SEKRETARIAT
JENDERAL
DEWAN
KETAHANAN NASIONAL
____________________________________
|
|
LESSON LEARNED
RANGKAIAN
WORKSHOP DAN CONFFERENCE CYBER SPACE NEGARA ASEAN SERTA DAMPAKNYA BAGI INDONESIA[1]
“The internet is fast, whereas criminal law
systems are slow and formal. The internet offers anonymity, whereas criminal
law systems require identification of perpetrators…The internet is global,
whereas criminal law systems are generally limited to a specific territory.
Effective prosecution with national remedies is all but impossible in a global
space.” [Sieber, 2004][2]
PENDAHULUAN
1.
Latar Belakang
tion communication and technology) / ICT mengalami kemajuan yang demikian pesat dan cepat, dan di luar dugaan. Melalui
perkembangan dan pemanfaatan teknologi informasi dan komunikasi seperti
internet dan peralatan komunikasi lainnya, manusia dapat mengetahui apa yang
terjadi di belahan dunia manapun dalam
hitungan detik, dapat berkomunikasi dan mengenal orang dari segala penjuru dunia tanpa harus berjalan jauh dan
bertatap muka secara langsung. Di era 90 an semenjak perkembangan teknologi
informasi menjadi sangat pesat, muncul adagium barang siapa menguasai informasi, menguasai dunia. Inilah yang mendorong negara adi daya untuk berlomba - lomba memasuki
medan peperangan yang baru yaitu perang informasi terutama dengan memanfaatkan
media masa dan jaringan informasi global. Hal ini dapat dibuktikan dengan
kejatuhan pemerintahan seperti Haiti dan Uni Soviet, yang tidak terlepas dari
perang informasi global tersebut. Realitas
menunjukkan bahwa Peralatan
ICT disamping memberi manfaat bagi kemaslahatan masyarakat, di sisi lain juga
memiliki potensi untuk digunakan sebagai alat melakukan kejahatan. Kejahatan
yang dilakukan menggunakan teknologi informasi dan komunikasi dapat terjadi
pada kejahatan biasa maupun yang secara khusus menargetkan kepada sesama infra
struktur teknologi informasi dan komunikasi sebagai korbannya. Pelakunyapun dapat berupa aktor negara maupun
non negara. Dampak
dari kejahatan yang muncul dari penggunaan teknologi, informasi dan komunikasi
secara negatif dapat menyebabkan ancaman dan permasalahan terhadap aspek
kehidupan masyarakat secara nasional dan
transnasional.
Dalam dunia bisnis, pemerintahan termasuk pertahanan
dan keamanan hampir semuanya menggunakan sarana internet, komputer untuk
menjalankan aktifitasnya. Internet secara total merubah kecepatan dalam
melaksanakan bisnis. Hal ini menunjukkan bahwa kreasi virtual telah menjadi
bagian integral dalam menjalankan aktifitas sesuai fungsi masing masing dalam
kegiatan dunia yang nyata. Na`mun
demikian pemberdayaan teknologi yang telah diciptakan dan dibangun juga
memperkuat bagi yang kurang bertanggung jawab untuk menganggu dan
menghancurkannya. Hasil sutdy Symantec
State of Enterprise Security menunjukkan
bahwa beberapa tahun ini tiga dari empat
aktifitas dunia bisnis mengalami serangan cyber (Cyber attacks ). Dimana mana
pemerintah dan businesman disibukkan
untuk meng countered Cyber attacks ,
antara lain Singapura dan Indonesia, China, USA dan masih banyak negara lainnya. Cyber
attacks hanya memerlukan modal yang
kecil atau sedikit manpower, tetapi kerusakan yang ditimbulkannya dapat terjadi
sedemikan besarnya[3]. Sebagai
contoh insiden Sasser Worm pada tahun
2004 cyber attack oleh seorang siswa warga negara Jerman yang berumur 18 tahun,
mampu menganggu dan merusak lebih dari lebih dari sejuta jaringan komputer
komputer dunia, yang menyebabkan kerugian lebih dari 15 juta US $. Insiden ini menunjukkan bahwa serangan cyber dapat dilakukan hanya oleh satu orang atau
grup kecil dapat menyebabkan dampak kerusakan jaringan yang begitu besar. Dengan analogi yang sama bagai mana kerugian
tersebut diderita oleh Singapura atau perbankan Indonesia bila serangan itu
terjadi, demikian pula untuk transaksi bisnis lainnya yang sudah on line. Dari sini dapat diketahui betapa pentingnya
keamanan jaringan komunikasi (Info-Comm Security ). Demikian
juga pentingnya keamanan terhadap cyber
terorism dan cyber criminal.
Merujuk pada latar belakang diatas maka
tepatlah kiranya bila negara negara regional Asia Pacifik bekerja sama untuk
menanggulang kejhatan ICT. Dalam rangka
meningkatkan kerjasama dan membangun hubungan rasa saling percaya (Confidence Building Measure/CBM), baru baru ini Asia-Pacific
Center for Security Studies (APCSS) bekerjasama dengan Universitas Pertahanan
Singapura mengundang para alumni APCSS khususnya
anggota yang berasal dari negara ASEAN, beserta
para pakar, akademisi, praktisi untuk melaksanakan Workshop “Cyberia: Identity, Cyberspace &
National Security”, dilanjutkan dengan konferensi yang melibatkan praktisi
dan swasta mengenai “Cybersecurity &
Cyberterrorism”, selama empat hari, dari tanggal 20 s/d 24 Agustus 2012. Peserta Workshop terdiri dari 50 peserta (termasuk penyelenggara
APCSS Amerika dan
Singapura), berasal dari lima negara Anggota ASEAN yaitu Indonesia,
Singapura, Malaysia, Thailand, Philipina. Peserta
Confference terdiri 150 peserta, terdiri dari alumni APCSS, birokrat,
praktisi, akademisi dan swasta. Bagi Unhan
Singapura konferensi ini dilakukan sudah yang keenam kalinya, dan membawa
kemajuan awareness terhadap utamanya terhadap Cybersecurity.
Kegiatan APCSS di luar negeri (outreach) untuk tahun ini dilaksanakan di lima negara yaitu
Singapura, Indonesia, Australia, Maldive dan Pakistan. Indonesia
sebagai bagian dari anggota ASEAN, telah mengirimkan 5 personil
alumni APCSS dari Setjen Wantannas, BAIS, BIN, POLRI untuk mengikuti workshop
dan confference tersebut. Diharapkan kegiatan dimaksud dapat meningkatkan kemampuan
berpikir yang berhubungan dengan isu keamanan, memberikan kesempatan untuk
tukar menukar pengalaman, dialog membangun kesamaan pandang dan kapasitas ASEAN
khususnya dalam merespon kontijensi, dan memperkuat networking, antar personel,
kerjasama inter dan intrastate dalam menangani “Identity, Cyberspace & National Security, Cybersecurity & Cyberterrorism”, guna memberikan
kontribusi khususnya dalam meningkatkan kapasitas Kementrian/
Lembaga (K/L), yang mampu merumuskan rekomendasi yang operable, tepat sasaran, dan tepat waktu
kepada pimpinan negara. Hasil seminar
workshop dan konferensi menunjukkan bahwa masih terjadi gap pengetahuan
mengenai Identity, Cyberspace & National Security, Cybersecurity & Cyberterrorism penanggulangan serta prosedur dan hukum dimasing
negara negara kawasan.
PEMBAHASAN
2.
Perkembangan Cyber Space
Cyberspace merupakan
istilah baru dimana pemahaman dan perkembangan
nya disuatu negara dan negara lainnya berbeda, termasuk di kawasan Asia
Pasifik. Cyberspace, berakar dari kata latin Kubernan yang artinya
menguasai atau menjangkau. Sedangkan kata Cyberspace pertama kali digunakan
oleh William Gibson dalam novel fantasi ilmiahnya Neuromancer yang
terbit pada tahun 1984, dimana digambarkan Meatspace dan Cyberspace
sperti koin uang logam. Meatspace
sebagai dunia nyata dan Cyberspace sebagai dunia maya sehingga keduanya tidak
bisa dipisahkan. Kata ini sendiri dipopulerkan oleh Bruce Sterling dan John
Perry Barlow. Cyberspace secara de
facto diangggap sebagai jejaring Internet, kemudian World Wide Web.
Sehingga saat ini kita berasumsi Cyberspace sama dengan internet. Perkembangan
cyberspace sangat pesat, dimana penggunaannya telah
berkembang ke hal
positif dan negatif yang dapat mempengaruhi kebijakan suatu negara dalam
menangani keamanan nasionalnya.
Dalam 5 tahun
terakhir 2007 s/d 2012 Asia menjadi tempat pertumbuhan pengguna internet yang
paling pesat dan paling banyak (53%) populasi internet dunia berasal dari Asia,
dengan pertambahan pengguna internet dari 415 miilion menjadi 1,1 billion dalam 5 tahun[4].
3.
Peningkatan Ancaman Cyber
Kebutuhan untuk menanggapi tantangan
keamanan dapat dilihat dari
meningkatnya pengguna
jaringan di Asia
Timur yang
mendapatkan
serangan cyber. Di Jepang misalnya,
laporan kejahatan cyber pada tahun
2005 meningkat 52 persen (untuk 3.161 insiden dilaporkan) dari tahun
sebelumnya. Tren serupa juga bisa dilihat di Korea Selatan di mana, pada tahun
2002, jumlah kasus kriminal berbasis internet meningkat menjadi 60.000 naik
dari 121 pada tahun 1997. Pada tahun 2006 telah meningkat menjadi 70.545 kasus,
dengan penipuan identitas dan hacking menjadi dua jenis kejahatan yang
paling umum. Meskipun kemajuannya mengalami lompatan yang tidak dapat
diragukan lagi, namun
demikian walaupun sudah ada undang undang dimasing masing negara regional,
kejahatan cyber tetap meningkat, di
regional serta ekstra yurisdiksi.
Statistik kejahatan
dunia maya tersebut masih belum maksimal, karena apa yang dilaporkan tidak
sesuai dengan jumlah kejahatan didunia maya dan masih adanya variasi definisi kejahatan dunia
maya, serta
keengganan pihak swasta, perusahaan untuk mengungkapkannya.
Selain
peningkatan jumlah ancaman cyber, sifat ancaman juga berubah, kelompok maya (virtual) menjadi lebih canggih dalam struktur serangan mereka. Umumnya berkisar pada jenis
penipuan
yang menggunakan situs web,
ponsel untuk mencuri nomor kartu kredit dan pencurian identitas, penipuan melalui dengan
meluncurkan
virus atau spyware, dan "malware" seperti Trojan, yang memungkinkan penjahat untuk
dapat mengkontrol ribuan komputer dan
melakukan serangannya.
Yang terakhir ini telah berkembang secara sangat signifikan, mengingat pertumbuhan internet seperti kehadiran online di China, yang merupakan pengguna internet
terbesar di
dunia. Ini akan menjadi isu yang menjadi perhatian tidak hanya untuk China, tetapi juga untuk negara-negara lain
terkena dampak keberadaan website.
4.
Identitas (Identity)
Identitas merupakan
'karakter dasar negara' atau sebuah konsep relasional. Identitas dikonstruksi
secara sosial. Identitas merupakan gambar individualitas dan kekhasan
("kedirian") yang diselenggarakan dan diproyeksikan oleh aktor dan
dibentuk melalui hubungan signifikan dengan
"orang lain.[5]"
Karena permasalahan
identitas baik kelompok atau negara dapat menimbulkan konflik yang dapat
mengancam keamanan nasional Kejahatan yang dilakukan sekarang ini salah
satunya dengan memalsukan identitas yang dapat menimbulkan ancaman terhadap keamanan Regional. Dari pelaksanaan
diskusi tingkat regional dapat disampaikan hal hal penyalah gunaan identitas
beresiko terhadap keamanan antara lain:
(a)
Groups use identity for
violent action-’lone wolf’ phenomenon (self radicalized individual and cells); Fenomena
adanya Grup
yang menggunakan identitas untuk tindakan tindakan kekerasan-'lone wolf' (individu radikal diri dan sel);
(b)
Clashes between groups
(intra state)-Intolerance-religious-majority vs minority; (Bentrokan
antara kelompok (intra state)-Intoleransi-agama mayoritas vs minoritas);
(c)
Increase probability of
groups developing linkages with other international terrorist groups to
strengthen and accrue logistical support-transnational linkages; (Kemungkinan
Meningkatnya kelompok
mengembangkan hubungan dengan kelompok-kelompok teroris internasional untuk
memperkuat jaringannya dan terkait dengan dukungan
logistik-transnasional);
(d)
Online emulation,
replication, radicalization-learning from other theatres-copy cat techniques; (emulasi
online, replikasi, radikalisasi-learning
dari teater-lainnya dengan meniru teknik cat);
(e)
Spill over effect-chain
reaction-religious attacks; (Imbas atas reaksi berantai-serangan agama);
(f)
Sabotage, espionage,
subversion; (sabotase, spionasi dan subversi);
(g)
Identity is
important/significant- but other factors come into play like governance,
education, rights. )
(Identitas
adalah penting/significant- tetapi ada faktor-faktor lain yang ikut bermain
seperti pemerintahan, pendidikan, hak azasi)
5.
Keamanan
Nasional
Keamanan nasional (National
Security) adalah kebutuhan untuk mempertahankan kelangsungan hidup negara
melalui penggunaan ekonomi, proyeksi diplomasi, kekuasaan dan kekuasaan
politik. Awalnya keamanan nasional (kamnas) berfokus pada kekuatan militer,
sekarang mencakup berbagai aspek, yang semuanya mencakup pada keamanan militer, non ekonomi bangsa dan nilai-nilai yang dianut oleh masyarakat
nasional. Oleh karena itu, dalam rangka untuk memiliki keamanan nasional,
negara perlu memiliki keamanan ekonomi, keamanan energi, keamanan lingkungan,
dan lain-lain. Ancaman keamanan tidak hanya melibatkan musuh konvensional
seperti lainnya negara-bangsa tetapi juga aktor non-negara seperti
kekerasan non-state aktor, kartel narkotika, perusahaan multinasional dan
organisasi non-pemerintah, beberapa pihak berwenang termasuk bencana alam dan
peristiwa yang menyebabkan kerusakan lingkungan yang parah. Perkembangan ICT
memudahkan untuk mengendalikan keamanan nasional, tetapi juga mempermudah
organisasi yang tidak bertanggung jawab untuk menyerang, mengnagganggu dan
menggagalkannya. Masing masing negara
berusaha untuk menjamin tercapainya kepentingan nasional dengan cara mengambil Langkah-langkah antara lain sebagai berikut:
1)
menggunakan
diplomasi untuk menggalang sekutu dan mengisolasi ancaman;
2)
marshalling kekuatan ekonomi untuk memfasilitasi atau memaksa
kerjasama;
3)
mempertahankan
angkatan bersenjata yang efektif;
4)
menerapkan
langkah-langkah kesiapan pertahanan sipil dan darurat (termasuk undang-undang anti-terorisme);
5)
memastikan
ketahanan dan redundansi infrastruktur kritis;
6)
menggunakan
layanan intelijen untuk mendeteksi dan mengalahkan atau menghindari ancaman dan
spionase, dan untuk melindungi informasi rahasia;
7)
menggunakan
layanan kontra intelijen atau polisi rahasia untuk melindungi bangsa dari
ancaman internal.
Namun demikian Hasil Pooling seluruh peserta workshop dan confference
2012 di Singapura menunjukkan: Tiga
ancaman jangka pendek yang paling serius terhadap keamanan yang dapat mengancam keamanan nasional masing masing negara adalah: Religious extremism; Terrorism
; Pandemic disease/ Natural
disaster ; Maritime
crisis ; Cyber
crisis ; Energy/
Environmental crisis ;Corruption
; Ethnic tensions dan Other. Sebagai perbanding bahwa anncaman bersama yang
ditetapkan oleh para Menteri Pertahanan ASEAN dan para Panglimanya yang terdiri
dari enam hal: terorisme, keamanan
maritim, Humanitarian Assistance/Disaster
Relief (HADR), bencana alam, foodsecurity,
dan climate change. Dari sini kelihatan bahwa cybersecurity belum merupakan prioritas ancaman. Selanjutnya dapat diprediksi kemungkinan
prioritas untuk mengatasi ancaman kedepan yaitu:
(1) Dengan
melaksanakan diskusi Inter agency collaboration pada tingkat national- Cyber crime bill in ASEAN-external
experts to be involved- MoU/ Agreement between government and private sector.
(Aturan bersama Cyber crime di Asean, pelibatan ahli dari eksternal disertai
dengan MOU antara pemerintah dan sektor swasta)
(2) More private sector participation/ PPP where practical/ feasible. (Partisipasi
sektor swata akan lebih banyak/ppp secara praktis/Feasible).
(3) International organizations for eg. UN and related agencies-provide
framework-multilateral. (Organisasi internasional, contohnya UN dan agen lainya
yang sesuai memerlukan kerangka kerjasama multilateral).
(4) Need to harmonize domestic legal frameworks within ASEAN to deal with
cyber crime and related issues. (Memerlukan harmonisasi kerangka hukum domestik
sesama angota ASEAN dalam menangani cybercime dan isu isu terkait).
(5) Need for advocate inside governments-need for CIO/CTO (membutuhkan
bantuan dalam pemerintahan-kebutuhan CIO/CTO)
(6) Need to attract TRACK II interaction-SME, practitioners, academia, NGO
personnel. (perlu untuk menarik interaksi dalam diplomasi track II, SME,
praktisi, akademisi, LSm dan personel).
(7) Integrating national with regional and global efforts. (mengintegrasikan
upaya nasional, regional dan global).
(8) New technology based on Malaysia experiences-push (get message out)-pull
(get website more interactive)-networking (interaction with public). (Teknologi baru berdasarkan
pengalaman Malaysia-mendorong (keluar message)-tarik (mendapatkan website lebih
interaktif)-networking (interaksi dengan publik)).
(9) Need for change for mindset in
governments-willingness to embrace new technology for greater public
interface-will require new resources.
(Perlu untuk perubahan pola pikir bagi pemerintah, kesediaan untuk mengadopsi
teknologi baru untuk hubungan
dengan masyarakat yang lebih besar, membutuhkan sumber daya baru).
6.
Cyberspace, Cybercrime
dan Cybertrorism
a. Cyberspace.
Perhatian negara negara dan ASEAN terhadap cyberspace
utamanya cybercrime dan cyberterorism, masih kurang. Hal ini disamping dibutuhkan SDM dengan pengetahuan IT yang tinggi, brain ware dan software mengenai IT dan komputer.
Singapura
secara struktur sudah mempunyai
badan yang menangani masalah cyber security,
negara ASEAN lainnya kelihatan belum
memilikinya.
Malaysia,
setelah peristiwa Ambalat 2005 mulai menaruh
perhatian terhadap cybersecurity
dan dikoordinasikan oleh dewan keamanan nasionalnya (National Security council), bekerjasama dengan kementrian
telekomunikasi dan swasta. Negara negara ASEAN lainnya secara struktural
belum kelihatan secara serius menanganinya. Indonesia masih pada tahap wacana, konsep dan sarasehan.
b. Cybercrime
Cybercrime menurut Komisi
Eropa didefinisikan "Tindakan kriminal
atau pelanggaran yang dilakukan melalui jaringan komunikasi elektronik dan sistem informasi atau sistim jaringan yang berisiko terhadapnya", Yang digolongkan sebagai Aksi Cybermafia Acute kelompok penjahat Dunia maya yang terorganisir. Lingkungan kegiatan kriminalitas siber kelas Dunia salah satunya seperti yang terjadi ditahun 2001, ketika 150 pakar pengguna internet melakukan rapat di Eropa bagian Timur tepatnya Ukraina untuk membentuk suatu organisasi kriminal 'Carder Planet' dibawah pimpinan Dmitry Glubov sebagai 'Godfather'. Artikel Baru pemahaman Equity bahwa internet mampu menciptakan kesempatan pencucian uang dan dapat mendatangkan keuntungan, dengan 'Perdagangan data perbankan.' Kelompok yang tergolong mafiacyber ini mengorganisir pencurian Data Kartu fasilitas kredit lalu menggunakannya dengan tidak sah. Dari demonstrasi dan penjelasan dari Agen USA disampaikan bahwa mafia cyber ini yang terbesar berasal Yunani dan Rusia. Para pelaku kriminal dengan cybercriminal dapat mencuri data lewat internet, mencuri uang lewat ATM, mencuri uang lewat antar BANK dan kriminal lainnya menggunakan cyberspace.
atau pelanggaran yang dilakukan melalui jaringan komunikasi elektronik dan sistem informasi atau sistim jaringan yang berisiko terhadapnya", Yang digolongkan sebagai Aksi Cybermafia Acute kelompok penjahat Dunia maya yang terorganisir. Lingkungan kegiatan kriminalitas siber kelas Dunia salah satunya seperti yang terjadi ditahun 2001, ketika 150 pakar pengguna internet melakukan rapat di Eropa bagian Timur tepatnya Ukraina untuk membentuk suatu organisasi kriminal 'Carder Planet' dibawah pimpinan Dmitry Glubov sebagai 'Godfather'. Artikel Baru pemahaman Equity bahwa internet mampu menciptakan kesempatan pencucian uang dan dapat mendatangkan keuntungan, dengan 'Perdagangan data perbankan.' Kelompok yang tergolong mafiacyber ini mengorganisir pencurian Data Kartu fasilitas kredit lalu menggunakannya dengan tidak sah. Dari demonstrasi dan penjelasan dari Agen USA disampaikan bahwa mafia cyber ini yang terbesar berasal Yunani dan Rusia. Para pelaku kriminal dengan cybercriminal dapat mencuri data lewat internet, mencuri uang lewat ATM, mencuri uang lewat antar BANK dan kriminal lainnya menggunakan cyberspace.
c.
Cyberterrorism
Cyberterrorism adalah bentuk extreme lain
dalam terminologi dunia
modern yang
melibatkan aksi-aksi dengan teknologi untuk tujuan politis lewat aksi kriminalitas maya seperti penyerangan
sistem komputer, networks, yang tujuannya membahayakan, merugikan bahkan dapat
menciderai kehidupan manusia dan mengancam keamanan nasional suatu negara.
Diantara aksi mereka targetnya mencari kelemahan (vulnerability) dalam sistem
kontrol transportasi (traffic control system) yang dapat menimbulkan kerusakan
dan membahayakan keselamatan jiwa umat manusia. Mengutip satu definisi umum, menurut agen FBI
Mark Pollitt ‘cyberterrorism is the
premeditated, politically motivated attack againts information, computer
systems, computer programs, and data which result in violence againts
noncombatant targets by subnational groups or clandestine agents.
Ditambahkan Danning, pakar cyber-politics,
bahwa aksi-aksi terorisme melalui dunia cyber
dapat menyebabkan kerugian-kerugian yang sangat serius, bisa berupa
kesulitan ekonomi sampai dengan
menghilangkan kekuasaan suatu Pemerintahan atau targetnya membuat collaps
Perusahaan di suatu negara.
Diawal-awal
kemunculannya salah satu aksi cyberterrorism
yang menyita banyak perhatian dunia global diantaranya yang terjadi di Jepang tahun 1995 dimana sebuah software yang disusupkan terroris
berhasil mengacaukan jalur transportasi
di Tokyo yang membunuh 12 orang dan melukai lebih dari 6000 orang. Memang dipertanyakan definisi cyberterrorism
karena definisi terrorism sendiri sampai dengan sekarang ini PBB belum satu
kata, namun setidaknya dengan definisi diatas Cyberterrorism yang merusak, merugikan materiil maupun nyawa
tersebut perlu ditanggulangi.
d.
Gigihnya Ancaman Terorisme
Ancaman
terorisme terus-menerus, sangat kompleks
dan selalu berkembang. Kita semua tahu bahwa teroris mengabaikan kehidupan
manusia dan tidak terpengaruh oleh batas-batas geografis. Mereka telah menggunakan
internet untuk tujuan perekrutan,
pendanaan, training, pengontrolan dan pengembangan organisasi, fund dressing serta indoktrinasi dan
mengajak untuk berbuat radikal. Ada juga ketakutan bahwa
terorisme dan pembajak secara terpadu
mengancam rantai pasokan maritim di seluruh dunia. Setiap hari masih terjadi berita media yang
menyiarkan adanya ancaman terrorisme dinegara negara regional, termasuk di Indonesia. Media juga memberitakan penembakan yang
dilakukan oleh aparat pemerintah terhadap kaum teroris maupun penembakan yang
dilakukan oleh teroris terhadap polisi. Walaupun telah diberlakukan UU
penanggulangan terorisme di Indonesia, internal security act seperti di
Singapura dan Malaysia, namun itu semua tidak dapat menjamin dan menghentikan
adanya serangan terorisme. Seperti Singapura yang telah memberlakukan ISA
selama 20 tahun, menahan Muhammad Fadil Abdul Hamid seorang radikalis Singapura yang telah
melakukan kontak online dengan seorang perekrut yang dicurigai Al-Qaeda dan ingin memulai jihad
bersenjata di luar negeri. Dua warga negara Singapura
lainnya, Muhammad Anwar Jailani dan Muhammad Thahir Shaik Dawood, juga
ditempatkan pada Restriction Orders. Mereka juga telah bertindak radikal sesuai dengan
ideologi jihad. Sementara itu di
daerah, kegiatan teroris yang dilakukan oleh Jemaah Islamiyah (JI) masih tetap berlangsung. Pada bulan
Februari 2008, anggota JI Rijal Yadri bin Jumari ditangkap dan ditahan di bawah
Internal Security Act. Pada saat penangkapannya, Rijal bekerja dengan
unsur-unsur JI asing untuk menghidupkan kembali jaringan JI klandestin
Singapura. Pada bulan Juli 2008, satu di antara mereka ditangkap oleh Indonesia
dalam serangan di Palembang. Sel teroris telah mengumpulkan bahan peledak untuk
serangan yang direncanakan terhadap sasaran lokal maupun asing di Jakarta.
Ketika Mas Selamat Kastari ditangkap kembali di Malaysia pada tahun 2009, ia
telah didukung oleh simpatisan di daerah. Tahun 2012, Indonesia menemukan sebuah kamp pelatihan
teroris di Aceh dan menemukan bahwa mereka
memiliki hubungan dengan elemen JI. Hanya dua bulan sebelumnya, pemerintah
Indonesia menemukan peta stasiun MRT di Orchard ketika mereka
menyerbu sebuah tersangka sel teroris di Jakarta Timur, yang memunculkan
kecurigaan bahwa para teroris menargetkan stasiun tersebut. Dan
terakhir pada bulan januari 2013 polisi telah menembak mati 5 pelaku yang
diduga terorisme dari Sulawesi.
Indonesia juga telah menangkap, mengadili pelaku tindak terorisme yang
jumlahnya cukup banyak mencapai ratusan orang.
Hal ini menunjukkan masa masa suram, bahwa meskipun telah dilakukan penangkapan terhadap personil kunci Al-Qaeda dan
afiliasinya diberbagai
daerah regional, sepertinya
JI tidak hancur tetapi malah terpecah ke dalam sel yang menyebar kedalam kelompok. Meskipun jaringan
pusat Al-Qaeda telah dilemahkan, tetapi
ideologi
jihad tetap hidup. Teroris memanfaatkan
anonimitas dunia maya untuk menyebarkan ideologi mereka, bertukar informasi,
dan merekrut anggota baru. Ini menjelaskan kebangkitan terus menerus terorisme. Perlu
diingat bahwa ancaman terorisme
adalah nyata terjadi setiap saat di Asia
Tenggara khususnya Indonesia. Indonesia, Singapura telah dan tetap
menjadi target ikon untuk teroris. Sebagai pusat transportasi keuangan dan rumah bagi ribuan
perusahaan multinasional, banyak dari Barat, maka Singapura dapat menjadi sasaran yang menarik bagi mereka
yang ingin menyerang info-comm dan infrastruktur rantai pasokan. Demikian pula
hal ini dapat terjadi untuk kota kota besar lainya seperti jakarta, Kuala
Lumpur, Bangkok dan Manila. Oleh karena negara negara
ASEAN harus tetap waspada dan seluruh bangsa menaruh perhatiannya terhadap upaya upaya yang dilakukan demi menjaga stabilitas
keamanan nasionalnya.
Pemerintah, pelaku bisnis
dan setiap individu - kita semua - memiliki bagian untuk untuk memastikan bahwa
Jakarta, Singapura tidak menjadi
korban serangan teroris, dengan
mempertimbangkan ancaman terhadap
keamanan masing masing negara.
e.
Cyberwar dan Cyberwarfare
Hasil beberapa kali diskusi juga menyimpulkan bahwa
perang kedepan akan memasuki rea cyberwar yang merupakan
perang konsep, oleh karenanya
butuh pengetahuan Informasi, komputer baik brain
ware, hardware, maupun software, oleh karenanya perlu kepedulian yang tinggi (Cyber Domain Awareness) bagi tiap negara untuk meningkatkan kerjasama regional,
utamanya menghadapi cyberterorism dan
cybercrime. Indonesia
menyelenggarakan sarasehan nasional Cyber
deffence, yang diadakan dikemhan pada tanggal 2 oktober 2012, menekankan
perlunya cyber army untuk
mengantisipasi serangan melalui dunia maya tanpa menghadirkan pasukan. Cyber army yang dimaksud disini adalah
prajurit cyber yang terdiri dari
individu individu terampil serta ahli dalam cyber
warfare, yang dituangkan dalam konsep Pembangunan Nasional Cyber defence, sebagai garda terdepan
dalam menjawab tantangan perang informasi[6]. Kesadaran semacam ini masih memerlukan usaha
keras untuk mengakomodasikannya sebagai bagaian dari pertahanan nirmiliter.
Tentunya bukan hanya individu yang terampil tetapi secara institusional
meberdayakan seluruh potensi bangsa, khususnya yang berkompeten dalam bidang
informasi.
7.
Dampak
Cyber space bagi Indonesia
Dalam era globalisasi saat
ini, dinamika dan fenomena cyberspace
merupakan konsekuensi logis dari kemajuan teknologi dan informasi yang sangat
pesat. Sarana yang digunakan antara lain adalah situs jejaring
sosial berupa Facebook, Twitter, Friendster, Flickers, Blogger, Wordpress, youtube dan lain-lain dimana keberadaannya telah mempengaruhi pola pikir, pola sikap dan pola
tindak setiap individu dalam memanfaatkan cyberspace.
Dampak positifnya masyarakat dan
pemerintah akan dengan mudah mendapatkan informasi secara real time dan cepat, Kejadian
disuatu negara dapat diketahui saat itu juga dinegara belahan bumi yang lain,
transaksi bisnis lebih effisien dan cepat, dapat melakukan aktifitas sosial
secara on line, memudahkan pencarian informasi keluarga, sahabat, korespondensi
dan manfaat lainnya. Indonesia adalah pengguna internet facebook terbesar
didunia antara bulan Oktober 2011 26.598.240 pengguna menjadi 29.844.240
pengguna face book dengan pertumbuhan 12,2%[7]. Dari total pengguna facebook 78% memakai
mobile phone.
Facebook
Population in Southeast Asia Total Users (as of 1 Oct 2010 and 1 Nov 2010)
and % Month-on-Month Growth
Rank
|
Country
|
Nov
01
|
Oct
01
|
%
Growth
|
1
|
Indonesia
|
29,844,240
|
26,598,240
|
12.2%
|
2
|
Philippines
|
17,942,340
|
16,349,240
|
9.7%
|
3
|
Malaysia
|
8,815,780
|
8,136,780
|
8.3%
|
4
|
Thailand
|
6,071,480
|
5,376,700
|
12.9%
|
5
|
Singapore
|
2,382,200
|
2,273,440
|
4.8%
|
6
|
South Korea
|
1,730,320
|
1,454,740
|
18.9%
|
7
|
Japan
|
1,688,600
|
1,411,260
|
19.6%
|
8
|
Vietnam
|
1,493,600
|
1,270,560
|
17.6%
|
9
|
Brunei
|
187,740
|
169,240
|
10.9%
|
10
|
Cambodia
|
162,800
|
130,680
|
24.6%
|
11
|
Laos
|
28,960
|
28,620
|
1.2%
|
Dari
penggunaan yang terbanyak ini harus ada benefit secara ekonomi dan digunakan
untuk memperkuat persatuan dan kesatuan bangsa.
Contohnya pada peristiwa Ambalat tahun 2005, bagaimana volunter warga
negara Indonesia mengadakan perang cyber dengan warga negara Malaysia
menggunakan internet, twiter, youtube, chatting dll, sayangnya Indonesia belum
mewadahinya menjadi bagian dari kamnas, karena UU Kamnas sampai sekarang belum
selesai. Berbeda dengan negara jiran
yang lalu mewadahi secara struktural dalam sistim keamanan nasionalnya. Apakah Indonesia akan membeiarkan selalu
kalah langkah dalam mengambil keputusan strategis seperti ini. Jawabannya tentu saja tidak, lalu bagaimana,
siapa yang mengkoordinirnya, Kemhankah atau kominfo atau Wantannas atau
institusi lain?
Dampak negatif bagi kehidupan masyarakat atas penggunaan situs jejaring sosial tersebut antara lain
adalah maraknya pemberitaan yang bernuansa SARA meskipun UU RI No. 11 tahun
2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik Bab VII telah mengatur Perbuatan Yang Dilarang.
Larangan yang dimaksudkan diantaranya adalah larangan bagi setiap orang untuk
dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan informasi bermuatan SARA, menimbulkan
kebencian atau permusuhan individu dan atau kelompok masyarakat tertentu.
Dampak negatif lainnya adalah tindak pidana penipuan melalui internet,
kejahatan terrorisme, penipuan melalui facebook, indoktrinasi radikalisme
melalui website, chatting, penyebaran gambar, video dan counter narasi yang
menyudutkan kelompok tertentu. Dengan demikian akar persoalan cyber
space bagi Indonesia antara lain:
a.
UU
RI No. 11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik pada hakekatnya
merupakan perkembangan hukum cyber
atau hukum telematika yang relatif baru, kurang luas dalam sosialisasinya,
implikasinya masyarakat kurang memahami hakekat tujuan pemanfaatan teknologi
informasi dan larangan-larangan yang terkandung di dalamnya. Masyarakat luas pada
umumnya belum sepenuhnya memahami
substansi materi UU No. 11 Tahun 2008 tentang ITE (khususnya Bab VII pasal 27 dan pasal 28) dan sanksi
hukum yang ada. Mudahnya akses dan tidak adanya pembatasan atau ketentuan
persyaratan apapun dalam pemanfaatan jejaring sosial, sehingga riskan untuk
disalah gunakan untuk kepentingan yang tidak baik/melanggar hukum, seperti penipuan lewat toko on
line, facebook. Akibat masih terjadinya
fanatisme sempit pada sebagian
individu/kelompok masyarakat tertentu sehingga memanfaatkan jejaring sosial
sebagai media efektif untuk kepentingan
negatifnya, contoh
aramah.com, penggalangan dana FPI dengan mencantumkan no rekening dan radio FPI
lewat internet. Masyarakat pengguna
jejaring sosial sering lepas kontrol dalam aktivitas komunikasinya sehingga tidak mengindahkan kaidah etika/moral
berkomunikasi.
b.
Masyarakat
Indonesia bersifat majemuk dalam pengertian banyak suku-etnis, agama, golongan
dan struktur sosialnya masih diwarnai oleh kesenjangan yang cukup signifikan.
Pada kondisi tertentu memiliki potensi untuk mudah dihasut/diadu domba dengan
memanfaatkan isu SARA, tidak mustahil dapat menimbulkan anarkhisme dan
destruktif.
c.
Reformasi
nasional meski telah menghasilkan berbagai kemajuan, namun juga menimbulkan
ekses negatif antara lain kebebasan masyarakat untuk menyatakan pendapat di
muka umum kerap dilakukan dengan mengabaikan kebebasan orang lain/kelompok
lain.
d.
Aparat
penegak hukum kerapkali gamang ketika berhadapan dengan kerumunan massa (crowd) yang seringkali tidak terkendali
dan cenderung melakukan tindakan destruktif. Kegamangan aparat penegak hukum
antara lain khawatir dianggap melanggar HAM jika melakukan upaya penertiban
terhadap massa beringas.
Untuk mengantisipasi
dan mencari solusi terbaik atas aktivitas pada jejaring sosial pada dunia maya (cyberspace) perlu dibuat regulasi
secara komprehensif. Disamping itu diperlukan koordinasi dan
kerjasama terpadu antar instansi terkait dan pemangku kepentingan lainnya untuk
mengambil langkah antisipasi dan solusi masalah ini mulai dari SDM, regulasi
dan pengawasan yang ketat.
8.
Membenahi
Ketimpangan antar
Negara
Kemampuan
Ekonomi dan politik yang berbeda antara negara negara ASEAN telah menimbulkan
ketimpangan bagi
negara-negara regional yang
berdampak langsung pada kemampuan masing-masing untuk menangani cyberspace. Negara-negara yang lebih maju
secara ekonomi dan politik lebih terbuka memiliki kapasitas yang lebih besar
untuk mengatasi ketidak amanan
dunia maya, dibandingkan negara-negara
miskin dan lebih represif. Selain itu, perbedaan dalam konektivitas internet
memiliki korelasi langsung dengan modernisasi ekonomi suatu negara serta dengan
integrasi dengan proses pembangunan global. Faktor-faktor yang mendasari dan
kehadiran cyber yang mengakibatkan masing-masing negara, pada gilirannya,
memiliki efek langsung pada jenis keamanan cyber dan tantangan yang mereka hadapi. Disamping
itu juga perbedaan
budaya di antara negara-negara ASEAN yang secara signifikan berpengaruh terhadap
antisipasi dan solusi masalah cyberspace. Pembangunan
ekonomi dengan
kemajuan yang tinggi
dan sistem politik yang lebih demokratis tidak secara otomatis menjamin berlakunya norma-norma dan nilai-nilai yang sama dengan negara-negara maju lainnya.
Seperti halnya di Jepang, Singapura, di mana situs porno tidak selalu dilihat sebagai ancaman, berbeda
dengan negara lainnya, dimana warganya tidak
menyetujuinya untuk mengakses
materi tersebut. Selain itu, tingginya tingkat pembangunan ekonomi dan sosial, ditambah dengan tingginya penetrasi internet tidak menjamin keamanan untuk meng akses internet. Indonesia, Singapura,
negara yang secara sosio-ekonomi telah maju, akses ke situs web
diperbolehkan tetapi beberapa negara regional dan internasional lainya masih
menolaknya. Khusus
untuk Indonesia sudah mulai mengontrol dan memblokir situs internet porno,
walaupun belum semuanya berhasil di kendalikan.
Dengan demikian jelaslah bahwa dunia maya menimbulkan
masalah keamanan yang baru bagi hukum dan ketertiban suatu negara yang
memerlukan aturan penegakan hukum sendiri, serta menjadi bahan pertimbangan
dalam menentukan ancaman. Oleh karena cyber
space dengan cybersecurity dan cyberterorism-nya saling berhubungan didunia
maya, yang tidak
terikat oleh aturan kedaulatan dan non-interferensi dengan segala kosekuwensinya yang
memerlukan pembenahan tersendiri. Oleh
karena itu ketimpangan antar negara dalam menangani dunia maya cyberspace, perlu direducer dengan
kerjasama antar negara ASEAN melalui sharing
knowledge, pelatihan/workshop dan confference
secara berkala dan kerjasama secara nyata dilapangan untuk mengatasinya.
9.
Regional Responses
Pendekatan
regional untuk ancaman keamanan bukan merupakan hal yang
baru. Sejak
berdirinya Forum Regional ASEAN pada tahun 1994, negara-negara Asia Timur dan mitra
dialog ekstra-regional telah membahas cara-cara untuk mengurangi ketidakamanan
regional. Paska serangan bom teroris 9 September terhadap AS, organisasi regional lainnya seperti
APEC juga telah memasukkan isu-isu keamanan regional pada agenda kebijakan
mereka. Dalam pengertian ini, penanganan ancaman keamanan cyber sudah
memperoleh manfaat adanya mekanisme penanganan keamanan regional. Dengan demikian,
negara harus berusaha untuk mengatasi kekurangan
dalam kapasitas cyber, dengan
bekerja sama dalam organisasi regional seperti
ASEAN-institusi terkait dan APEC, untuk mengurangi tantangan yang ditimbulkan
oleh ancaman keamanan cyber.
10.
ASEAN & ASEAN Regional Forum
Tindakan ASEAN dalam mengamankan dunia maya telah dilakukan dalam dua
bentuk.
Pertama, telah terjadi upaya umum untuk meningkatkan kapasitas regional dan sumber daya melalui proses
e-ASEAN yang dimulai
sejak 1999. Kedua, telah terjadi
serangkaian upaya yang lebih eksplisit untuk mengamankan dunia maya dari
subversi keamanan nasional secara transnasional,
khususnya yang bersumber dari kegiatan organisasi kriminal dan teroris. Ada
juga subfocus pada aspek pengembangan cyber, yang dianggap kritis - jika hanya
untuk membantu mengatasi apa yang dilihat sebagai akar penyebab kejahatan dan
terorisme yang meluap ke dunia maya regional, yaitu kemiskinan dan
keterbelakangan. Sampai batas tertentu peristiwa 9/11
memberikan dorongan upaya untuk melakukan
sekuritisasi keamanan cyber di tingkat regional. Namun, upaya itu sangat politis,
dengan tanggapan
utama melakukan studi
tentang sistem hukum negara-negara regional, pertukaran informasi, dan upaya
untuk mengembangkan perjanjian ekstradisi.
11.
Asia Pacific Economic Cooperation
(APEC)
Berkaitan
dengan APEC, suatu lembaga dengan basis keanggotaan yang jauh
lebih luas,
telah menghadapi tantangan serupa tetapi berbeda dalam melindungi anggotanya
terhadap ancaman cyber. Sebagai lembaga ekonomi tanggapan APEC untuk masalah cyber dan ancamannya telah berfokus pada isu-isu seperti
e-commerce, pencurian identitas, dan perkembangan terkait, akhir tahun
1990 beralih pada
aspek pidana dunia maya (khususnya keamanan informasi), dan kemudian pasca 9/11
fokus pada terorisme cyber. Selanjutnya, ditengarahi ada kesenjangan digital yang jauh
lebih besar antara anggota APEC daripada yang ada antara anggota ASEAN.
Fokus bisnis yang diberikan oleh
anggota
APEC, jauh lebih baik daripada
ASEAN. Seacara proaktif, baru-baru ini, organisasi masyarakat sipil yang terlibat dengan sektor bisnis
memastikan bahwa kegiatan perusahaan memiliki input dan dukungan
seluas mungkin untuk masalah
ini. Hal ini tercermin dalam kolaborasi APEC dengan OECD - seperti lokakarya Malware pada bulan April 2007 - dan
joint workshop antar anggota APEC-ASEAN
pada Jaringan Keamanan, yang
memungkinkan kedua peserta untuk berinteraksi dan berbagi pengetahuan dan
praktik.
12.
Respon Internasional
Sementara inisiatif regional mendapat
pujian yang baik,
tantangan dalam
memerangi
ketidakamanan maya juga dilaksanakan di tingkat internasional yang lebih luas. Uni Eropa (UE), telah
mengembangkan salah satu perjanjian keamanan maya paling komprehensif bagi setiap organisasi transnasional.
Pada akhir 1990-an Uni Eropa secara resmi mulai mempertimbangkan dampak
destabilisasi ancaman maya bisa saja terjadi pada
negara-negara anggotanya, pasar dan masyarakat. Hasil akhirnya adalah
'instrumen yang mengikat secara hukum' yang disebut Konvensi Eropa tentang Cyber-Crime 2001 (Konvensi Budapest),
dianggap sebagai perjanjian untuk menangani
masalah keamanan cyber di tingkat domestik dan regional. Selain itu, masuknya
Kanada, Jepang, Afrika Selatan dan Amerika Serikat dalam proses penyusunan Konvensi
yang
berarti, telah memiliki
jangkauan melampaui batas-batas Eropa. Bagian kunci dari Konvensi adalah yang
berkaitan dengan harmonisasi peraturan perundang-undangan dan jangkauan hukum transnasional
dan pengejaran pelaku kejahatan cyber di seluruh
perbatasan.
Pada
pertengahan tahun 2004,
penanda tangannan
Konvensi telah meluas mencapai 37 negara. Dalam hal kerja sama transnasional, Konvensi
mewajibkan negara-negara yang meratifikasinya untuk memberikan kerjasama yang
seluas-luasnya. Dalam menciptakan instrumen mengikat CoE dan semua mitra penyusunan
mencari masukan
sektor swasta serta organisasi-organisasi masyarakat sipil. Sementara beberapa
kelompok memiliki kepentingan
mengenai isu-isu kebebasan privasi dan individu, adopsi Konvensi yang cepat pada wilayah politik di mana hak-hak
sipil dianggap penting juga merupakan
sinyal penerimaan luas. Selain itu, hal ini semakin menjadi standar global,
baik untuk kerjasama maupun
praktek-praktek terbaik. Dengan demikian, di tingkat internasional, Uni Eropa
memberikan contoh respon kebijakan transnasional untuk mencari solusi politik yang
dirasakan untuk menangani tantangan
keamanan.
13.
Pelajaran Yang bisa dipetik (Lesson Learned)
a.
Perkembangan teknologi informasi dan komunikasi
(ICT) Cyberspace
seperti internet dan peralatan
komunikasi lainnya membawa kemajuan yang berdampak positif untuk mengetahui apa
yang terjadi di dunia ini dalam hitungan detik, dapat berkomunikasi dan
mengenal orang dari segala penjuru dunia tanpa harus berjalan jauh dan bertatap
muka secara langsung. Dari sisi negatif
Kejahatan menggunakan sarana internet
dapat menembus ruang dan waktu, tidak ada batas negara, tidak mengenal
yurisdiksi, dan dapat dilakukan dari mana saja dan kapan saja. Sementara itu
Peraturan perundangan untuk menjerat pelaku kejahatan ICT saat ini masih
ketinggalan dibanding kemajuan teknologi dan kejahatan ICT. Indonesia
sebagai pengguna internet terbesar di Asia setelah China, pengguna facebook
terbesar didunia rawan terhadap serangan cyberspace utamanya cyber terrorism,
radikalisme, cybercrime.
b.
Bagi indonesia Tanggungjawab dan kewajiban untuk mengendalikan dampak ICT
bukan hanya terletak pada pemerintah tetapi memerlukan partisipasi masyarakat,
khususnya terhadap pelaku kejahatan ICT.
c.
Cyber space “cyberterorism dan cybercrime”,
cybersecurity merupakan hal menarik yang sangat penting untuk diantisipasi dan dicarikan solusinya bagi
keamanan nasional Indonesia dan keamanan regional.
d.
Keseriusan APCSS dan UNHAN
Singapura dengan penyelenggaraan workshop dan konferensi menunjukkan betapa
seriusnya ancaman cyber ini terhadap keamanan nasionalnya, hal ini juga dapat dilakukan oleh UNHAN Indonesia
untuk melaksanakanya.
e.
Pengetahuan mengenai Cyber space, cybercrime dan cyber terrorism serta cyber security akan terus berkembang seiring dengan perkembangan
IT.
f.
Dalam diskusi diketahui
Negara Singapura dan Malaysia pasca peristiwa Ambalat tahun 2005, telah secara
serius memasukkan cyberspace kedalam penanganan dan koordinasi pada struktur
organisasi dewan keamanan nasionalnya.Indonesia
belum mebuatnya secara struktur, masih dalam kemampuan individu-individu.
g.
Hubungan
dan interaksi antar negara diperlukan bukan hanya pada saat kegiatan workshop
dan confference, tetapi kelanjutannya, sehingga dapat memberikan kontribusi positif bagi CBM guna meningkatkan
kesejahteraan dan keamanan umat manusia.
PENUTUP.
14.
Kesimpulan
a.
Kehadiran
negara-negara dengan berbagai kapasitas dalam komunitas internasional membuat
sulit untuk memungkinkan resolusi cepat dari suatu masalah tertentu. Cepatnya
perubahan di dunia maya - dan munculnya petugas dari ancaman berbasis web
terhadap negara, pasar, masyarakat dan individu - memerlukan tindakan cepat
oleh aktor securitizing jika media penting melalui mana sebagian besar penduduk
dunia saat berkomunikasi adalah untuk dipertahankan. Apa yang dibutuhkan Oleh
karena itu struktur horizontal yang mendukung di mana negara-negara pada
tingkat yang sama dari pembangunan, dengan kebutuhan yang serupa dapat bekerja
sama dalam meningkatkan keamanan cyber mereka. Penciptaan tingkat regional
pemerintahan telah menciptakan ruang kolaboratif dimana kegiatan horisontal
tersebut dapat berlangsung.
b.
Dengan
demikian, tantangan bagi negara dalam menangani ancaman cyber adalah dua kali
lipat. Pertama, ia harus menemukan dan mengadopsi keseimbangan yang tepat
antara pendekatan regional dan internasional. Kedua, di mana negara adalah
anggota dari organisasi regional, perlu untuk memastikan bahwa pendekatan
regional dan norma-norma internasional tidak menyimpang melainkan berkembang
secara paralel. Dengan demikian, sementara isu-isu budaya bersama, sejarah dan
geografi mungkin memainkan peran kunci dalam lebih tingkat regional
pengembangan kebijakan keamanan cyber, kesamaan tidak boleh menjadi dasar bagi
perbedaan dengan upaya internasional yang lebih luas.
c.
Dari rangkaian Workshop
dan konferensi beberapa negara yang diadakan akhir akhir ini mengenai cyberspace, cybersecurity, cybercrime, dan cyberterorism merupakan hal baru yang perkembangannya cukup pesat
dan memerlukan perhatian tersendiri. Negara-negara di ASEAN khususnya kecuali
Singapura belum begitu mendalami cybersecurity,
hal ini tercermin dari ancaman bersama yang ditetapkan oleh para Menteri
Pertahanan ASEAN dan para Panglimanya yang terdiri dari enam hal: terorisme,
keamanan maritim, Humanitarian
Assistance/Disaster Relief (HADR), bencana alam, foodsecurity, dan climate
change belum memasukkan cybersecurity.
Mengingat perkembangan cybersecurity
yang dapat berdampak terhadap keamanan nasional secara serius maka cybersecurity dapat menjadi pertimbangan
tersendiri sebagai ancaman yang harus mendapatkan prioritas.
d.
Dalam merumuskan cyberterorism diketahui bahwa PBB maupun
negara-negara Asia-Pasifik masih kesulitan karena definisi terorisme yang belum sepaham. Namun
demikian peserta sepakat bahwa cyberterorism
dengan tindakannya merupakan ancaman bersama yang serius, yang dapat menganggu
keamanan regional dan keamanan masing-masing negara.
e.
Negara-negara
harus mempertimbangkan apa penekanan
fokus kebijakan yang harus
dimiliki - apakah pendekatan regional
atau global akan lebih cocok untuk kebutuhan spesifik. Hubungan antara ranah
domestik dan arena global adalah bahwa dari hubungan vertikal, dengan negara
memilih untuk berpartisipasi dalam organisasi internasional untuk lebih kebutuhan
sendiri. Namun, kehadiran negara-negara dengan berbagai kapasitas dalam
komunitas internasional membuat sulit untuk memungkinkan resolusi cepat dari
suatu masalah tertentu. Cepatnya perubahan di dunia maya - dan munculnya
petugas dari ancaman berbasis web terhadap negara, pasar, masyarakat dan
individu - memerlukan tindakan cepat oleh aktor securitizing jika media penting
melalui mana sebagian besar penduduk dunia saat berkomunikasi adalah untuk
dipertahankan. Apa yang dibutuhkan Oleh karena itu struktur horizontal yang
mendukung di mana negara-negara pada tingkat yang sama dari pembangunan, dengan
kebutuhan yang serupa dapat bekerja sama dalam meningkatkan keamanan cyber
mereka. Penciptaan tingkat regional
pemerintahan telah menciptakan ruang kolaboratif dimana kegiatan horisontal
tersebut dapat berlangsung.
15.
Rekomendasi
a.
Perlunya
negara-negara untuk mempertimbangkan apa penekanan fokus kebijakan harus
memiliki - apakah pendekatan regional atau global akan lebih cocok untuk
kebutuhan spesifik. Hubungan antara ranah domestik dan arena global adalah
bahwa dari hubungan vertikal, dengan negara memilih untuk berpartisipasi dalam
organisasi internasional untuk lebih kebutuhan sendiri. Menyarankan kepada Pemerintah khususnya Menkum
HAM TNI, Polri, Menkominfo, untuk mengkaji kembali dan koordinasi secara bersama
dalam menentukan cybersecurity beserta turunannya yang dapat berdampak terhadap
keamanan nasional, serta mengkaji dan merevisi Revisi UU No.
11 Tahun 2008 tentang ITE dan mempercepat realisasi RUU TIPITI (Tindak Pidana
Teknologi Informasi/Cyber Crime)
dilengkapi dengan peraturan pelaksanaannya yang visioner dan akomodatif dalam
mengimbangi kemajuan teknologi utamanya kejahatan lewat cyberspace.
b.
Mengingat cepatnya
perkembangan ICT termasuk cyberspace, oleh karenanya perlu kiranya Kemhan/TNI secara
serius mengkaji cybersecurity sebagai
salah satu ancaman, menjabarkannya dalam doktrin pertahanan dan doktrin TNI dan
petunjuk Angkatan beserta dengan kontijensinya.
c.
Rangkaian Workshop
dan konferensi mengenai Identity,
Cyberspace & National
Security, Cybersecurity & Cyberterrorism merupakan hal yang sangat berguna, oleh karena itu
Indonesia perlu mengirimkan personilnya untuk menghadiri kegiatan semacam ini
dan mengembangkannya. Dengan mengadakan kegiatan serupa bagi pengembangan
cybersecurity dan cyber deffence di Indonesia, yang dimotori oleh Kemhan/Unhan,
Kemenkominfo, Wantannas, TNI, dan Polri untuk mengadakan diskusi, workshop,
sarasehan, konferensi mengenai cyberspace,
cybersecurity, cybercrime, dan cyberterorism.
d.
Kementerian terkait
1)
Bersama
Pemda secara terus menerus melakukan
sosialisasi dan pemahaman kepada masyarakat luas terkait dengan UU RI No.
11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.
2)
Bekerjasama
dengan pihak swasta (pembangun situs)
memperketat persyaratan pembuatan account/registrasi
untuk menghindari penyalahgunaan penggunaan jejaring sosial.
3)
Bersama aparat penegak hukum
a)
Membentuk Satgas Kewaspadaan Nasional untuk melakukan pemantauan dan penelusuran setiap terjadi
indikasi informasi yang disebar luaskan melalui twitter dunia maya terkait isu-isu yang bernuansa SARA yang pada
akhir-akhir ini semakin meresahkan, dan melakukan blocking jika benar-benar mengarah kepada penyebaran kebencian dan
permusuhan.
b)
Merespon
dan mengimbangi berita-berita yang bersifat menghasut, menyesatkan, provokasi
dengan berita-berita yang sifatnya mencerdaskan masyarakat agar berita yang di
atas tidak berkembang ke kondisi yang lebih buruk.
c)
Mendorong pihak operator selular, berperan aktif untuk membantu
penegak hukum melakukan pelacakan dan mencari bukti berita SMS yang
terindikasi/berbau provokasi atau hasutan.
e.
Kementerian
terkait bekerja sama dengan Pemerintah Daerah dan
Swasta dibantu para Tokoh
Masyarakat, Tokoh Agama dan Tokoh
Pemuda:
1)
Membuat aturan mengenai kewajiban identitas riil dalam menggunakan account
jejaring sosial agar pengguna mempunyai tanggung jawab secara moral.
2)
Melakukan koordinasi, informasi dan edukasi, pencerdasan kepada
masyarakat luas agar selalu waspada dalam
menyikapi setiap adanya isu-isu yang berkembang terutama yang bernuansa SARA
baik pada dunia nyata maupun pada dunia maya untuk tidak mudah terpancing dan
terprovokasi hasutan yang belum tentu
benar sumbernya.
3)
Membangun dan meningkatkan budaya etika berjejaring sosial.
4)
Mengajak
para orang tua untuk meningkatkan pengawasan dan bimbingan terhadap
anak/keluarga dalam penggunaan jejaring sosial (cyberspace) agar tidak terpengaruh terhadap budaya yang kurang
baik.
5)
Mendorong
peran guru, dosen, pembimbing, pemuka agama, tokoh masyarakat/adat untuk
meningkatkan pengawasan secara terus menerus kepada warga masyarakat dan anak
didiknya.
f.
Aparat Penegak
Hukum :
1) Memperkuat
jumlah dan meningkatkan profesionalisme personil intelijen dan cyber-crime sampai tingkat Polres
guna meningkatkan fungsi pemantauan.
2)
Meningkatkan kualitas SDM yang mampu
menangani perangkat ICT yang digunakan Aparat penegak hukum
3) Melakukan komunikasi konstruktif,
memanfaatkan Intregated Criminal Justice
System (ICJS)/ Makejapol untuk
menerapkan hukuman maksimal bagi para pelaku penghasutan/penyebarluasan isu-isu
bernuansa SARA pada jejaring media sosial.
Jakarta,
Januari 2013
Dr. A. YANI ANTARIKSA., SE, SH, MM
LAKSAMANA
PERTAMA TNI
SEKRETARIAT
JENDERAL
DEWAN
KETAHANAN NASIONAL
____________________________________
|
|
LESSON LEARNED
RANGKAIAN
WORKSHOP
DAN CONFFERENCE CYBER SPACE NEGARA ASEAN
SERTA DAMPAKNYA BAGI INDONESIA
Oleh
Laksma TNI Dr. A. Yani Antariksa, SE,SH,MM.
Jakarta, Januari
2013
[2] Dr. Nicholas Thomas, Seminar on "Cyber Security In East Asia” RSIS Conference Room 1, Level B4, 4th December 2008.
[3] Speech By Senior Minister And Coordinating
Minister For National Security Prof S Jayakumar At The 2010 National Security
Dialogue With The Business Community On 27 July 2010, 9.40am At Orchard Hotel Ballroom
1 & 2
[4] Elina Noor, “VIRTUAL/REALITY: THE PROJECTION OF
RADICAL IDENTITY AND NATIONAL SECURITY IN CYBERSPACE”, Workshop, Cyberia,
Singapura, 20 Agustus 2012
[6] --------------,“Sarasehan
National cyber Defense, Majalah Wira, Vol 38, no 22 September Oktober 2012.
[7]
Ibid, Elina Noor .
Tidak ada komentar:
Posting Komentar