telah menegara, dalam menyelenggarakan kehidupannya tidak terlepas dari pengaruh lingkungannya. Pengaruh itu timbul dari hubungan timbal balik antara filosofi bangsa, ideologi, aspirasi serta cita-cita dan kondisi sosial masyarakat, budaya, tradisi, keadaan alam, wilayah serta pengalaman sejarahnya.
Secara filosofi, sebagai contoh Bangsa Indonesia mendasarkan filsafat pada Pancasila, pada hakikatnya merupakan suatu nilai-nilai yang bersifat sistematis, fundamental dan menyeluruh. Pancasila sebagai filsafat bangsa dan negara Indonesia mengandung makna bahwa dalam setiap aspek kehidupan kebangsaan dan kenegaraan harus berdasarkan nilai-nilai ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, kerakyatan dan keadilan.
Lingkungan strategis nasional Indonesia dari bidang Ideologi yaitu penurunan kesadaran masyarakat tentang Pancasila dan bahaya laten komunisme tampaknya telah dimanfaatkanoleh kelompok kiri, seperti dengan memutar balikkan fakta-fakta peristiwa S/PKI, membentuk partai politik seperti Partai Persatuan Nasional (Papernas) ataupun menyusup menjadi anggota parpol lain untuk menjadi anggota DPR/DPRD. Hal ini dimungkinkan setelah Mahkamah Konstitusi mencabut pasal 60 huruf g UU Pemilu no. 12 tentang eks Tapol/Napol PKI dapat menjadi calon legislatif dalam pemilu. Hal ini tentunya akan memberikan keleluasaan lebih luas untuk mempengaruhi sikap politik parlemen dalam upayanya merealisasikan tujuan politiknya.Penurunan kesadaran tentang Pancasila juga terlihat dari digulirnya wacana penerapan syariat Islam dan sistem pemerintahan Islam di Indonesia. Hal ini paling tidak dapat dilihat dengan adanya kegiatan kelompok ini yang cukup menonjol, seperti adanya wacana calon presiden independen, penyelenggaraan konferensi. Khilafah internasional yang dilakukan oleh Hisbuth Tahrir IIndonesia (HTI).  Perkembangan ini perlu untuk terus dicermati, sehingga tidak berkembang luas yang pada akhirnya mempengaruhi sendi-sendi kehidupan nasional.[4]
Aspirasi dan cita-cita bangsa juga merupakan lingkungan strategikyang berpengaruh pada kehidupan suatu bangsa karena dari sinilah tujuan suatu bangsa dapat tercermin dan jiwa suatu bangsa juga dapat juga digambarkan. Bangsa Indonesia memiliki cita-cita yang tersirat dalam Pembukaan UUD 1945 yaitu memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut menciptakan perdamaian dunia.
Kondisi sosial suatu bangsa juga perlu ditelaah, seperti halnya negara Indonesia memiliki berbagai kondisi sosial yang sangat berbeda. Beberapa penduduk Indonesia merupakan orang terkaya di dunia, namun ironisnya masih terdapat jutaan penduduk Indonesia yang digolongkan sebagai penduduk miskin. Kondisi sosial inilah yang berpotensi menjadi konflik dan berpengaruh pada kondisi suatu bangsa.
Budaya dan tradisi, keadaan alam dan wilayah serta pengalaman sejarah juga turut mempengaruhi bagaimana kehidupan suatu negara. Lingkungan strategik inilah yang harus dicermati dan ditelaah.
Indonesia sebagai salah satu konsumen minyak bumi yang cukup besar. Hal ini tercermin dari budaya bangsa Indonesia untuk memiliki kendaraan bermotor (mobil) dikarenakan fasilitas umum kendaraan yang layak masih belum terpenuhi. Hal ini didukung pula dengan kemudahan untuk melakukan pinjaman keuangan untuk kepemilikan kendaraan bermotor. Lingkungan strategis inilah yang perlu dicermati sebagai dasar untuk membuat kebijakan mengenai konsep subsidi BBM.

2.    Pentingnya Perencanaan Lingkungan Strategik
Dr. Steward Woodman menulis, bahwa dalam kaitan dengan tantangan “ketidakpastian (uncertainty)”, cara para perencana pertahanan (defence planners) lazimnya mencoba memvalidasi semua kebijakan (policies) mereka yang ada, dengan sendirinya akan mengkaji ulang lingkungan strategik. Mereka akan mengidentifikasi segi kekuatan-kekuatan dan kelemahan-kelemahan yang terkait dengan prospek sekuriti bangsa serta membuat penilaian dengan cara bagaimana faktor-faktor tersebut akan dapat berkembang dalam kerangka waktu lima sampai sepuluh tahun mendatang. Perlu diperhatikan, bahwa dalam perioda dengan cukup banyak perubahan strategik, adalah penting untuk diakui, bahwa penilaian tentang lingkungan strategik dimasa yang akan datang akan jarang obyektif murni. Sehingga strategi berhubungan dengan ketidak pastian sedangkan perencanaan membuat kepastian.Strategy adalah gabungan pengenalan ketidak pastian dan bentuk sukses atau gagal. Terdapat pendapat lain bahwa strategy tidak mengenal salah benar tetapi pilihan strategi nanti yang dapat diketahui hasilnya menang atau kalah. Sedang perencanaan adalah linier/garis lurus dan menentukan, sesuatu yang dianggap pasti dan hanya ada dua alternatif sukses atau gagal[5].
Baik seleksi isu-isu dengan cara memberi bobot kepada isu-isu tersebut akan sangat tergantung dari pandangan analis yang bersangkutan untuk memenuhi keinginan apa yang sebenarnya yang ingin dicapai oleh “defence planning” tersebut.
Pemahaman akan pemikiran Dr. Steward Woodman ini hampir sama dengan proses penyusunan dan penentuan RPJMN (Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional) suatu pemerintah daerah. Setiap pemerintahan pasti mempunyai suatu patokan dan alur untuk menyusun langkah-langkah yang harus diambil tiap jangka pendeknya.RJPMN inilah yang merupakan patokan untuk menentukan arah dan besaran untuk perencanaan jangka pendeknya. Patokan ini telah ditelaah dan dihitung dengan seksama dengan melihat kondisi yang ada untuk periode minimal lima tahun ke depan. Patokan ini dapat terlaksana atau tidak terlaksana itu merupakan faktor ketidakpastian, namun paling tidak perencanaan tersebut telah dibuat sedekat mungkin dengan peluang terlaksananya patokan yang telah ditentukan.
Jadi dapat dipahami bahwa perencanaan pertahanan yang dilakukan oleh defence planner telah dilakukan dengan memperhatikan lingkungan strategik yang ada untuk memperhitungkan peluang terjadinya lima atau sepuluh tahun yang akan datang beserta ancaman-ancaman yang menghalangi. Walaupun tingkat keterjadian dari perencanaan terdapat ketidakpastian dalam hal ini apakah perencanaan tersebut sukses atau gagal, namun perencana telah melakukan prediksi dengan pendekatan-pendekatan atau strategi yang telah diperhitungkan untuk dapat mencapai apa yang telah direncanakan.
Seperti halnya konflik yang terjadi antara negara kita dengan Malaisya mengenai perbatasan yang memiliki kandungan minyak bumi yaitu di Ambalat. Jikalau kita telah melakukan defence planning dengan benar, maka konflik tersebut mungkin dapat terhindari. Dengan defence planning atas perbatasan terluar NKRI, pemerintah Indonesia dapat melakukan kajian mengenai potensi sumber daya alam, peluang dan ancaman konflik dengan negara terdekat serta berbagai kajian lainnya.
Tentu saja kita tidak mau peristiwa lepasnya Pulau Sipadan dan Ligitan terulang kembali, potensi pulau-pulau terluar lainnya untuk lepas dari NKRI merupakan berpeluang terjadi jika pemerintah tidak melakukan defence planning dengan serius. Belajar dari kekalahan ini, seharusnya pemerintah telah menerapkan kajian lingkungan strategis untuk wilayah perbatasan ini.

3.    Pemahaman mengenai Wawasan Nasional
Sebagai bangsa yang besar dan memiliki berbagai karakteristik yang berbeda antarwilayahnya,  nilai-nilai wawasan kebangsaan merupakan syarat mutlak yang harus senantiasa dijaga demi persatuan bangsa serta tetap tegak dan utuhnya Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Multikulturalisme atau kemajemukan suatu bangsa merupakan kekayaan yang dapat menjadi kekuatan positif dalam pembangunan bangsa, namun dapat pula menjadi potensi konflik sosial bila tidak dikelola dengan baik dan akan menjadi kerawanan bagi persatuan dan kesatuan bangsa serta berdampak negatif pada pembangunan bangsa.
Pemerintah dan rakyat memerlukan suatu konsepsi berupa wawasan nusantara untuk menyelenggarakan kehidupannya. Wawasan ini dimaksudkan untuk menjamin kelangsungan hidup, keutuhan wilayah serta jati diri bangsa. Dalam hal ini pejabat pemerintah daerah sebagai pengemban amanat rakyat harus dapat memahami dan menghayati kekuatan positif dan multikulturalisme dalam rangka memperjuangkan kesejahteraan rakyat, sedangkan rakyat harus mendukung upaya pemerintah tersebut dengan ikut aktif mempertahankan NKRI baik dari sisi keamanan maupun dari segi lainnya.
Wawasan Nasional Indonesia merupakan kristalisasi nilai-nilai kehidupan bersama, yang terbangun dalam konsep-konsep yang melatarbelakangi kehidupan bangsa Indonesia. Dalam perkembangannya, masing-masing konsep itu berperan dalam pemikiran para tokoh bangsa didalam menyikapi berbagai fenomena kemasyarakatan dan perjuangan pada masanya. Berdasarkan tinjauan kefilsafatan, ruang hidup dan penguasaannya, kesejarahan, kebudayaan serta kewilayahan, terdapat enam konsep yang menjadi batu bangun (building block) Wawasan Nasional Indonesia, yaitu, pertama, konsep Bhineka Tunggal Ika; kedua, konsep persatuan dan kesatuan; ketiga, konsep kebangsaan; keempat, konsep tanah air (geo politik); kelima, konsep Negara kebangsaan; Keenam, konsep Negara kepulauan. Konsep-konsep tersebut diangkat dari khasanah bangsa yang berada di wilayah Nusantara, mulai abad VII hingga abad XX, yang diintegrasikan dengan kepentingan bangsa Indonesia, dan dijadikan acuan kehidupan bangsa Indonesia saat ini dan yang akan datang[6].
1.    Konsep Bhineka Tunggal Ika
Bhineka Tunggal Ika adalah semboyan pada lambang Negara Republik Indonesia yang keberadaannya berdasarkan PP No.66 Tahun 1951, mengandung arti, ‘beraneka tetapi satu’. Semboyan tersebut, menggambarkan gagasan dasar, yaitu menghubungkan daerah-daerah dan suku-suku bangsa di seluruh nusantara menjadi kesatuan raya.
Dalam kehidupan masyarakat, berbangsa dan bernegara berbagai perbedaan yang ada, seperti suku, agama, rasa dan antar golongan (SARA), merupakan realitas yang harus didayagunakan untuk memajukan negara dan bangsa. Persinggungan unsur-unsur SARA diharapkan dapat meningkatkan mutu kehidupan masing-masing unsur yang bermanfaat bagi masing-masing pihak, baik secara individu maupun kelompok. Selain itu, masing-masing pihak memiliki keunggulan dalam hal tertentu dari pihak yang lain, sehingga dengan berinteraksi akan terjadi hubungan yang saling melengkapi dan saling menguntungkan.
2.    Konsep Persatuan dan Kesatuan
Persatuan ialah gabungan (ikatan, kumpulan dan sebagainya) beberapa bagian yang sudah bersatu. Sedangkan Kesatuan ialah keesaan, sifat tunggal, atau keutuhan. Sebutan persatuan bangsa berarti ‘gabungan suku-suku bangsa yang sudah bersatu’. Dalam hal ini, masing-masing suku bangsa merupakan kelompok masyarakat yang memiliki ciri-ciri tertentu yang bersatu. Penggabungan dalam persatuan bangsa, masing-masing suku bangsa tetap memiliki ciri-ciri dan istiadat semula. Dalam persatuan bangsa, satu suku bangsa menjadi lebih besar daripada sekedar satu suku bangsa yang bersangkutan karena dia mengatasnamakan bangsa secara keseluruhan; misalnya, suku Bugis atau Batak, manakala menyebutkan dirinya bangsa Indonesia, serta merta memiliki ciri-ciri jauh lebih luas dan kompleks daripada suku Bugis atau Batak itu sendiri.
Sebutan kesatuan bangsa atau kesatuan wilayah mempunyai dua makna. Pertama menunjukkan sikap kebersamaan dari bangsa itu sendiri. Kedua menyatakan wujud yang hanya satu dan utuh, yaitu satu bangsa yang utuh atau satu wilayah yang utuh. Sebagai contoh, kesatuan bangsa Indonesia berarti satu bangsa Indonesia dalam datu jiwa bangsa, seperti yang diputuskan dalam Kongres Pemuda II pada tahun 1928, dalam keadaan utuh dan tidak boleh berkurang, baik sebagai subjek maupun objek dalam penyelenggaraan kehidupan nasional. Kesatuan wilayah Indonesia berarti ‘satu wilayah Indonesia dari Sabang sampai Merauke’ yang terdiri dari daratan, perairan dan dirgantara di atasnya, seperti yang dinyatakan dalam Deklarasi Juanda 1957, dalam keadaan utuh dan tidak boleh berkurang atau retak.
Bangsa Indonesia sama sekali tidak asing dengan konsep persatuan dan kesatuan karena disamping secara naluriah merupakan makhluk sosial yang tidak dapat hidup menyendiri, bangsa Indonesia juga bersifat komunal. Hal ini dapat diamati dari sistem kemasyarakatan pada umumnya yang tetap mempertahankan struktur klan, marga, suku atau daerah asal, seperti halnya praktik gotong-royong dan penolakan terhadap praktik individualisme. Dambaan terhadap persatuan dan kesatuan sangat kental. Seperti tergambar dalam falsafah sapu lidi, untuk menjelaskan bahwa sebagai sapu lebih bermanfaat daripada sebagai lidi yang lepas dari ikatan. Semboyan, ‘Bersatu Kita Teguh Bercerai Kita Runtuh’ merupakan semboyan orisinal bangsa Indonesia.
Persatuan dan Kesatuan bangsa serta kesatuan wilayah sebagai konsep merupakan suatu kondisi dan cara terbaik untuk mencapai tujuan bersama. Suatu masyarakat yang didorong oleh keharusan pemenuhan kebutuhannya perlu bekerjasama atau bersatu dalam bekerja karena pada dasarnya mereka saling membutuhkan. Masyarakat juga perlu bersatu agar dapat menghimpun kekuatan untuk mencapai suatu tujuan yang tidak dapat dilakukan secara sendiri-sendiri. Disamping itu, pencapaian suatu tujuan masyarakat dapat efektif bila dilakukan dalam satu tatanan atau suatu tata hubungan dalam masyarakat yang berada dalam satu kesatuan. Konsepsi persatuan dan kesatuan tidak saja berlaku secara nasional tetapi juga diperlukan dalam lingkup regional dan global, yang wujudnya seperti Uni Eropa, ASEAN, APEC atau  WTO.
3.    Konsep Kebangsaan
Konsepsi kebangsaan modern baru diperkenalkan pada abad XIX di Eropa. Menurut Ernest Renan, bangsa adalah keinginan untuk bersama. Bagi Otto Bauwer, bangsa adalah suatu tertib masyarakat yang muncul dari kesamaan karakter, atau menurut Bung Hatta, karena kesamaan nasib (M.Hatta dkk, 1980). Dalam pengertian modern, terbentuknya suatu bangsa tidak dibatasi oleh ras atau agama tertentu, tidak juga oleh bentuk-bentuk geografis, seperti aliran sungai, laut atau gunung. Jadi, kebangsaan yang mencakupi keinginan untuk bersatu dalam mencapai tujuan dan/atau didukung oleh persamaan sejarah, yaitu konsep kebangsaan yang diikrarkan pada Kongres Pemuda pada tahun 1928, tergolong maju dan modern. Meskipun demikian, konsep kebangsaan dapat tergelincir menjadi chauvinisme, yaitu kebangsaan yang sempit. Hal ini telah diantisipasi secara dini, yang paling tidak pada Sidang BPUPKI, tanggal 1 Juni 1945, tatkala Bung Karno menyatakan, “…….memang prinsip kebangsaan ini ada bahayanya! Bahayanya ialah mungkin orang meruncingkan nasionalisme menjadi chauvinism sehingga berpaham Indonesia uber alles. Kita cinta tanah air yang satu, merasa berbangsa yang satu, mempunyai bahasa yang satu, tetapi tanah air kita Indonesia hanya satu bagian kecil saja daripada dunia”.
Sebagai konsep, kebangsaan merupakan mekanisme kehidupan kelompok yang terdiri atas unsur-unsur yang beragam, dengan ciri-ciri persaudaraan, kesetaraan, kesetiakawanan, kebersamaan dan kesediaan berkorban bagi kepentingan bersama. Konsep kebangsaan harus tetap ditumbuhkan pada masyarakat bangsa dan dikembangkan secara terstruktur, yaitu berturut-turut pada tingkat kesadarannya, kemudian menjadikannya suatu paham, dan mengaktualisasikannya dalam semangat kebangsaan (Edi Sudrajat, 1996). Konsep kebangsaan tidak dapat diterima sebagai suatu yang sudah jadi, yaitu sekedar warisan dari generasi terdahulu, tetapi harus dipupuk terus agar hidup subur karena generasi-generasi berikutnya sudah tidak memiliki ingatan kebersamaan sejarah dengan generasi sebelumnya. Setiap generasi harus mengevaluasi perkembangannya agar diketahui bila telah terjadi penyimpangan dari ciri-ciri konsep kebangsaan yang disepakati atau terjadi penyimpangan dari tujuan semula, yaitu untuk apa bangsa Indonesia dahulu dibentuk.
4.    Konsep Tanahair (Geopolitik).
Konsep geopolitik telah lama dibicarakan oleh sementara tokoh bangsa, antara lain Muh. Yamin dan Bung Karno, dalam siding BPUPKI pada tahun 1945. Berkaitan dengan hal itu, Bung Hatta memberikan komentar antara lain, “Bung Karno mempergunakan dalil-dalil teori geopolitik, khususnya Blut-und-Boden Theorie ciptaan Karl Haushofer. Teori ini sebetulnya sendi bagi politik imperalisme Jerman, tetapi sangat menarik pula bagi kaum nasionalis Asia dan Indonesia, khususnya untuk membela cita-cita kemerdekaan, persatuan bangsa dan tanah air”. Dua puluh tahun kemudian, yaitu pada tahun 1965, Bung Karno dalam pidatonya yang berjudul ‘Susunlah Pertahanan Nasional Bersendikan Karakteristik Bangsa’, pada waktu peresmian berdirinya Lemhanas, anatara lain menyatakan, “Mengetahui hasil ilmu Geopolitik yang pada pokoknya, mula-mula saya baca di dalam kitabnya Karl Haushofer, Die Geo-politik des Pazifischen Ozeans, Geopolitik dari Samudra Pasifik, kalau mau mengetahui bagaimana suatu bangsa dijadikan besar, harus mengetahui Geo Politik bangsa itu”.
Pada perkembangan selanjutnya, konsep geopolitik semakin banyak mendapat perhatian dalam kaitannya dengan upaya pengembangan kemampuan untuk mempertahankan persatuan dan kesatuan bangsa serta kesatuan wilayah nasional. Konsepsi geopolitik bagi Indonesia menjadi aktual bila dihubungkan dengan kesadaran akan posisi geografis wilayah Indonesia, kepentingan atas integritas nasional dalam kondisi geografis yang terpecah-belah, pengambilan peran dalam kawasan regional, dan antisipasi ancaman kekuatan asing yang melibatkan negara adidaya di kawasan regional (Dino Patti D, 1996). ABRI (TNI) mengangkat konsep geopolitik ke dalam konsep pertahanan dan keamanan nasional (Hankamnas), antara lain dengan perngertian, “……memanfaatkan konstelasi geografi Indonesia, yang memerlukan keserasian antara Wawasan Bahari, Wawasan Dirgantara dan Wawasan Benua sebagai pengejawantahan segala dorongan-dorongan (motives) dan rangsangan-rangsangan (drive) didalam usaha mencapai aspirasi-aspirasi serta tujuan-tujuan negara Indonesia……” (Doktrin Hankamnas dan Doktrin Nusantara, yaitu wawasan konsepsional dari Wawasan Hankamnas. Wawasan Nusantara dalam Wawasan Hankamnas berkait dengan konsep Negara kepulauan.
5.    Konsep Negara Kebangsaan
Dalam pidatonya untuk Sidang BPUPKI pada tanggal 1 Juni 1945, Bung Karno menjelaskan pandangannya tentang Negara kebangsaan : “Orang dan tempat tidak dapat dipisahkan. Rakyat dengan bumi yang ada dibawah kakinya tidak dapat dipisahkan. Ernest Renan dan Otto Bouer hanya sekedar melihat orangnya”. Tampak disini bahwa bangsa dan tanah air harus merupakan satu kesatuan; negara yang dibentuk atas dasar itu disebut sebagai Negara Kebangsaan. Jadi, negara yang terbentuk mengikuti konsep kebangsaan, dan bukan merupakan kelanjutan dari bentuk-bentuk kekuasaan sebelumnya, yang semasa kekuasaan Hindia Belanda terdiri dari kerajaan, kesultanan atau bentuk kekuasaan tradisional lainnya. Kemudian, setelah merdeka semua melebur menjadi satu Negara kebangsaan berbentuk republik, dengan mengakui kekhasan daerah dalam memelihara adat istiadat masing-masing yang khas.
Menurut Neal R. Pierce “Globalisasi ekonomi, kebangkitan daerah-daerah, atau persaingan antar etnis/suku bangsa yang sedang dan terus menggejala akhir-akhir ini dipercaya oleh sebagian orang sebagai pertanda akan berakhirnya negara-negara kebangsaan”. Pertemuan para pakar dari 32 negara di Salzburg pada bulan Maret 1997, yang sengaja membahas masa depan negara-negara kebangsaan tidak sepenuhnya menyetujui pendapat tersebut. Mereka, baik yang berasal dari negara maju maupun negara berkembang, negara barat maupun timur, pada umumnya masih tetap memerlukan negara-negara kebangsaan, antara lain untuk memberi identitas kepada penduduk, menarik pajak, menyediakan jaring pengaman sosial, melindungi lingkungan, dan menjamin keamanan dalam negeri. Bagi bangsa Indonesia, hal itu bukan saja masih diperlukan mempertahankan Negara kebangsaan melainkan juga harus tetap mempertahankan persatuan dan kesatuan bangsa serta kesatuan wilayah Indonesia dalam satu negara agar tetap menjadi negara besar sehingga selalu diperhitungkan dalam kehidupan antar bangsa.
6.    Konsep Negara Kepulauan.
Konsep Negara kepulauan semula dikembangkan oleh Indonesia untuk menghindarkan keberadaan laut pedalaman atau perairan antar pulau wilayah Indonesia yang berstatus sebagai laut bebas (menurut hukum laut yang berlaku saat itu,yaitu Territoriale Zee en Maritieme Kringen Ordonantie (TZMKO) Th 1939. Pengembangan konsep tersebut mengacu pada Yurisprudensi Keputusan Mahkamah Internasional Tahun 1951 tentang Sengketa wilayah perikanan historis antara Inggris dan Norwegia, dilaut pedalaman Norwegia (Adi Sumardiman, 1995). Keputusan Mahkamah Internasional pada saat itu menerima cara penarikan garis dasar yang lurus, antara titik-titik luar dari pulau terluar, tidak menurut garis lengkung yang mengikuti garis pantai, seperti biasanya. Dengan cara demikian, kawasan kepulauan Indonesia terpisah dari laut bebas dan menjadikan wilayah nasional Indonesia suatu kawasan laut luas yang ditaburi pulau-pulau. Sebenarnya pengacuan kepada yurisprudensi tersebut dikaitkan dengan kondisi Indonesia kurang tepat karena Norwegia merupakan kasus kepulauan pantai (coastal archipelago), sedangkan Indonesia kasus kepulauan di tengah samudera (mid-ocean archipelago). Meskipun demikian, pada akhirnya dunia mengakuinya juga setelah melalui perjuangan selama 25 tahun.
Menurut konsep Negara kepulauan, kedaulatan wilayah Indonesia berlaku di daratan, perairan territorial dan ruang di atasnya (Adi Sumardiman, 1995). Walaupun demikian, Konvensi Hukum Laut PBB/1982 menetapkan hak-hak negara lain di wilayah Negara kepulauan, yang harus dipenuhi. Hak-hak yang dimaksudkan itu, antara lain, hak lintas damai dan lintas transit, hak lintas alur laut kepulauan, penerbangan melintas, serta pencarian dan penyelamatan. Masalah lain yang hingga saat ini dihadapi Negara kepulauan, seperti Indonesia, terutama ialah bahwa belum semua negara besar meratifikasi Konvensi Hukum Laut PBB/1982. Bagi Indonesia, berlakunya konsep Negara kepulauan selain perairan wilayah nasional Indonesia tidak lagi berstatus sebagai laut bebas atau perairan yang berstatus internasional, juga menambah luas wilayah negara Indonesia dalam bentuk laut wilayah, dengan tetap mengindahkan kewajiban-kewajiban internasional. Apalagi, dengan berubahnya ketentuan tentang lebar laut wilayah yang semula 3 mil dari garis dasar menjasi 12 mil. Tambahan luas laut wilayah tersebut disamping melipatgandakan kandungan sumber kekayaan alam yang menjadi milik bangsa, namun sekaligus menambah beban tugas pengelolaan dan pengamanan yang juga semakin berat.
Bagi bangsa dan negara Indonesia, konsep persatuan dan kesatuan ini sangat bermakna, lebih bermakna daripada umumnya bangsa dan negara lain. Bangsa Indonesia menyadari akan keterpecahan (fragmentasi) geografi dan sosial yang melekat pada bangsa dan negara Indonesia, kerap kali berpotensi menjadi sekat-sekat sosial yang dapat menghambat hubungan antar komponen bangsa Indonesia. Oleh karena itu, konsep persatuan dan kesatuan bagi bangsa Indonesia perlu diwujudkan dan senantiasa dipelihara di dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
Salah satu kondisi geografis Indonesia saat ini adalah melakukan impor kombinasi
antara crude oil dan BBM sebesar minimal 1,6 juta barel per hari dari 18 negara di antaranya: Arab Saudi, Malaisya, Cina, Yemen, Aljazair, Australia, Vietnam, Nigeria, Brunei, PNG, Pakistan, Rwanda, dan negara penghasil lainnya.[7]

4.    Pemahaman mengenai Geopolitik
Istilah Geopolitik mencerminkan hubungan antara kekuasaan dan kepentingan, penetapan keputusan dan wilayah geografis. Penggunaan istilah geopolitik ini telah menyebar luas secara cepat pada akhir abad ke 19. Geopolitik sesungguhnya mencerminkan sebuah pemahaman mengenai dunia internasional yang dipengaruhi secara kuat oleh paham Darwin. Hal ini juga ditandai dengan sebuah tatapan sinis dunia internasional, dengan ditandai kepercayaan yang rendah pada multiteralisme, norma-norma global dan hukum internasional. Geopolitik merupakan pengaruh sumber daya, dominasi strategis dan wilayah geografi pada satu kekuasaan dan berbagai pelaku baik negara atau bukan negara.
Pernyataan tersebut tercermin pada munculnya kolonialisme pada abad 19 oleh negara-negara Barat. Pada awalnya tujuan negara-negara Barat adalah untuk mencari sumber-sumber kekayaan alam seperti rempah-rempah, kopi dan hasil-hasil alam lainnya untuk mencukupi kebutuhan masyarakat di negara Barat yang lingkungan alamnya tidak mendukung untuk  menghasilkan hasil alam seperti rempah-rempah. Salah satu bentuk kolonialisme adalah penjajahan Belanda di Indonesia yang pada pada awalnya bertujuan untuk mencari sumber rempah-rempah, namun pada akhirnya penguasaan rempah-rempah oleh Belanda menjadi sebuah bentuk penjajahan terhadap Bangsa Indonesia untuk menguras kekayaan alam Indonesia.Sehingga dapat disimpulkan geopolitik negara-negara Barat untuk menguasai sumber-sumber alam di wilayah lainnya ini juga dilandasi untuk memperoleh kekuasaan atau memperluas kekuasaan melalui bentuk kolonialisme/penjajahandan untuk memenuhi kepentingan negara tersebut yaitu mencukupi kebutuhan akan rempah-rempah. Atas dasar kepentingan dan tujuan tersebut, negara-negara Barat pada waktu itu tidak mengindahkan norma-norma global dan hukum internasional.
Geopolitik tersebut dapat dipahami sebagai kepentingan suatu negara untuk memperluas kekuasaan dan wilayah dalam rangka memperoleh sumber daya yang dibutuhkan dengan mempergunakan strategi-strategi penguasaan ruang dan wilayah untuk memperolehnya. Sehingga negara yang kuat akan menang dan yang lemah akan terjajah.
Geopolitik tersebut bila dikaitkan dengan teori Darwinisme dapat disimpulkan bahwageopolitik imperialis bila dipandang dari kondisi sosial saat itu merupakan suatu “kewajaran”. Teori seperti Darwinisme sosial, lebensraum, dan organic state sangat menggambarkan sekaligus mempengaruhi kebijakan negara-negara Eropa.  Poin berikutnya yang sangat subyektif bagi penulis adalah pandangan bahwa teori Mackinder, “heartland” menjadi pemantik bagi agresifitas Jerman, Italia, dan Jepang dalam Perang Dunia II.[8]
Geopolitik telah lama dikenal orang bahkan pada zaman sebelumMasehi. Herodotus (484-425 SM), Plato (525-347 SM), dan Aristoteles (364 - 322 SM),termasuk ahli-ahli pikir yang pernah menyinggung masalah geopolitik. Pada saat itu, mereka masih belum mengenal istilah yang disebutgeopolitik. Strabo (abad ke-1) hanya mempersoalkan hubungan antara kondisi fisik(geografi) dan potensi nasional dari imperium Romawi. Seiring dengan peradaban dankebutuhan manusia akan pentingnyaruang hidup, para pemikir/ilmuwan mulaimempelajari masalah geografi, yang kemudian melahirkan berbagai macam ilmu, termasuk ilmu geopolitik, teori ruang hidup, dan berbagai konsep tentang penguasaan ruang hidup.[9]
a.    Teori Universal Geopolitik
Pengalaman menjadikan manusia tahu akan sesuatu dan muncullah pengetahuan (knowledge). Pengetahuan ditularkan, disampaikan, dan diajarkan kepada orang lain sehingga melahirkan ilmu (sience) yang terus berkembang, baik dalam ilmu pengetahuan alam (IPA) maupun ilmu pengetahuan sosial (IPS) atau ilmu geografi. Ilmu diterapkan lagi ke alam/geografi menjadi teknologi dan teknologi memunculkan pengalaman baru, pengetahuan baru, dan ilmu baru (siklus iptek menurut Ir. Ginanjar Kartasasmita).
Dari proses pengalaman, pengetahuan, dan ilmu ini telah muncul berbagai macam ilmu/teori, termasuk ilmu yang berkaitan dengan penguasaan ruang hidup, baik ilmu geografi politik, geopolitik, maupun postmo-geopolitik. Sebagai disiplin ilmu, ilmu geografi politik sebenarnya relatif masih baru meskipun hubungan perilaku politik dengan lingkungan fisiknya telah berabad-abad lamanya dilakukan pembahasan. Oleh karena itu, batasan-batasan perumusannya masih secara garis besar.
Salah satu rumusan menyatakan bahwa ilmu geografi politik adalah studi mengenai kebedaan dan kesamaan areal watak politik sabagai bagian yang paling berhubungan dengan kompleks total perbedaan dan kesamaan areal. Interpretasi kebedaan areal dalam sifat politik memerlukan studi terhadap interelasinya dengan segenap variasi areal yang relevan, baik yang aslinya bersifat fisik, biotik maupun budaya.
Sebagai bagian dari geografi, geografi politik menggarap hubungan antara manusia dan bumi serta aspek semacam ilmu-ilmu fisik, seperti studi mengenai iklim, bentuk tanah, dan permukaan bumi dari unit politik. Dalam memfokuskan perhatian kepada aktivitas politik, geografi memakai wahana ilmu-ilmu social, seperti sejarah, sosiologi, ekonomi, ilmu poliltik, dan hubungan internasional. Pada tingkat negara, geogafi politik melakukan upaya deskripsi dan analisis terhadap aspek-aspek fisik dari daerah, tingkat homogenitas dari negara, dan hubungan eksternal dari negara yang bersangkutan.
Geografi dijadikan sebagai suatu pembenaran dari tujuan politik dan melihat negara dari sudut pandang ruang. Sehubungan dengan ini, pada dasarnya geografi politik merupakan ilmu yang menempatkan geografi digunakan sebagai pembenaran dari suatu kebijakan (policy) dalam mewujudkan tujuan politik. Jika politik diartikan sebagai pendistribusian kekuasaan (power) serta kewenangan (rights) dan tanggung jawab (responsibilities) dalam kerangka mencapai tujuan politik (nasional), geografipolitik berupaya mencari hubungan antara konstelasi geografi dan pendistribusiannya tersebut. Geografi tidak menentukan, tetapi hanya mempengaruhi kondisi dari arah jalannya negara. Geografi hanya salah satu dari sekian banyak corak faktor, baik yang tangial maupun yang intangial, yang mempengaruhi bentuk pola suatu negara.
Geografi politik merupakan cabang ilmu pengetahuan yang melandasi lahirnya “ilmu geopolitik”, suatu ilmu yang menempatkan geografi identik dengan suatu negara, yang bisa bertahan, menyusut, atau bisa hilang (mati). Walaupun demikian, geopolitik dilihat dari sudut pandang negara yang diperoleh atau dikuasai dengan mengedepankan kekuasaan. Kebijakan politik disesuaikan dengan situasi, kondisi, dan konstelasi geografi, atau dirumuskan dengan pertimbangan geografi, wilayah/teritori dalam arti luas, yang apabila dilaksanakan dan berhasil, akan berdampak secara langsung atau tidak langsung pada sistem politik suatu negara.
Bila dipelajari kaitan-kaitan dan perbedaan antara geografi politik dan geopolitik dengan menghadapkan ke arah proses perjalanan sejarah pada tahun-tahun sekitar Perang Dunia II serta ideologi yang menjadi dasar perdaulatan kekuasaan pada saat ini, akan tampak sifat temporer dari suatu kontroversi yang dibesar-besarkan. Atas dasar kesadaran itulah, akan lebih mudah dimengerti mengapa banyak ahli yang kembali ke ajaran geografi politik (political geography), yang memang kurang mentereng kedengarannya, tetapi yang jelas berpijak di atas landasan yang lebih mantap.
Meskipun demikian, haruslah diakui bahwa di Jerman pada zaman Hitler, geopolitik berkembang, tetapi akar utama dari suatu falsafah yang hampir saja berhasil menjadi kenyataan politik yang kuat di dunia. Sejarawan Inggris, H. Trevos Roper, menggambarkan bahwa geopolitik yang dianut dan dilaksanakan oleh Hitler dalam suatu analisis untuk menyanggah geopolitik yang dianut Hitler sebagai berikut: Hitler, seperti Spengler, melihat sejarah mirip dengan suatu rangkaian lapisan zaman-zaman geopolitik.
Tiap zaman bercirikan suatu budaya khusus dan terpisahkan dari zaman-zaman sebelumnya oleh periode-periode malapetaka, yaitu suatu tradisi yang menggambarkan zaman lampau dan budaya lama akan digantikan oleh zaman yang baru, misalnya zaman kebudayaan Mediterania Kuno, zaman Kebudayaan Jerman abad pertengahan, era sesudah Renaissance, yakni zaman kebudayaan kapitalis yang didominasi oleh kekuatan-kekuatan maritim. Secara berturut-turut, zaman-zaman tersebut telah mencapai periode fatalnya dan terpaksa harus digantikan oleh yang baru, tetapi bagaimana wujudnya zaman yang baru nanti? Budaya siapa yang akan mendominasinya, bagaimana cara melahirkannya dari kandungan zaman lama yang sudah mendekati surut?
Untuk semua pertanyaan itu Hitler telah menyiapkan jawaban-jawabannya. Zaman baru itu nanti merupakan zaman geopolitik, yang di dalamnya akan terjadi perebutan ruang yang akan mengakibatkan surutnya negara-negara maritim lama. Inilah yang menyebabkan dia (Hitler) berani menjamin akan menjadi usainya Britania. Zaman baru itu akan didominasi oleh kekuatan yang menguasai masa daratan Eropa Tengah dan Eropa Timur. Memang, ada kemungkinan bahwa yang meguasai itu bangsa Rusia, yang memang besar jumlahnya dan terorganisasi kuat di bawah pimpinan yang genius dan totaliter yang ia (Hitler) kagumi, dan sudah terdapat di sana.
Namun, Hitler tidak menginginkan yang berkuasa itu bangsa Rusia. la (Hitler) menginginkan yang akan berkuasa itu bangsa Jerman. Oleh karena itu, sebagai jawaban untuk pertanyaan ketiga, ia menyatakan bahwa kekuasaan itu akan datang tidak melalui proses ekonomik yang alami, tetapi melalui perubahan dengan kekerasan, suatu perang "salib" baru untuk merebut dan menjajah, suatu perang antarraksasa dengan ia sebagai “sang maha pencipta” dari zaman baru, yang dengan kekuatan kemauan insani akan mengalihkan arah jalannya sejarah yang seakan-akan sudah tidak terelakkan lagi. Ia akan menanamkan peradaban Jerman yang akan mendominasidunia untuk seribu tahun akan datang di atas Eurasia yang sudah direbut itu. Ada satu hal penting lagi yang perlu diperhatikan. Kita tidak boleh mengecilkan bahaya yang dapat timbul dari adanya pemikiran di antara bangsa Indonesia menganut doktrin geopolitik dan ideologi yang berakar dari geopolitik Jerman pada masa Perang Dunia II. Ajaran itu bukan saja karena merupakan produk falsafah Nazi Jerman yang memang seperti bumi dan langit perbedaannya dengan falsafah bangsa Indonesia, melainkan karena ada kecenderungan di antara kita untuk senang mengadaptasi sesuatu yang berasal dari luar dan kelihatan mentereng. Bahkan, ada yang terpengaruh oleh konsep geopolitik Jerman dan memimpikan semacam Manifest Destiny Amerika Serikat.
Manifest Destiny Amerika Serikat yang berkembang pada tahun 1830—1860 semula juga dinyatakan tidak didasarkan pada militerisme. Manivest Destiny Amerika Serikat (MDAS) digambarkan sebagai ekspansi melalui proses damai merembet/menguasai seluruh Kontinen AS dengan berdasarkan asas pemerintahan republik. Namun, ternyata kesamaannya dengan asas geopolitik Jerman sangat tampak.
Baik geopolitik Jerman maupun MDAS, keduanya memasalahkan "ruang hidup" dan memilih jalan ekspansionisme sebagai kebutuhan biologik kehidupan negara, mencari pembenarannya atas dasar konsepsi negara sebagai organisme. Keduanya didasarkan pada teori economically integrated large space areas sebagaimana halnya gagasan ekonomi terintegrasi Mittel-Eropa Geopolitik Jerman. Demikian juga, ekspansi AS ke barat, ke selatan, dan ke utara yang akhirnya menjadi slogan perang. Manifest Destiny dan pembenaran teoretis dalam asas kesatuan geografi.
Dalam alasan-alasan yang dipakai oleh para penganut MDAS terdapat determinisme geografis dan konsep-konsep geopolitik yang belum jelas dan konsep-konsep perbatasan alamiah (natural boundaries). Pernyataan yang paling keras dalam hal ini dikeluarkan oleh W.H. Seward. Sekretaris Presiden Lincoln pada tahun 1860, dalam pidatonya di St. Paut (Minnesota), menyatakan paham geopolitiknya. Ia membayangkan ekspansi Amerika Serikat meliputi seluruh Kontinen Amerika itu dan dilandaskan pada dalih "kodrat Illahi". Sesudah perang saudara, gagasan-gagasan geopolitik Seward makin meluas hingga meliputi Empire Amerika yang lebih besar lagi, yang meliputi kepulauan-kepulauan di Karibia, Kuba, dan Puerto Rico. Dalam citacitanya untuk mempunyai jajahan wilayah di Atlantik dan Pasifik, Seward membayangkan rencana untuk rute kapal lewat Nikaragua dengan menjamin hak transit dalam perjanjian tahun 1867. Seward mengharapkan AS mencaplok Hawaii, dan menganjurkan aneksasi Kanada. Realisasi satu-satunya yang dapat diwujudkan adalah pembelian Alaska dari Rusia. Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa Manifest
Destiny AS dan geopolitik jelas merupakan suatu pengetahuan yang didasarkan pada pokok-pokok pemikiran (basic ideas) sebagai berikut:
a.    Konsep dasar "ruang hidup" dan—oleh karena itu—mengarah ke ekspansionisme sebagai "biological necessity in the lives of state" (kebutuhan biologik kehidupan negara yang dibenarkan oleh konsepsi negara sebagai organisme);
b.    Teori adu kekuatan, kekuasaan, perebutan kekuasaan atau penguasaan posisi, dan dominasi dunia;
c.    Teori ras, yaitu bahwa berdasarkan bakat, sifat-sifat potensi suatu bangsaatau ras tertentu, bangsa itu dianggap berhak, bahkan berkewajiban memimpin bangsa lain;
d.    "Hukum-hukum yang menentukan takdir” suatu bangsa atau negara (deterministik) dan kadang-kadang berdasarkan the fulfilment of the will of Providence (memenuhi suruhan Tuhan);
e.    Geografi sebagai sarana untuk membenarkan tindak agresi atau ekspansi;
f.     Teori economically integrated large space areas (wilayah ruang luas yang terintegrasikan secara ekonomis);
g.    Pembenaran dalam "the principle of geographical unity". Dalam argumen dan proponennya memeluk geographical determinisme dan konsep geopolitik yang kabur tentang natural frontiers (kabur karena tidak konsisten untuk semua bangsa dan keadaan serta hanya menguntungkan pihak sendiri). Jika teori geografi itu memiliki karakteristik seperti dikemukakan di atas, teori itu dinamakan geopolitik. Jika tidak demikian, sudah tentu harus dipakai nama yang lain untuk membedakannya. Misalnya, kalau ilmu itu didasarkan pada teori yang lebih nyata, yang lebih konkret landasannya, dan memusatkan perhatian pada unsur-unsur geografi yang lebih nyata dan penerapannya lebih berguna untuk keperluan perumusan haluan negara, politik, dan strategi nasional, seyogianya atau mungkin lebih tepat disebut implementasi wawasan nasional atau geografi politik sebagai ilmu dan politik geografi sebagai politik yang didasarkan pada pertimbangan geografi.
Sekalipun Bung Karno banyak mengambil dalil-dalil geopolitik Karl Haushoper yang diterapkan oleh Hitler pada zamannya, geopolitik Indonesia tetap berpijak pada Pancasila sebagai falsafah hidup bangsa, dasar negara, dan ideologi nasional. Pancasila menempatkan hubungan manusia, negara, dan ruang hidup Sebagaipemberian dan anugrah dari Tuhan Yang Maha Kuasa, yang harus diterima dan disyukuri oleh seluruh bangsa Indonesia. Negara merupakan satu sistem kehidupan nasional yang mencerminkan dua dimensi sistem kehidupan manusia, Negara dalam realita kehidupan merupakan ruang hidup yang di dalamnya terdapat hubungan antara pemerintah, rakyat, dan wilayah atau geografi, tempat manusia berjuang bersama mewujudkan cita-cita dan tujuan bersama dalam rangka mempertahankan hidup dan kelangsungan hidup bersama.
Negara dalam dimensi manusia sebagai hamba Tuhan, terdapat hubungan filosofis antara manusia dan Tuhan, antarsesama manusia dan alam, yang merupakan sumber hidup demi kelangsungan hidup bersama. Dalam dimensi ini, negara merupakan sistem kehidupan yang bersifat abstrak, yang menitikberatkan pada hekikat keberadaan kehidupan manusia di muka bumi, yang sengaja diciptakan Tuhan hanya untuk beribadah kepada-Nya. Hubungan filosofis antara manusia dan Tuhan, manusiadan manusia, serta manusia dan alam, merupakan inti dari tiga sila Pancasila (kesatu, kedua, dan ketiga) yang bersifat abstrak yang mendasari pemikiran manusia
Indonesia dalam kehidupan yang bermasyarakat. Pemikiran ini sangat terkait dengan berbangsa dan bernegara dengan pemikiran Bung Karno tentang ruang hidup, yaitu bahwa orang dan tempat tidak dapat dipisahkan, rakyat dan bumi yang ada di bawah kakinya tidak dapat dipisahkan. Konsep ini menjadi sangat relevan pada masa itu, yaitu saat status wilayah Hindia Belanda dari Sabang sampai Merauke (kini NKRI) dalam peralihan dari penguasa Jepang ke penguasa Sekutu sebagai pemenang perang (Belanda terdapat di dalamnya).
Dari sudut pandang geopolitik, tuntutan kemerdekaan Indonesia atau wilayah eks Hindia Belanda (dari Sabang sampai Merauke), berikut bangsa dan tanah airnya, menjadi memiliki landasan yang kuat. Kondisi atau persyaratan tersebut, selain ditentukan/diarahkan kepada pihak-pihak yang bersengketa (Sekutu dan Jepang), juga disampaikan ke badan dunia (PBB) dan dimasyarakatkan dengan gencar kepada seluruh anak bangsa Indonesia, untuk membangkitkan semangat, kesadaran perolehan dukungan. Tidak mengherankan apabila sejak dini para pendiri negara Indonesia, telah meletakkan dasar-dasar geopolitik Indonesia melalui pemantapan wawasan kebangsaan dengan unsur-unsur rasa kebangsaan, paham kebangsaan, dan semangat kebangsaan. Ketiga unsur wawasan kebangsaan ini menyatu secara utuh, menjadi jiwa bangsa Indonesia, dan nilai-nilainya mengkristal dalam Pancasila sebagai nilaikeindonesiaan, serta sekaligus pendorong cita-cita proklamasi. Dengan kata lain, nilainilaikeindonesiaan itu telah terpatri dalam Pancasila dan telah mendarah daging dalamjiwa dan sanubari setiap anak bangsa Indonesia. Nilai-nilai itu juga sangat menentukan keberhasilan geopolitik Indonesia dalam mempertahankan dan mengisi kemerdekaan, sebagaimana yang telah dibuktikan oleh adanya nilai-nilai pada wawasan kebangsaan dalam merebut kemerdekaan dari tangan penjajah, suatu nilai keindonesiaan yang merupakan inti pandangan geopolitik Indonesia yang harus dipertahankan dan ditingkatkan, terutama dalam menghadapi era globalisasi.
1)    Teori Ruang Hidup
Teori tentang geopolitik sangat erat hubungannya dengan angan-angan (desire) yang ada pada penyusun teori dari warga yang berada dalam satu negara. Teori geopolitik atau pandangan-pandangan tentang geopolitik yang secara universal dapat diterima oleh semua bangsa di dunia relatif belum ada. Teori geopolitik pada awalnya hanya memberikan justifikasi (reachs ground) atau verantschuldiging-ground bagi ekspansi dari negara penyusun. Teori geopolitik Wandell Wilky yang berjudul The OneWorld tidak laku atau tidak populer, bahkan terabaikan karena dianggap tidak mungkin menjadikan pemerintahan dunia berdasarkan geopolitik dunia.
Pada umumnya, suatu negara dapat mengambil beberapa segi dari teori-teori geopolitik yang berguna untuk tujuan politiknya, yang disesuaikan dengan situasi, kondisi, dan konstelasi geopolitik, serta falsafah hidup (ideologi) negara masing-masing, seperti pemikiran yang menyatakan bahwa ruang hidup merupakan inti geopolitik. Hal ini merupakan suatu kenyataan bahwa setiap bangsa memerlukan ruang hidup untuk mempertahankan hidup dan kelangsungan hidup dalam rangka mewujudkan cita-cita bangsa/negara. Geopolitik mengajarkan bahwa wilayah bagi suatu bangsa merupakan ruang hidup dan kehidupan yang harus dimiliki dan dipertahankan. Menurut geopolitik, batas-batas ruang hidup relatif tidak tetap, bergantung pada kebutuhan bangsa yang memiliki ruang hidup tersebut.
Kebanyakan mazab geopolitik didominasi oleh para pemikir dari Eropa Barat dan berkembang sesuai dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek), terutama teknologi kesenjataan teknis (militer) dan kesenjataan nonteknis (sosial). Terdapat beberapa pemikiran dari pokok-pokok/ilmiah yang cukup menonjol dan terkenal yang berkaitan dengan penguasaan ruang hidup, antara, lain berikut ini.

a)    Ruang Hidup dalam Pemikiran Barat
ü  Frederich Ratzel (1844--1904)
Pada akhir Abad XIX, untuk pertama kalinya Frederich Ratzel dalam bukunya Antropo-Geographi merumuskan ilmu bumi politik sebagai hasil penelitiannya secara ilmiah dan universal (tidak khusus suatu negara). Pokok-pokok ajarannya adalah sebagai berikut.
·         Dalam hal-hal tertentu pertumbuhan negara dapat dianalogikan dengan pertumbuhan organisme yang memerlukan ruang hidup melalui proses lahir, tumbuh, berkembang, mempertahankan hidup, tetapi dapat juga menyusut dan mati.
·         Negara identik dengan suatu ruang yang ditempati kelompok politik dalam arti kekuatan. Makin luas potensi ruang tersebut, makin memungkinkan kelompok politik itu tumbuh (teori ruang, konsep ruang).
·         Suatu bangsa dalam mempertahankan kelangsungan hidupnya tidak terlepas dari hukum alam. Hanya bangsa unggul saja yang dapat bertahan hidup terus dan langgeng.
·         Semakin tinggi budaya suatu bangsa, semakin besar kebutuhan dukungan akan sumber daya alam.
·         Bahwa perkembangan atau dinamika budaya/kebudayaan dalam bentuk-bentuk gagasan atau kegiatan (ekonomi, perdagangan, perindustrian/produksi) harus diimbangi dengan pemekaran wilayah.
·         Batas-batas suatu negara pada hakikatnya bersifat sementara.Apabila sudah tidak dapat memenuhi keperluan, ruang hidup negara dapat diperluas dengan mengubah batas-batas negara baik secara damai maupun melalui jalan kekerasan atau perang.
·         Ilmu bumi politik berdasarkan ajaran Ratzel tersebut menimbulkan dua aliran: satu pihak menitikberatkan kekuatan di darat, pihak lain menitikberatkan kekuatan di laut. Ratzelmelihat persaingan antarkedua aliran itu sehingga ia mengemukakan pemikiran yang baru, yaitu dengan meletakkan dasar-dasar suprastruktur geopolitik bahwa kekuatan total suatu negara harus mampu mewadahi pertumbuhannya yang dihadapkan pada kondisi dan kedudukan geografi di sekitarnya. Dengan demikian, esensi pengertian politik adalah penggunaan kekuatan fisik dalam rangka mewujudkan keinginan atau aspirasi nasional suatu bangsa. Hal yang demikian sering menjurus ke arah politik adu kekuatan atau  adu kekuasaan dengan tujuan dominasi. Pemikiran Ratzel menyatakan bahwa ada kaitan antara struktur politik atau kekuatan politik dan geografi serta tuntutan perkembangan atau pertumbuhan negara yang dianalogkandengan organisme (kehidupan politik).
ü  Rudolph Kjellen (1864--1922)
Sarjana bangsa Swedia dari universitas di Goterberg ini adalah pencipta istilah geopolitik. Pada dasarnya, dia berpandangan pro-Jerman dan sangat berjasa terhadap pengembangan pandangan–pandangan. Kjellen, dalam bukunya Staten Som Litsfrom (1916), melanjutkan ajaran Ratzel tentang teori organisme. Yang dikemukakan olehRatzeladalah analogi, sedangkan Kjellen menegaskan bahwa negara adalah suatu organisme yang dianggap sebagaiprinsip dasar. Dalam tahun 1916, ia menulis bahwa negara berakar kuat di dalam sejarah dan realitas–realitasnya tumbuh secara organisme sebagai tipe dasar organisme dan sama halnya dengan manusia. Menurut R. Kjellen, kekuasaan lebih penting daripada hukum sebab hukum hanya dapat ditegakkanoleh kekuasaan. Esensi ajaran Kjellen adalah sebagai berikut.
·         Negara merupakan satuan biologis, suatu organisasi hidup, yang juga memiliki intelektual untuk mencapai tujuan negara yang dimungkinkan hanya dengan memperoleh ruang yang cukup luas agar dapat mengembangkan kemampuan dan kekuatan rakyat secara bebas.
·         Negara merupakan suatu sistem politik/pemerintahan yang meliputi bidang-bidang geopolitik, ekonomi politik, demo politik, sosial politik, dan krato politik (politik pemerintah).
·         Negara tidak harus bergantung pada sumber pembekalan luar,tetapi harus mampu berswasembada serta memanfaatkan kemajuan kebudayaan dan teknologi untuk meningkatkan kekuatan nasionalnya sebagai berikut :
(1) ke dalam, untuk mencapai persatuan dan kasatuan yang harmonis;
(2) ke luar, untuk memperoleh batas-batas negara yang lebihbaik;
(3) kekuasaan imperium kontinental dapat mengontrol kekuatan di laut.
ü  Sir Halford Mackinder (1861--1947)
Guru Besar Geologi di universitas London ini adalah sarjana pertama yang menggunakan/mengemukakan teori geostrategis kontinental walaupun ia berasal dari negara maritim. Sekalipun demikian, teorinya telah merupakan mercu suar bagi para ahli geopolitik dan geostrategis Jerman. Walaupun ia sendiri tidak menyadarinya, dia berpendapat bahwa untuk menguasai “daerah jantung dunia”, yaitu Eropa Timur (negara eks Uni Soviet, Eropa dari eks negara Pakta Warsawa). Teori ini dinamakan teori daerah jantung yang menganggap bahwa daerah tersebut sangat strategis untuk dapat menguasai Pulau Eurasia (Eropa-Asia) yang pada awal Abad XX seolah-olah merupakan pusat kegiatan dunia.
Penganut teori ini bukan Inggris tempat Mackinder berasal, melainkan negara Jerman Nazi yang motivasi daerah jantung pada Perang Dunia II. Begitu juga Uni Soviet yang membentuk Pakta Warsawa.
ü  Karl Haushofer (1869--1946)
Seorang Sarjana Geografi yang pada tahun 1933 diangkat menjadi Direktur Institut Geopolitik di Munich mendefinisikan geopolitik sebagai ilmu pengetahuan tentang hubungan bumi dan perkembangan politik. Teori-teorinya banyak dipengaruhi oleh Ratzel. Pandangan Ratzel tentang negara organis, tentang perbatasan organis dikembangkan olehnya. Juga ajaran-ajaran Mackinder diberi tafsiran-tafsiran yang menguntungkan Jerman Raya. Ajaran-ajaran Haushofer adalah sebagai berikut.
·         Jerman Raya terjepit di antara dua kekuasaan besar dari Barat yang didesak oleh bajak-bajak laut (Inggris ); dari timur oleh kaum gelandangan asal wilayah jantung (Rusia). Untuk mengatasi jepitan ini, Jerman Raya perlu mempunyai kekuasaan pengawasan terhadap Eropa Timur guna menanggulangi desakan dari Timur, dalam menghadapi laut yang dapat menandinginya.
·         Teori Lebensraum , teori Haushofer ini didasarkan atas anggapan bahwa bangsa-bangsa yang telah berkembang dengan cepat memiliki sifat-sifat yang lebih sempurna. Oleh karena itu, bangsa-bangsa tersebut harus diberikan kesempatan berkembang dalam arti memperluas daerahnya.
ü  Nicholas J. Spykman (1893--1943)
Spykman, Sarjana Geopolitik terkemuka di USA, menyatakan bahwa geopolitik memberikan suatu gambaran yang berkembang dengan suatu kerangka petunjuk tertentu. Suatu wilayah dipandang dari sudut geopolitik ditentukan oleh faktor-faktor geografinya dan oleh perubahan-perubahan dinamis dari pusat-pusat kekuasaan dunia. Spykman berpendapat bahwa siapa pun yang ingin menguasaidunia harus menguasai daerah jantung dunia. Menurut dia, penguasaan daerah jantung itu memiliki akses dengan daerah pantai. Ini berarti bahwa negara-negara pantai sepanjang puiau dunia Eurassa harus dikuasai, muiai dari negara Skandinavia, Eropa Barat, Pantai Laut Tengah, Asia Barat, Asia Selatan, Asia Tenggara, sampai dengan AsiaTimur. Seluruh negara pantai Eurasia ini kalau digabungkan bentuknya seperti bulan sabit. Oleh karena itu, teori Spykmanini sering dlsebut "teori bulan sabit". Teori ini dipraktikkan dengan baik bukan oleh bangsa Belanda, melainkan oleh bangsa Inggris yang berusaha keras mendominasi Eropa Barat. Bahkan, sampai sekarang dia tetap menduduki Gilbraltaryang merupakan bagian dari Spanyol. Terusan Suez, Mesir, negara-negarateluk, Iran, Irak, India, Pakistan, Bangladesh, Singapura, Malaysia, Makao, dan Hongkong pernah dijajah oieh Inggris.
b)    Ruang Hidup dalam Era Globalisasi oleh Konichi Ohmae
Kenichi Ohmae,dengan dua bukunya yang terkenai Borderless World (1991) dan The End of Nation State (1995), mengatakan bahwa dalam perkembangan masyarakat global, batas-batas wilayah negara daiam geografi dan poiitik relatif masih tetap, tetapi kehidupan dalam satunegara tidak mungkin dapat membatasi kekuatan global yang berupa informasi,investasi,industri, dan konsumen yang makin individual. Kenichi Ohmae juga rnemberikan pesan bahwauntuk dapat menghadapi kekuatan global, suatu negara harus mengurangi peranan pemerintahpusat dan lebih mernberikan peranan kepada pemerintah daerah dan masyarakat.
Dari nilai-nilai global seperti dijelaskan di atas, dapat dikenali hakikat teori geopolitik, yaitu negara sebagai organisme dapat memperluas diri. Hingga saat ini teori ini tetap dianut dengan bukti berupa makin berkembangnya ajaran/paham yang menganggap sudah tidak diperlukannya lagi batas negara dengan segala aturannya yang menghambat lalu-lintas semua aspek kehidupan internasional, terutama bidang perekonomian, demi tercapainya kemakmuran yang setinggi-tingginya bagi manusia, tanpa membedakan asal negaranya. Kesemuanya itu hanyalah strategi dan taktik negara-negara maju, yaitu tanpa kekerasan senjata dapat memperoleh keuntungan yang sebesar-besarnya dengan segala macam cara, tidak peduli dengan merugikandan menyengsarakan sebagian besar rakyat negara-negara berkembang. Hal ini dilakukankarena yang utama bagi negara-negara maju tetap saja, yaitu kepentingan nasional masing-masing dengan kedok segala macam alasan yang berbau globalisasi.
c)    Ruang Hidup dalam Pemikiran Bangsa Indonesia
Pada saat bangsa Indonesia berada di depan gerbang kemerdekaan, persoalan tanah air bangsa Indonesia kelak, sesudah merdeka, masih dipersoalkan. Hal tersebut tampak pada penegasan Bung Karnopada salah satu sesi Sidang BPUPKI (1 Juni 1945) yang berbunyi, "Menurut geopolltik, Indonesia tanah air kita. Indonesia yang bulat, bukan Jawa saja, bukan Sumatra saja atau Borneo saja, atau Selebes saja atau Ambon saja atau Maluku saja, tetapi segenap kepulauan yang ditunjuk oleh Allah SWT menjadi suatu kesatuan antara dua benua dan dua samudra, itulah tanah air kita!” Penalaran seperti itu didasari teori ruang hidup, "... bahwa orang dan tempat tidak dapat dipisahkan; tidak dapat dipisahkan rakyat dari bumi yang ada di bawah kakinya”, seperti diutarakan Bung Karnopada pokok bahasan lainnya. Konsep ini menjadi sangat relevan pada masa itu, yaitu saat status wilayah Hindia Belanda dari Sabang sarnpai Merauke (kini Indonesia) dalarn peralihan dari penguasaan Jepang ke penguasaan Sekutu (Belanda terdapat di dalamnya sebagai pemenang perang. Dari sudut pandang geopolitik,dengan demikian, itu kemerdekaan Indonesia. Bangsa berikut tanah airnya (eks Hindia Belanda)menjadi memiliki landasan kuat; kondisi atau persyaratan tersebut selain ditentukan oleh pihak-pihak yang bersengketa (sekutu Jepang) dan badan dunia (PBB), juga masyarakat akan gencar kepada bangsa Indonesia untuk membangkitkan kesadaran memperoleh dukungan.
Hubungan antara manusia, negara, dan ruang hidup, jika dilihat dari sudut pandang ideologi Pancasila, tidak sama pendekatannya dengan ideologi yangditerapkan Barat (liberal).Setiap manusia (masyarakat) butuh negara, sedangkan negara butuh ruang hidup sehingga pakar/ilmuwan seperti Fredriek Ratzel dan Rudolf Kjellen menyatakan bahwa negara merupakan suatu organisme hidup (entitas biologis). Untuk itu, demi kelangsungan hidup diperlukan adanya perluasan ruang hidup (eksplorasi), baik secara periodik (pendekatan) maupun secara nonpriodik (perluasan ekonomi/kapitalisme dan imperalisme). NKRI memiliki falsafah hidup bangsa, dasar negara, dan ideologi nasional Pancasila. Semuanya diperoleh atas kehendaki Tuhan Yang Maha Esa yang harus diterima dan disyukuri sebagai suatu nikmat dan anugerah. Dengan demikian, bangsa Indonesia tidak sedikit pun berpikir untuk eksplorasi memperluas ruang hidup, tetapi akan mempertahankan seluruh wilayah kedaulatan NKRI yang telah diberikan Tuhan kepada bangsa Indonesia dan siap membelanya sampai titik darah penghabisan.
Dalam sejarah perjuangan merebut dan mempertahankan kemerdekaan, bangsa Indonesia merasakan sendiri betapa kesengsaraan dan penderitaan akibat peperangan melawan penjajah telah menimpa seluruh rakyat, baik secara langsung maupun tidaklangsung. Akan tetapi, seberapa pun besarnya kesengsaraan dan penderitaan yangdialami, bangsa Indonesia menganggapnya sebagai suatu pengorbanan yang wajar,yang harus ditempuh demi tercapainya suatu harapan: merdeka, berdaulat, dan bermartabat.
Hidup sebagai bangsa yang terjajah, tanpa kebebasan dan martabat selama ratusan tahun telah menjadi kekuatan moral dan sebagai landasan kokoh bagi perjuangan panjang yang tak kenal menyerah. Perang yang akan melibatkan seluruh dana dan daya, menggerakkan segenap potensi dan kemampuan sumber daya, serta menyengsarakan rakyat, memang seharusnya dihindari. Akan tetapi, demi kemerdekaan, kedaulatan, serta martabat bangsa dan negara sebagai nilai hidup yang harus dipertahankan, perang adalah tindakan yang tidak mustahil untuk dilancarkan.
Dalam hal ini, perang merupakan upaya terakhir yang terpaksa dilakukan setelah segalaupaya damai gagal membuahkan solusi. Dengan pemahamanterhadap kenyataan di atas, dan pemahaman terhadapkonsep-konsep yang melatarbelakangi persepsi tentang eksistensi bangsa dannegara, terbentuklah paham tentang perang bagi bangsa Indonesia,yaitu bahwa bangsa Indonesia cinta damai, tetapi lebih cinta kemerdekaan dan kedaulatan. Hal ini menyiratkan arti bahwa hidup di antara sesama warga bangsa dan bersama bangsa-bangsa di dunia merupakan kondisi yang terus-menerus perlu diupayakan. Sebaliknya, penggunaan kekuatan nasonal dalam wujud perang hanyalah dilakukan untuk mempertahankan kemerdekaan dan kedaulatan yang juga berarti martabat bangsa dan integritas nasional. Oleh karena itu, sedapat mungkin diusahakan agar wilayah nasional tidak menjadi ajang perang. Jelaslah bahwa perang dalam pemahaman bangsa Indonesia bukanlah alat untuk mengembangkan wilayah negara sebagai ruang hidupnya, sebagaimana esensi teori klasik yang pernah dianut oleh beberapa negara Barat dalam mengembangkan imperiumnya. Konsekuensi dari paham tersebut ialah bahwa bangsa Indonesia harus merencanakan, mempersiapkan, dan mendayagunakan segenap potensi sumber daya nasional secara tetap dan terus-menerus, sesuai dengan perkembangan zaman.
2)    Konsep Penguasaan Ruang Hidup
Ruang hidup bagi suatu bangsa sangat ditentukan oleh penguasaan wilayah/ruang. Penguasaan wilayah atau ruang yang dituangkan di dunia Barat, banyak dipengaruhi oleh pemikiran-pemikiran tentangkonsep penggunaan kekuatan, yang disesuaikan dengan perkembangan persenjataan yang dimiliki pada saat itu, terutama persenjataan perang. Pengembangan penguasaan ruang wilayah dengan kekuatan, antara lain, dikembangkan oleh pemikir-pemikir terkenal berikut.
a)    Pemikiran Sir Waltes Raleigh ( 1554--1618 )
Raleigh yang hidup pada abad romantis, yaitu masa kapal perang layar, percaya bahwa negara Inggris akan jaya di dunia dalam menyaingi negara koloni lainnya apabila memiliki armada perang yang sangat kuat. Raleigh berharap agar armada perang Inggris tidak akan ada yang dapat mengalahkan di setiap samudra dunia. Hal itu sesuai dengan yang tercantum dalam moto Inggris, yaitu England Ruler the Wave dan England Rules the Seven Ocean. Moto ini telah ditegakkan oleh Raleigh selama kariernya sebagai Laksamana Inggris, dengan mendirikan negara kolonial di seluruh dunia, seperti Amerika, Afrika, Asia, dan Australia. Koloni yang tersebar di seluruh dunia itu telah meningkatkan bahasa Inggris menjadi bahasa internasional dan bidang ekonomi serta perdagangan menjadi maju.
b)    Pemikiran Alfred Thayer Mahan (1840--1914)
A.T. Mahan, yang hidup pada awal Abad XX sebagai seorang Kepala Akademi Angkatan Laut Amerika Serikat, berwawasan luas dan modern berkat pengalamannya selama di angkatan laut. Dalam bukunya yang berjudul Influenceof The Sea Power Upon History (1660—1783) dijelaskan bahwa Amerika Serikat dapat menjadi negara adidaya dengan mengembangkan industri maritim modern yang akan menghasilkan armada dagang untuk melancarkan perdagangan Amerika Serikat ke seluruh dunia dan sekaligus membangun armada perang untuk melindunginya.
Menurut Mahan, yang berbeda dari Raleigh, Amerika Serikat tidak perlu menguasai seluruh samudera di dunia, tetapi cukup menguasai jalur-jalur laut vital (sea lines of communication) atau SLOC. SLOC itu terbentang antara Eropa Barat dan Amerika Serikat, Afrika--Amerika Serikat, Amerika Serikat--Asia Timur, Amerika Serikat–Australia lewat Asia Tenggara, dan jalur energi Amerika Serikat- -Timur Tengah, serta jalur Samudra Atlantik–Terusan Panama–Samudera Pasifik. Oleh karena itu, menurut Mahan, armada perang Amerika Serikat untuk membela kepentingan nasionalnya perlu dibagi berdasarkan SLOC vital tersebut, yaitu Armada I, II, III, IV, V, VI, dan VII. Sejarah dunia telah membuktikan betapa tajam pemikiran Mahan yang telah mengantar Amerika Serikat menjadi negara adidaya didunia.
c)    Pemikiran William Mitchell dan Giulio Douhet
Mereka berpendapat bahwa kekuatan udara harus dipisahkan dari kekuatan darat dan menjadi angkatan udara tersendiri. Sifat matra udara itusangat andal karena dapat menjangkau jarak yang jauh dan kecepatan sangat tinggi. Oleh karena itu, manajemen kekuatan udara harus dipisahkan dari kekuatan darat. Berkat perjuangan Mitchell, Angkatan Udara Amerika Serikat, dipisahkan dari angkatan daratnya pada tahun 1947, kemudian banyak diikutioleh angkatan perang negara lainnya (Douhet dengan buku The Command ofThe Air, Essay in the Art of Airial Wafare, Mitchell dengan buku Winged Defence )
d)    Pemikiran Alexander P. De Seversky
Menurut Seversky, kekuatan dan kekuasaan dunia kemudian hari akan sangat ditentukan oleh kekuatan pesawat pengebom angkatan udara negara masing-masing. Menurutnya, daerah Kutub Utara akan menjadi ajang pertempuran pesawat pengebom negara adidaya. Sekarang sudah menjadi kenyataan, bahkan lebih mengerikan lagi, bahwa daerah Kutub Utara menjadi jalan bagi roket-roket antarbenua yang dapat mengangkut hulu ledak nuklir berkendala ganda, yaitu delapan sampai enam belas buah (De Seversky dengan bukunya Air Power Key to Survival, 1950 )
e)    Pemikiran Bangsa Indonesia
Konsep penggunaan kekuatan nasional Indonesia dalam mempertahankan kedaulatan NKRI disesuaikan dengan pandangan geopolitik Indonesia yang disasarkan pada falsafah hidup Pancasila. Konsep itu merupakan suatu pandangan yang mengacu pada falsafah kemanusiaan, dalam hubungan antara manusia dan Tuhan, manusia dan manusia, serta manusia dan alam atau geografi.Pada hakikatnya manusia diciptakan oleh Tuhan di muka bumi, hidup dalam tiga dimensi ruang dalam wujud suatu wilayah daratan, lautan, dan dirgantara. Manusia pada kenyataannya hidup berkelompok dari suatu wilayah ke wilayah lain, sejalan dengan tingkat peradaban manusia dengan kebutuhan akan sumber daya alam, sampai terbentuknya suatu bangsa yang kemudian menetap dan menegara.
Tidak semua negara memiliki tiga dimensi ruang hidup dan hal ini yang membedakan pemanfaatan ruang hidup sesuai dengan kondisi geografisnya masing-masing. Kondisi semacam ini telah ikut mempengaruhi pemikiran manusia dalam mempertahankan hidup bersama, yang tercermin dalam berbagai wawasan. Dengan kata lain, wawasanyangterbentuk sangat dipengaruhi oleh suatu realita dari keadaan geografis yang memberikan ruang gerak dan ruang hidup bersama, bagi satu kelompok masyarakat yang membangsa dan menegara. Bagi suatu negara kepulauan seperti Indonesia, pernah terkembang berbagai wawasan, seperti adanya Wawasan Benua, Wawasan Bahari, ataupun Wawasan Dirgantara, terutama di kalangan Angkatan Bersenjata.

Melalui Sidang PBB di MontegoBay tentang Hukum Laut Internasional pada tahun 1982, pokok-pokok asal negara kepulauan diakui dan dicantumkan dalam UNCLOS 82 (United Nation on the Law of the Sea atau Konverensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hukum Laut). Indonesia meratifikasi UNCLOS 82, melalui UU No. 17 Tahun 1985 pada tanggal 31 Desember 1985. Setelah diratifikasi oleh 60 negara, materi UNCLOS 82 diberlakukan sebagai hukum positif sejak 16 November 1994. UNCLOS 82 berpengaruh terhadap upaya pemanfaatan laut bagi kepentingan kesejahteraan, seperti diakuinya Zone Ekonomi Eksklusif (ZEE) dan Landasan Kontinen Indonesia. Dari segi ini UNCLOS 82 memberikan keuntungan bagi pembangunan nasional, yaitu bertambah luasnya perairan yuridiksi nasional berikut kekayaan alam yang terkandung di laut dan dasar lautnya, serta terbukanya peluang untuk memanfaatkan laut sebagai media transportasi. Namun, dari segi lain potensi kerawanannya bertambah besar pula.
Di samping hal tersebut, berdasarkan pada UNCLOS 82, Indonesia tetap harus menghormati hak-hak negara lain wilayah negara kepulauan, seperti hak lintas damai dan lintas transit, hak lintas jalur kepanduan, hak penerbangan melintas, serta pencarian, dan penyelamatan (SAR). Penguasaan terhadap ruang dirgantara tidak semulus wilayah lautan karena berdasarkan perjanjian tahun 1967, yang menetapkan bahwa ruang antariksa merupakan wilayah bangsa, yang berarti dapat dimanfaatkan oleh setiap bangsa. Pemanfaatan ruang antariksa yang berbeda di atas wilayah suatu negara didasarkan pada prinsip siapa yang berada di sepanjang khatulistiwa, memiliki bentangan ruang antariksa yang sangat luas dan panjang. Ruang antariksa ini sangat bermanfaat untuk menempatkan satelit-satelit geostrationer dan dengan sendirinya sangat merugikan kepentingan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Ruang hidup bangsa Indonesia memiliki tiga demensi yang relatif sangat luas, dengan ribuan pulau yang tersebar sepanjang khatulistiwa. Untuk mempertahankan kedaulatannya, diperlukan suatu konsep penggunaan kekuatan yang disesuaikan dengan situasi, kondisi, dan konstelasi geografis, kemampuan pembangunan kekuatan nasional yang disesuaikan dengan perkembangan lingkungan, serta paham bangsa Indonesia tentang perang dan damai, untuk membangun kekuatan bersenjata yang mampu melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia. Dengan kemampuan sumber daya nasional yang dimiliki bangsa Indonesia, tampaknya tidak sesederhana yang kita pikirkan atau bayangkan.
Dalam pergaulan antarbangsa dan negara, pasti terdapat hubungan kepentingan yang tidak dapat dihindari, yang saling memerlukan. Oleh karena itu, penguasaan suatu wilayah atau negara (ruang hidup) oleh satu bangsa atau negara lain dengan penggunaaan kekuatan pasti akan diimbangi oleh kekuatan lain (negara lain) yang interes atau berbeda kepentingan. Setidak-tidaknya tidak membiarkan terjadinya penguasaan suatu wilayah, yang bangsa atau negara lain juga berkepentingan, seperti halnya yang terjadi pada masa pemerintahan Soekarno dalam merebut Irian Barat, yang mendapat bantuan persetujuan perang dari negara Uni Soviet. Sehubungan dengan ini, di dalam membangun dan menggunakan kekuatan nasional, bangsa Indonesia dituntut untuk lebih memahami dan mendalami pandangan geopolitik Indonesia.
Geopolitik yang dikembangkan oleh pemikir-pemikir Barat tentang hubungan antara manusia, negara, dan ruang hidup, yang menekankan pada negara sebagai organisme hidup (entitas biologis), telah memicu pemikiran Bung Karno tentang pandangan geopolitik Indonesia di dalam merebut, mempertahankan, dan mengisi kemerdekaan. Bung Karno menekankan bahwa setiap manusia tidak dapat dipisahkan dari tempat tinggalnya atau rakyat tidak dapat dipisahkan dari bumi tempat mereka berpijak untuk menjadikan suatu bangsa menjadi besar. Menurut ilmu geopolitik, terdapat tiga faktor yang harus diketahui dan dipahami, yaitu sejarah lahirnya suatu negara, bangsa dan tanah air sendiri, serta cita-cita dan ideologi yang diyakini sebagai suatu kebenaran dalam hidup serta kelangsungan hidup negara dan bangsa.

Pandangan Geopolitik
1)    Tinjauan Kesejarahan
a)    Sebelum Bangsa Indonesia Menegara
Kekuasaan Kedatuan Sriwijaya, yang berlangsung kurang lebih enam abad, mewariskan salah satu unsur pemersatu bangsa, yaitu bahasa dan kebudayaan Melayu. Pada puncak kejayaannya, pengaruhnya meliputi sebagian besar wilayah Indonesia yang sekarang ini, bahkan juga meliputi beberapa daratan Asia. Kerajaan (kedatuan) ini pernah menjadi sebuah pusat untuk mempelajari ajaran Budha (Donald Wilhelm, 1980). Sekitar enam abad Sriwijaya menguasai Selat Malaka dan Selat Sunda yang merupakan pintu utama penghubung kepulauan Nusantara dengan lautan Hindia (EncyclopediaAmericana, Volume 15, 1994).
Kondisi tersebut memungkinkan meluasnya penggunaan bahasa Melayu di wilayah Nusantara ini sehinggaterjadi persentuhan budaya Melayu di wilayah Nusantara ini dengan berbagai budaya lokal yang ada pada berbagai kawasan kepulauan Nusantara. Persentuhan budaya tersebut berlangsung pada waktu yang lamasehingga munculah ciri-ciri kehidupan khas pada masyarakat di wilayah Nusantara, yaitu suatu identitas Nusantara.
Surutnya kekuasaan Sriwijaya tidak menghilangkan identitas Nusantara karena, setelah itu, muncul kekuasaan terpusat baru, yaitu Kerajaan Majapahit. Majapahit berhasil mempersatukan sebagian besar wilayah kepulauan ini kendati kurun waktunya lebih singkat daripada pendahulunya. Kerajaan ini merupakan suatu perpaduan antara tradisi-tradisi Budha dan Hindu, yang antara lain, telah memberikan vitalitas di bidang kesenian (Donald Wilhelm, 1980).
Meskipun berlangsung hanya sekitar tiga abad, pengaruhnya cukup besar berkat langkah-langkah agresif yang diambil oleh pusat kekuasaan Majapahit. Hal initercermin dalam Sumpah Palapa Mahapatih Gajah Mada, yang berbunyi, "...Jika telah berhasil menundukkan Nusantara, saya baru akan istirahat. Jika Gurun, Seram, Tanjung Pura, Haru, Pahang, Dompo, Bali, Sunda, Palembang, Tumasik telah tunduk, saya baru akan istirahat." (Ensiklopedia NasionalIndonesia). Sebagai dampak kebijaksanaan tersebut, interaksi antarmasyarakat bangsa di wilayah Nusantara semakin intensif dalam semua aspek kehidupan.
Setelah Majapahit runtuh, tidak ada lagi kekuasaan tradisional yang kuat dan terpusat di wilayah Nusantara. Namun, yang muncul ialah kekuasaanpenjajah dari Eropa, terutama Belanda. Kekuasaan ini sejak dini telah mendapat perlawanan, tetapi tetap ada dan tumbuh kuat. Perlawanan terhadap penjajah telah dilakukan sejak awal kedatangan para pedagang Belanda, kemudian diteruskan pada masa VOC dan juga pada masa selanjutnya, yaitu pada masa Hindia Belanda. Kedatangan Cornelis de Houtman tahun 1596 berakhir dengan penguasa-penguasa pribumi di Banten. Perlawanan-perlawanan yang kemudian bersifat peperangan dapat ditelaah sepanjang sejarah VOC yang dilanjutkan oleh pemerintahan Hindia Belanda (Ensiklopedia Umum, 1977). Meskipun demikian, berlangsungnyapenjajahan selama tiga abad yang sangat menyakitkan itu ternyata ada sumbangannya bagi terbentuknya persatuan dan kesatuan masyarakat bangsa di wilayah Nusantara ini. Untuk kepentingan kekuasaannya, penjajah menyatukan seluruh Nusantara ke dalam satu administrasi pemerintah kolonial, menurut isi pengakuan kedaulatan oleh Belanda tahun 1949, yang sekarang menjadi wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Kondisi tersebut memungkinkan terjadinya interaksi antartokoh masyarakat atau antarpemuda dari berbagai daerah, yang lambat laun menumbuhkan kesadaran akan nasib yang sama dan kesadaran untuk menciptakan kehidupan yang lebih baik. Akhirnya, terjadilah kasepakatan untuk melakukan perlawanan bersama, tidak seperti pada waktu-waktu yang lalu dilakukan secara sendiri-sendiri. Di samping itu, pemakaian bahasa Melayu di kawasan Hindia Belanda semakin intensif semenjak pemerintah Belanda pada pertengahan Abad XIX menetapkan bahwa bahasa Melayu menjadi bahasa pengantar di sekolah-sekolah Melayu, untuk memperoleh tenaga-tenagaadministrasi dalam pemerintahan. Kemudian, atas desakan anggota-anggota Volksraad bangsa Indonesia (pribumi), pada tanggal 25 Juni 1918, RatuKerajaan Belanda menyetujui penggunaan bahasa Melayu di samping bahasa Belanda di Lembaga Dewan Rakyat (J.S. Badudu, 1992).
Politik pecah-belah (devide et impera) yang digunakan penjajah berhasil mempertahankan kekuasaannya, tetapi politik etik (etische politiek) yang diterapkan Belanda menyuburkan perlawanan terhadap kekuasaannya. Pelaksanaan politik etik berupa peningkatan kesejahteraan di tanah jajahan dengan membuka peluang mengikuti pendidikan bagi pemuda-pemudi pribumimenyebabkan lebih banyak orang pribumi terpelajar. Dengan mengirimkan lebih banyak pemuda-pemudi pribumi untuk belajar di negeri Belanda, mereka selain memperoleh keahlian profesional juga pikiran-pikiran Barat, yaitu kebebasan, individualisme, liberalisme, dan Marxisme (Donald Wilhelm, 1981). Dari mereka itulah lahir pelopor-pelopor pergerakan yang menyemaikan pemikiran pada kalangan masyarakat luas tentang kebangsaan dan kemerdekaan.
Konsep kebangsaan dan kemerdekaan tersebut diaktualisasikan ke dalam berbagai gerakan di seluruh Nusantara dan juga di negeri Belanda.
Meskipun demikian, gerakan-gerakan kebangsaan yang terorganisasi barulah mulai terbentuk pada bagian awal Abad XX (Donald Wilhelm, 1981). Contohnya adalah Budi Utomo (1908), Syarikat Islam (1911), Jong Java (1915), Jong Sumatra Bond (1917), Jong Minahasa (1918), Jong Ambon, Jong Celebes, Perkumpulan Madura, Perkumpulan Timor, dan Perhimpunan Indonesia di Belanda (1908). Selain itu, terdapat pula perkumpulan campuran pribumi dan nonpribumi yang sama-sama menginginkan kemerdekaan, antara lain, Insulinde(1907), Indische Partij (1911), Indische Sociaal Democratische Vereeniging(1914), Indische Sociaal Democratische Partij (1917).
Setelah melalui gelombang pasang surut kegiatannya, berbagai pergerakan kebangsaan tersebut, akhirnya, membulatkan tekadnya untuk bersatu dalam mewujudkan cita-cita Indonesia merdeka. Hal itu diikrarkan pada tanggal 28 Oktober 1928, dengan mengatakan,“bertumpah darah yang satu (tanah Indonesia), berbangsa yang satu (bangsa Indonesia) dan menjunjung bahasa persatuan, yaitu bahasa Indonesia.“ Pada saat itu lahirlah bangsa yang baru yang terdiri dari berbagai suku bangsa dan beranekaragam suku dan agama, budaya dan ras serta berasal dari daerah-daerah yang tersebar pada ribuan pulau di seluruh wilayah Nusantara, yang menamakan dirinya bangsaIndonesia.
Peristiwa tersebut dapat disejajarkan dengan peristiwa besar yang lain, yaitu pendaratan manusia di bulan (1969) dan keberhasilan manusia dalam melakukan "cloning" pada hewan (1997) karena sama-sama sangat ganjil dan melawan hukum alam. Dalam hal ini, harian Kompas (24 April 1998) memberikan komentar, ”bagi sosiolog, peristiwa itu sangat ganjil. Bagaimanamungkin, 300 kelompok homosapiens yang memiliki 200 variasi bahasa, danmenghuni 6.000 pulau yang dipisahkan laut, mampu menyebut dirinya satubangsa, satu tanah air, dan satu bahasa?" Bagi bangsa Indonesia, Sumpah Pemuda menjadi pendorong dan pemberi semangat untuk bersatu dan memperbaiki nasib dengan jalan merebut kemerdekaan dari penjajah. Akhirnya, kemerdekaan dapat diwujudkan setelah perjuangan selama 17 tahun, yaitu sejak 1928 sampai dengan tanggal 17 Agustus 1945.

b)    Setelah Bangsa Indonesia Menegara
Berdirinya Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) belum menjamin terwujudnya persatuan dan kesatuan secara nyata di bumi Nusantara. Segera setelah kemerdekaan dapat diraih dan negara dapat didirikan, NKRI menghadapi berbagai rongrongan langsung terhadap integritas bangsa dan negara. Di antara rongrongan terbesar adalah gerakan yang bermotifkan ideologi, seperti pemberontakan DI/TII Jawa Barat, 1947; PKI Madiun, 1948; Sulawesi Selatan, 1948; Aceh, 1952. Pada tahun 1958--1961 gerakan
bersenjata yang bermotifkan separatis kedaerahan, antara lain RMS, PRRI, dan Permesta. Beberapa gerakan tersebut mendapat dukungan asing berupa alat perang yang dipasok melalui jalur laut internasional atau laut bebas di wilayah NKRI, yaitu di laut pedalaman.
Jalur laut pedalaman tersebut juga dimanfaatkan oleh kekuatan laut Belanda untuk memprovokasi NKRI yang sedang berupaya mengembalikan Irian Barat yang masih dikuasai oleh Belanda. Hingga saat itu status laut pedalaman tersebut merupakan masalah yang sangat pelik bagi NKRI, dalam upaya mempertahankan wilayah nasional. Dalam keadaan yang sangat kritis tersebut,timbul gagasan cemerlang, yaitu memberlakukan prinsip negara kepulauan bagi wilayah NKRI. Sebagai perwujudan, pada tanggal 13 Desember 1957 dikeluarkan pernyataan yang dikenal dengan sebutan Deklarasi Djuanda.
Dengan memberlakukan prinsip negara kepulauan, di laut pedalaman yang semula berlaku rezim laut bebas, setelah Deklarasi Djuanda rezim tersebut tidak
berlaku lagi karena menjadi laut yang berada di kedaulatan NKRI. Sehubungan dengan perkembangan tersebut, kesatuan wilayah yang utuh menyeluruh telah terwujud dan menjadi landasan yang kokoh dalam memantapkan persatuan dan kesatuan bangsa.
Peristiwa G-30-S/PKI (30 September 1965) membawa NKRI ke tepi jurang kehancuran sehingga banyak perhatian yang harus diberikan untuk mempertahankan persatuan dan kesatuan bangsa serta kesatuan wilayah pada waktu itu. Di tengah-tengah upaya pemulihan ketertiban dan keamanan nasional, Seminar Hankam (1967) berhasil merumuskan suatu wawasan pertahanan keamanan nasional dalam upaya mengintegrasikan semua komponen kekuatan nasional. Di antara rumusan yang dihasilkan itu, terdapat konsep yang mengalir dari pandangan geopolitik, yaitu memanfaatkan konstelasi geografi Indonesia dalam mencapai aspirasi bangsa dan tujuan negara Indonesia, dengan menyerasikan wawasan bahari, wawasan dirgantara,dan wawasan benua (yang semula berdiri secara sendiri-sendiri). Konsep tersebut dinamakan Wawasan Nusantara.


Kebutuhan Indonesia untuk memperoleh energi saat ini sangat tinggi di tengah dinamika penduduk yang semakin modern dan semakin kompleks. Salah satu sumber energi yang sangat dibutuhkan adalah minyak bumi, dikarenakan masih banyak mobilitas yang tergantung pada minyak bumi ini terutama kendaraan bermotor. Maka kebutuhan dan fluktuasi harga serta pasokan minyak bumi ini sangat mempengaruhi ekonomi Indonesia.
Pada zamannya, Indonesia merupakan salah satu exportir minyak bumi namun kondisi tersebut sekarang telah berbanding terbalik dengan berubahnya status Indonesia menjadi net oil imported.Hingga saat ini pemerintah Indonesia masih menerapkan “subsidi bbm (bahan bakar minyak)” yang notabene sangat membebani APBN kita di tengah status Indonesia sebagai negara net oil imported. Dampak dari status net oil imported. terhadap APBN antara lain[10]:
a)    Pengaruh harga minyak dalam percaturan energi global
b)    Arus keuangan
c)    Berkompetisi dengan negara-negara lain untuk mendapatkan akses ke sumber-sumber produksi minyak sehingga menimbulkan harga tak terkendali
d)    Hasil penjualan minyak tidak dapat diandalkan untuk memperoleh cadangan devisa untuk membiayai pembangunan.
Istilah net imported oil sebenarnya berarti bukan minyaknya yang habis tetapi tingkat produksinya sudah tidak dapat mengimbangi tingkat konsumsi masyarakatnya. Indonesia dapat dikatakan sudah tidak self suffiency dalam hal energi (minyak mentah). Hal ini disebabkan tingkat laju pertumbuhan penduduk Indonesia dan perilaku masyarakat dalam hal penggunaan energi.
Dengan menjadi net oil imported, maka Indonesia memasuki geopolitik energy global competition sama halnya dengan negara-negara yang tergantung energinya pada negara-negara Timur Tengah seperti Jepang, Singapura, Korea Selatan, Taiwan dan negara lainnya.
Sebagai negara net oil imported, Indonesia sudah seharusnya melakukan monitoring secara komprehensif perkembagan geopolitik negara-negara produsen minyak. Faktor geopolitik pada negara-negara penghasil  minyak inilah yang jauh lebih dominan daripada hukum fundamental ekonomi permintaan dan penawaran dalam menentukan harga minyak mentah di pasaran internasional (Purbo, 2004).
Faktor instabilitas politik dalam negeri juga berpengaruh pada para trader untuk berspekulasi di pasar oil trading sehingga mengarah ke tingginya harga minyak.
Berdasarkan data statistik minyak bumi (sumber Ditjen Migas dan data diolah Pusdatin) pada tahun 2010, total produksi minyak bumi Indonesia sebesar 344.888.000 barel dan tingkat konsumsi BBM tahun sebesar 388.341.000 barel atau terdapat kekurangan kebutuhan minyak bumi sebesar 43.453.000 barel. Kekurangan kebutuhan minyak bumi inilah yang kemudian harus diimpor dari negara lainnya. Yang pada akhirnya pemerintah mau tidak mau harus melakukan impor tersebut dengan harga yang telah dipatok untuk harga minyak dunia.
Seiring meningkatnya volume impor minyak bumi, harga minyak bumi di pasaran internasional pun semakin hari semakin merangkak naik mengikuti gejolak pasar dunia. Hal ini juga dipicu dengan adanya konflik-konflik yang terjadi di negara-negara penghasil minyak bumi yang mengakibatkan negara tersebut tidak dapat melakukan kegiatan eksplorasi minyak bumi yang mengakibatkan kelangkaan minyak bumi. Sebagai contoh pada saat konflik Suriah dan Libia, pasokan minyak bumi sempat mengalami gangguan dan mengakibatkan harga minyak bumi naik.
Berdasarkan ulasan Kwik Kian Gie yang pada saat itu menjabat sebagai Menteri Perencanaan Pembangunan/Kepala Bappenas mengenai penghapusan subsidi BBM, Kwik meluruskan mengenai maksud kata “subsidi” BBM dalam hal penyediaan BBM oleh Pertamina yang ditugasi oleh pemerintah. Subsidi berarti sumbangan dalam bentuk uang tunai agar sekolah atau rumah sakit (sebagai contoh) yang bersangkutan dapat menutup semua pengeluarannya yang lebih besar dari penerimaan. Dalam hal BBM, subsidi bukan berarti uang keluar. Karena itu istilah subsidi seharusnya diganti dengan istilah selisih antara harga internasional dengan harga yang ditetapkan/dipaksakan oleh pemerintah untuk diberlakukan kepada bangsanya sendiri.
Lebih lanjut, Kwik menjelaskan bahwa Pemerintah Indonesia memberikan penugasan kepada Pertamina untuk mengadakan/menyediakan BBM dengan harga konsumen yang ditentukan oleh pemerintah pula. Karena Pertamina diberikan hak monopoli oleh pemerintah untuk mengadakan BBM. Maka pasarnya berbentuk monopoli, harga tidak ditentukan oleh mekanisme pasar pada titik perpaduan antara kurva permintaan dan penawaran. Di Indonesia tidak ada kompetisi dalam hal penyediaan minyak, apalagi perfect competition.
Selama ini kita memiliki sudut pandang dan pemikiran yang keliru mengenai arti subsidi BBM ini dan menjadi gerah ketika harga minyak dunia terus merangkak naik hingga pemerintah panik dikarenakan takut jebolnya APBN untuk membiayai BBM dengan harga minyak dunia yang akhirnya terdapat wacana untuk menaikkan harga BBM. Sebenarnya berapa pun harga internasional akan meningkat, pemerintah sebagai administrator rakyat tetap saja memperoleh surplus dari BBM. Subsidi BBM yang dilakukan oleh pemerintah Indonesia ini bersifat opportunity loss bukan real out of pocket money. Sehingga tidak benar kalau kenaikan harga minyak di pasar internasional membuat keuangan pemerintah Indonesia jebol sehingga subsidi harus dicabut.
Geopolitik perminyakan di Indonesia ini terdiri dari geopolitik dari internal dan eksternal. Geopolitik internal telah diuraikan di atas yaitu Pertamina sebagai contoh yang merupakan alat pemerintah Indonesia untuk menguasai perminyakan di Indonesia. Sedangkan geopolitik dari eksternal yaitu masuknya perusahaan-perusahaan tambang asing yang mengeksplorasi minyak bumi di Indonesia dan membawa hasil eksplorasi tersebut untuk menjadi energi atau cadangan energi di negara asal mereka.
Minyak menjadi sangat strategis dimulai sejak sekitar tahun 1882 sewaktu Admiral Lord Fisher dari Inggris membuat pengumuman agar mengubah sistem pembakaran mesin-mesin di kapal perang dari yang menggunakan bahan bakar batu bara digantikan dengan menggunakan bahan bakar minyak.[11] Menurut penilaiannya, ada beberapa pertimbangan yang sangat strategis dengan menggunakan bahan bakar minyak seperti halnya tidak mengeluarkan asap yang dapat meninggalkan jejak seperti menggunakan batu bara sehingga dapat terlihat dari jakar kejauhan sampai 10km, batubara memerlukan waktu 4-9 jam untuk mencapai tingkat puncak kekuatan mesin, sedangkan dengan minyak hanya memakan waktu 30 menit, dan berbagai keuntungan penggunaan minyak lainnya dibanding dengan penggunaan bahan bakar batu bara.
Dalam tulisannya, Purbo berpendapat bahwa minyak sebagai simbol kekuatan bangsa. Hal ini tergambar dari negara Amerika Serikat yang menjadi kekuatan utama dunia karena dimilikinya basis mineral dan kekuatan industri yang luar biasa besar dan tersebar di seluruh dunia, serta mempunyai industri sipil dan militer yang terintegrasi untuk mendukung perang modern.




BAB III. PENUTUP
Kesimpulan
Pemahaman terhadap lingkungan strategik suatu negara perlu dilakukan untuk menjelaskan bagaimana lingkungan strategik dan ancaman yang dihasilkan yang berpengaruh kepada keamanan nasional. Lingkungan strategik ini terdiri dari lingkungan global, regional dan nasional.
Lingkungan stratejik “defence planning” penting untuk menentukan apa yang akan terjadi dan apa yang akan dilakukan di masa lima atau sepuluh tahun yang akan datang dengan melakukan analisis-analisis atas lingkungan strategik terkait dengan kelebihan-kelebihan dan kelemahan serta melakukan kajian-kajian ulang. Walaupun apa yang akan terjadi tersebut merupakan “ketidakpastian”, yaitu gagal atau berhasil dilakukan, namun berdasarkan usaha-usaha perencanaan dan kajian ulang tersebut diharapkan mampu mendekati tingkat keberhasilan.
Pemerintah dan rakyat memerlukan suatu konsepsi berupa wawasan nusantara untuk menyelenggarakan kehidupannya. Wawasan ini dimaksudkan untuk menjamin kelangsungan hidup, keutuhan wilayah serta jati diri bangsa. Dalam hal ini pejabat pemerintah daerah sebagai pengemban amanat rakyat harus dapat memahami dan menghayati kekuatan positif dan multikulturalisme dalam rangka memperjuangkan kesejahteraan rakyat, sedangkan rakyat harus mendukung upaya pemerintah tersebut dengan ikut aktif mempertahankan NKRI baik dari sisi keamanan maupun dari segi lainnya.
Geopolitik tersebut dapat dipahami sebagai kepentingan suatu negara untuk memperluas kekuasaan dan wilayah dalam rangka memperoleh sumber daya yang dibutuhkan dengan mempergunakan strategi-strategi penguasaan ruang dan wilayah untuk memperolehnya.
Geopolitik secara teori dapat dijabarkan sebagai Teori Universal Geopolitik: Geopolitik sebagai suatu ilmu, Teori Ruang Hidup, Konsep Penguasaan Ruang Hidup) dan berbagai tinjauan: Kesejarahan, Kebudayaan, Kefilsafatan, Kewilayahan dan Perkembangan Geopolitik.
Indonesia dihubungkan dengan Geopolitik Oil ini terjadi ketika pemerintah Indonesia memberikan kebijakan “subsidi” BBM dan semakin tingginya harga minyak dunia di tengah status bangsa yang berubah dari exportir menjadi importir minyak.Sebagai negara net oil imported, Indonesia sudah seharusnya melakukan monitoring secara komprehensif perkembagan geopolitik negara-negara produsen minyak. Faktor geopolitik pada negara-negara penghasil  minyak inilah yang jauh lebih dominan daripada hukum fundamental ekonomi permintaan dan penawaran dalam menentukan harga minyak mentah di pasaran internasional

Saran
Geopolitik oil di Indonesia tidak hanya terkait dengan subsidi BBM oleh pemerintah dan pemberian hak monopoli pengelolaan minyak ke Pertamina, namun juga pemberian hak eksplorasi tambang minyak kepada perusahaan asing, ijin SPBU perusahaan asing. Penelitian dan kajian lebih lanjut mengenai geopolitik oil dan lingkungan stratejik terkait eksplorasi tambang minyak dan ijin SPBU kepada perusahaan asing perlu dilakukan untuk memberikan gambaran yang lebih luas mengenai geopolitik oil di Indonesia.

DAFTAR PUSTAKA
Antariksa, Yani; 2013; Pemahaman Perkiraan Strategik Nasional (Kirstranas) Tahun 2014 Dalam Mendukung Pembangunan Nasional; http://antariksa2010.blogspot.com/2013/09/pemahaman-perkiraan-strategik-nasional.html
Direktorat Jenderal Strategi Pertahanan Direktorat Analisa Lingkungan Strategis; 2008, Perkembangan Lingkungan Strategis Dan Prediksi Ancaman Tahun 2008
Purbo, Dirgo; 2012; Geopolitik Merupakan Landasan Utama Bagi Diplomasi Kepentingan Nasional Republik Indonesia Abad 21; Jurnal CSICI Vo VI no 36 tahun 2012
Purbo, Dirgo; 2012; Geopolitik Merupakan Landasan Utama Bagi Diplomasi Kepentingan Nasional Republik Indonesia Abad 21; Jurnal CSICI Vo VI no 36 tahun 2012
Purbo, Dirgo; 2004; Harian Suara Pembaharuan, 3 Desember 2004
Purbo, Dirgo; Pengamanan Sumber Energi untuk Kepentingan Nasional Indonesia
Ryacudu, Ryamizard; 2008; Memantapkan Wawasan Kebangsaan dalam Menghadapi Perkembangan Global dan Disintegrasi Bangsa
Yusa, Fatrakhul; 2012; Geopolitik Imperialis: Panorama Era Klasik
Soepandji, Susilo, Budi; Lemhanas RI Newsletter edisi 44,;Maret 2013
Modul Lemhanas 04, 2013, Wawasan Nusantara
Modul Lemhanas 03, 2013, Geopolitik Indonesia


[1] Purbo, Dirgo; 2012; Geopolitik Merupakan Landasan Utama Bagi Diplomasi Kepentingan Nasional Republik Indonesia Abad 21; Jurnal CSICI Vo VI no 36 tahun 2012
[2]Prof Dr Ir Budi Susilo Soepandji, DEA, Lemhanas RI Newsletter edisi 44, Maret 2013
[3]Ryacudu, Ryamizard; 2008; Memantapkan Wawasan Kebangsaan dalam Menghadapi Perkembangan Global dan Disintegrasi Bangsa
[4]Direktorat Jenderal Strategi Pertahanan Direktorat Analisa Lingkungan Strategis; 2008, Perkembangan Lingkungan Strategis Dan Prediksi Ancaman Tahun 2008
[5]Antariksa, Yani; 2013; Pemahaman Perkiraan Strategik Nasional (Kirstranas) Tahun 2014 Dalam Mendukung Pembangunan Nasional; http://antariksa2010.blogspot.com/2013/09/pemahaman-perkiraan-strategik-nasional.html
[6]Modul Lemhanas 04, 2013,Wawasan Nusantara
[7]Purbo, Dirgo; 2012; Geopolitik Merupakan Landasan Utama Bagi Diplomasi Kepentingan Nasional Republik Indonesia Abad 21; Jurnal CSICI Vo VI no 36 tahun 2012
[8]Yusa, Fatrakhul; 2012; Geopolitik Imperialis: Panorama Era Klasik; http://fatrakhulyusa-fisip09.web.unair.ac.id/artikel_detail-42878-Geopolitik%20dan%20Geostrategi-Geopolitik%20Imperialis:%20Panorama%20Era%20Klasik.html
[9]Modul Lemhanas 03, 2013, Geopolitik Indonesia
[10]Purbo, Dirgo; 2004; Harian Suara Pembaharuan, 3 Desember 2004
[11]Purbo, Dirgo, D; Pengamanan Sumber Energi untuk Kepentingan Nasional Indonesia
antariksayani10@gmail.com