Senin, 23 September 2013

Ketahanan Bangsa Dalam Perspektif Ideologi Pancasila

KERUKUNAN UMAT BERAGAMA DAN BERKEPERCAYAAN DALAM MENJAGA HARMONISASI SOSIAL Prof. Dr. Musdah Mulia Pendahuluan Sebagai negara bangsa, Indonesia menghadapi masalah yang begitu kompleks dan rumit. Dengan jumlah penduduk sebanyak lebih 210 juta jiwa, Indonesia menduduki urutan ke-4 di dunia setelah RRC, India, dan USA. Di tambah lagi dengan kondisi penduduk yang sangat majemuk, terdiri dari sekitar 300 kelompok etnis yang memiliki lebih dari ribuan bahasa lokal dengan identitas kultural masing-masing serta tersebar di 13.000 pulau, besar dan kecil, dan merupakan negara kepulauan yang terbesar di dunia. Aneka ragam bentuk kesenjangan juga membalut kehidupan masyarakat Indonesia. Masyarakat Indonesia tediri dari orang-orang yang sangat terpelajar sampai dengan orang-orang yang buta huruf. Dari yang sangat rasional sampai yang sangat emosional. Dari yang sangat primordialistis sampai yang sangat nasionalistis. Dari yang sangat kaya, bahkan yang terkaya di dunia sampai yang sangat miskin, mungkin yang paling miskin di dunia. Demikian pula dari aspek keagamaan, didapati orang-orang dari yang sangat beragama dan sangat saleh sampai yang tidak mengenal ajaran agama. Dari yang berpandangan keagamaan sangat tolerans dan inklusif sampai kepada yang sangat fanatik dan eksklusif. Realitas yang ada menunjukkan betapa majemuk keadaan bangsa Indonesia. Pendek kata, sulit mencari negara di dunia ini yang mempunyai heterogenitas dan kemajemukan yang demikian kompleks seperti Indonesia. Realitas ini sepatutnyalah menyadarkan kita semua, terutama para pengambil keputusan, agar tidak gegabah apalagi berlaku arogan di dalam merumuskan suatu keputusan untuk kepentingan seluruh bangsa yang demikian beragamnya itu. Mengapa isu kerukunan semakin marak? Wacana mengenai pluralitas agama dan kerukunan umat beragama dan berkeyakinan dengan segala persoalan yang mengitarinya akan menjadi tetap dan bahkan semakin aktual, karena wacana ini tidak akan berakhir, seiring dengan semakin kuatnya upaya meneguhkan prinsip pluralisme agama di negeri ini. Bahkan pada akhir-akhir ini upaya untuk menjembatani umat beragama yang pluralis dengan berbagai pendekatan dalam mewujudkan dan meningkatkan kerukunan di antara mereka terus berlangsung. Paling tidak ada lima hal pokok yang melatarbelakangi semakin maraknya wacana kerukunan antar umat beragama. Pertama, perlunya sosialisasi bahwa pada dasarnya semua agama datang untuk mengajarkan dan menyebarkan kedamaian dan perdamaian dalam kehidupan manusia. Kedua, wacana agama yang pluralis, toleran, dan inklusif merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari ajaran agama itu sendiri. Sebab, pluralitas apa pun, termasuk agama, semangat toleransi dan inklusivisme merupakan sunnatullah yang tidak dapat diubah, dihalang-halangi dan ditutup-tutupi. Ketiga, ada kesenjangan antara cita-cita ideal agama dan realitas empirik kehidupan umat beragama di tengah masyarakat. Keempat, semakin kuatnya kecenderungan ekslusivisme dan intoleransi pada sebahagian umat beragama yang pada gilirannya memicu terjadinya konflik dan permusuhan yang berlabel agama. Kelima, perlu dicari upaya-upaya untuk mengatasi masalah-masalah yang berkaitan dengan kerukunan dan kedamaian antarumat beragama. Memahami tujuan hakiki agama dan kepercayaan Tujuan hakiki dari semua agama adalah memanusiakan manusia. Agama harus mengarahkan manusia untuk memperkuat spiritualitas dirinya. Agama harus mampu membina manusia agar menjadi baik dan sejahtera, baik fisik maupun mental, jasmani dan ruhani menuju kepada kebahagiaan yang abadi. Intisari dari semua ajaran agama berkisar pada penjelasan tentang masalah baik dan buruk, yaitu menjelaskan mana perbuatan yang masuk dalam kategori perbuatan baik yang membawa kebahagiaan, dan mana perbuatan buruk dan jahat yang membawa kepada bencana dan kesengsaraan. Agama memberikan tuntunan kepada manusia agar mengerjakan perbuatan baik dan menghindari perbuatan buruk demi kebahagiaan manusia itu sendiri. Tuhan, sang pencipta, sama sekali tidak merasa untung jika manusia mengikuti aturan yang diwahyukan-Nya, sebaliknya juga tidak merasa rugi jika manusia mengabaikan tuntunan-Nya. Sangat disayangkan misi agama yang amat suci dan luhur itu seringkali tidak terimplementasi dengan baik dalam kehidupan beragama penganutnya. Akibatnya, sejumlah konflik, tindakan eksploitasi, kekerasan dan diskriminasi, termasuk diskriminasi gender dilakukan atas nama agama. Islam, misalnya memiliki ajaran yang menekankan pada dua aspek sekaligus; aspek vertikal dan aspek horisontal. Aspek vertikal merupakan ajaran Islam yang berisi seperangkat kewajiban manusia kepada Tuhan, sementara aspek horisontal berisi seperangkat tuntunan yang mengatur hubungan antara sesama manusia dan juga hubungan manusia dengan alam sekitarnya. Sayangnya, aspek horisontal ini tidak terealisasikan dengan baik dalam kehidupan manusia, khususnya dalam interaksi dengan sesamanya. Akibatnya, dimensi kemanusiaan yang merupakan refleksi aspek horisontal Islam kurang mendapat perhatian di kalangan umat Islam. Kondisi inilah yang kemudian membawa kepada penampilan wajah Islam yang sangar dan tidak humanis dalam kehidupan publik. Komitmen agama seseorang seharusnya terbangun sejak dari lingkungan rumah tangga. Lingkungan sekolah dan masyarakat pada prinsipnya hanyalah menunjang komitmen keagamaan yang sudah terbentuk itu, tetapi anehnya dewasa ini banyak keluarga yang menyerahkan pembinaan keagamaan anak-anak mereka sepenuhnya pada sekolah dan institusi semacamnya di masyarakat. Kehidupan beragama di rumah tangga perlu diciptakan dengan suasana rasa kasih sayang atau silaturahmi antara ayah, ibu, anak, dan seluruh anggota keluarga lainnya. Sejumlah penelitian ilmiah, di antaranya penelitian Stinnet, J DeFrain pada 1987, membuktikan bahwa seseorang yang dibesarkan dalam keluarga yang tidak religius akan mendapatkan resiko yang lebih besar untuk terlibat dalam berbagai bentuk tindak kekerasan daripada mereka yang dibesarkan dalam keluarga yang religius. Apa makna kerukunan? Pengalaman konkret saya bergelut dalam upaya membangun kerukunan dan perdamaian melalui kerjasama masyarakat agama-agama menyimpulkan bahwa kerukunan itu adalah sebuah kondisi yang memenuhi paling tidak lima prinsip berikut: 1. Prinsip penghargaan terhadap semua manusia tanpa kecuali. Sebab, manusia adalah makhluk Tuhan yang paling mulia, makhluk yang memiliki harkat dan martabat. Apa pun agama dan kepercayaan seseorang, dia haruslah dihargai, baik sebagai manusia maupun sebagai warga negara. 2. Prinsip kesetaraan semua manusia, tidak ada satu pun manusia yang boleh diperlakukan secara diskriminatif untuk alasan apa pun. 3. Prinsip keadilan bagi semua manusia tanpa kecuali. Adil adalah pemenuhan hak-hak asasi manusia yang paling mendasar, seperti hak hidup, hak kebebasan beropini, hak kebebasan beragama, hak properti dan hak kesehatan reproduksi. 4. Prinsip pemenuhan kebutuhan dasar manusia, penghapusan kemiskinan, kelaparan, pengangguran, semua penyakit menular yang membahayakan. 5. Prinsip pemenuhan rasa aman, mencegah konflik, perang, dan segala bentuk teror yang membuat manusia merasa tidak aman. Kehidupan bangsa Indonesia dengan umatnya yang pluralis itu harus diwujudkan dalam suasana kehidupan yang penuh kasih sayang antar sesama umat manusia, dengan mewujudkan terlebih dahulu inklusivisme, kedamaian, dan kerukunan secara tulus di antara mereka. Kerukunan antar umat beragama yang pluralis di Indonesia tidak hanya berada pada tataran yang ideal, hanya berupa konsep, ide, rencana, rumusan-rumusan semata, yang dihasilkan dalam berbagai kesempatan yang dilakukan oleh berbagai tokoh umat beragama. Pada tataran wacana, semua konsep yang dikemukakan sangat bagus, semua ide yang dikemukakan sangat menarik, tetapi dalam tataran aplikasinya ide-ide dan cita-cita kerukunan yang diharapkan, belum sepenuhnya terpenuhi. Hal ini, antara lain, disebabkan belum tersosialisasinya ide-ide itu dalam tataran akar rumput, yang merupakan mayoritas terbesar dari umat ini, atau boleh jadi karena tataran akar rumput belum mampu memahami universalitas agama, yang mengandung nilai-nilai yang umum dan universal. Dalam rangka itu, sangat dituntut dari semua tokoh umat beragama dan penghayat kepercayaan untuk terus menerus melakukan upaya-upaya mensosialisasikan prinsip-prinsip agama-agama yang universal yang tidak hanya berlaku untuk suatu agama yang dianut oleh umat tertentu, tetapi juga terkandung di dalam agama-agama lain yang dianut oleh umat-umat yang lain, walaupun diakui dan disadari sepenuhnya bahwa dalam hal-hal tertentu terdapat titik-titik substansial tertentu yang sangat prinsipal pada setiap agama, yang tidak mungkin dapat disatukan. Titik-titik substansial itu tidak boleh menimbulkan hal-hal yang dapat menggoyah kerukunan di antara umat beragama. Upaya-upaya konkret yang harus dilakukan oleh para tokoh umat beragama dalam mewujudkan kerukunan dapat dilakukan melalui cara-cara berikut: Pertama, menumbuhkan rasa persatuan dan kesatuan dalam keragaman. Pluralitas agama dalam kehidupan bangsa Indonesia tidak boleh menimbulkan perpecahan dan perselisihan, apalagi perceraian di antara umat bergama. Rasa persatuan dan kesatuan harus ditanamkan dan ditumbuhkan dalam setiap diri individu umat beragama dalam rangka mencapai tujuan bersama dalam menciptakan kerukunan, kedamaian, dan ketenangan di antara sesama anak bangsa, tanpa ada rasa perbedaan antara satu dengan lainnya. Kita sama-sama tahu bahwa sila pertama dari Pancasila, yaitu Ketuhanan Yang Maha Esa, telah menyatukan umat agama dalam satu kesatuan, yaitu ketuhanan. Keragaman agama yang dianut oleh masing-masing umat beragama tidak boleh menghilangkan rasa persatuan dan kesatuan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Kita harus menyadari dan menyadarkan umat kita bahwa suatu agama bagi umatnya merupakan ikatan yang mengikat umatnya dengan nilai-nilai agama yang prinsipil di samping nilai-nilai agama yang universal, demikian pula agama-agama lainnya bagi umatnya masing-masing merupakan ikatan yang mengikat umatnya dengan nilai-nilai agama mereka yang prinsipil dan nilai-nilai agama yang bersifat universal. Nilai-nilai agama yang universal itulah yang harus menjadi pengikat di antara umat beragama. Sementara nilai-nilai luhur yang lahir dari budaya bangsa, seperti yang tertuang dalam UUD 1945 dan Pancasila menjadi alat pengikat dan pemersatu bangsa, tanpa memandang etnis, golongan, suku, maupun agama yang dianut. Kedua, membangun wacana agama yang toleran dan inklusif. Setiap penganut agama seharusnya tidak membuat agamanya sebagai sebuah wacana yang menakutkan dan menyeramkan penganut agama lain, sebaliknya penganut agama mampu menggambarkan agamanya sebagai agama yang menumbuhkan kasih sayang, tidak hanya di kalangan penganut agama itu sendiri, tetapi juga harus dapat menebarkan kasih sayang di antara penganut-penganut agama lainnya. Setiap agama, misalnya, mengakui bahwa setiap manusia, dari umat manapun dia berasal dan agama apa pun yang dia anut, harus dapat menciptakan kedamaian, keselamatan, dan ketenangan bagi orang lain. Para tokoh umat beragama harus mengembangkan wacana agama yang toleran dengan umat beragama yang lain dalam batas-batas toleransi yang ditentukan dalam setiap agama. Dalam pandangan Islam, ajaran agama merupakan rahmat bagi sekalian alam. Artinya, bahwa agama harus menciptakan kedamaian, keselamatan, dan ketenangan bagi semua orang. Wacana agama yang inklusif akan menjadi perekat yang mengikat hubungan antarumat beragama Wacana agama yang intoleran dalam suatu kehidupan masyarakat akan menimbulkan ketegangan-ketegangan di dalam kehidupan umat beragama itu sendiri, yang pada akhirnya akan menimbulkan pertikaian dan bahkan perpecahan di antara umat beragama. Kondisi seperti ini, jika tidak dapat diselesaikan secara dini, akan menimbulkan bahaya bagi persatuan dan kesatuan bangsa. Kehidupan umat beragama yang ekslusif dalam kehidupan sosial sebuah masyarakat akan menimbulkan jarak bahkan jurang di antara umat beragama, yang pada akhirnya membuka peluang bagi terwujudnya ketidakharmonisan di antara penganut agama dan penghayat kepercayaan. Ketiga, mengembangkan forum dialog antarumat beragama. Forum dialog merupakan sarana paling efektif untuk mengkomunikasikan berbagai masalah yang muncul di antara umat beragama di Indonesia. Pergaulan hidup sebuah masyarakat yang pluralis, tidak hanya dari sisi agama, tetapi juga etnis, pasti menimbulkan gesekan-gesekan sosiologis yang tidak terhindarkan, yang mungkin pada mulanya gesekan itu tidak berarti apa-apa, tetapi lama kelamaan akan dapat menjadi persoalan yang besar dan menimbulkan ancaman bagi kerukunan hidup di antara umat beragama. Apabila gesekan-gesekan sosiologis dapat secara dini diketahui lalu dikomunikasikan di antara tokoh umat beragama melalui forum dialog itu, maka gesekan-gesekan itu dapat diredam, dan dapat diselesaikan secara lebih dini. Dialog di antara tokoh umat bergama itu sudah banyak dilakukan, namun hasil-hasil dialog itu belum tersosialisasikan secara merata hingga di tingkat bawah, sehingga hasil-hasilnya hanya dapat diketahui oleh tingkat atas, sedangkan tingkat bahwa tidak kurang memehaminya. Oleh sebab itu, hasil-hasil dialog yang telah dicapai oleh setiap tokoh agama harus dikomunikasikan dengan umat di tingkat bawah. Berkaitan dengan forum dialog ini, saya mengusulkan beberapa model dialog: Pertama, dialog parlementer (parliamentary dialogue), yakni dialog yang melibatkan ratusan peserta. Dialog seperti ini cenderung memusatkan diri dalam penciptaan dan pengembangan kerjasama yang lebih baik di antara berbagai kelompok agama serta penggalangan perdaiaman di antara para pemeluk agama. Kedua, dialog kelembagaan (institutional dialouge), yaitu dialog di antara wakil-wakil institusi berbagai organisasi agama. Dialog model ini dimaksudkan untuk membicarakan dan memecahkan masalah-masalah mendesak yang dihadapi umat agama yang berbeda, disamping dimaksudkan untuk menciptakan dan mengembangkan komunikasi di antara wakil-wakil kelembagaan dari organisasi-organisasi agama. Ketiga, dialog teologi (theological dialogue), yaitu dialog yang bertujuan membahas persoalan-persoalan teologis dan filososfis, seperti Tuhan dalam perspektif Islam dan Kristen, dan juga membahas hal-hal yang lebih luas, seperti tradisi suatu keagamaan dalam konteks pluralisme. Keempat, dialog dalam masyarakat (dialogue in community) dan dialog kehidupan (dialogue of life) yang bertujuan untuk memecahkan hal-hal yang aktual dalam kehidupan bersama antar umat beragama, seperti hubungan antara agama dan negara, dan hak-hak minoritas agama. Kelima, dialog kerohanian (spiritual dialogue), yaitu dialog yang bertujuan untuk menyuburkan dan memperdalam kehidupan spiritual di antara berbagai agama. Model-model dialog seperti yang dikemukakan di atas, yang mempunyai tekanan dan tujuan yang berbeda-beda, akan sangat efektif untuk membantu mengatasi berbagai permasalahan yang timbul dan dihadapi oleh umat beragama. Karena semua persoalan dikomunikasikan dalam dialog itu, maka semua persoalan dapat diselesaikan lebih dini. Apabila forum dialog itu tidak dapat berjalan di antara umat beragama, maka setiap umat akan berjalan sendiri-sendiri tanpa memperdulikan peroslan-perslan yang dihadapoi oleh umat beragama yang lain. Keempat, rekonsiliasi dan kerjasama. Gesekan-gesekan yang timbul dalam kehidupan umat beragama di Indonesia pasti terjadi dan sulit dihindari sama sekali dan hal ini kadang-kadang menjadi sumber terjadinya pertikaian di antara umat beragama. Pertikaian-pertikaian yang muncul dapat segera diredam dan bahkan dapat diselesaikan secara dini di antara tokoh umat beragama. Pertikaian-pertikaian kecil yang terjadi di tingkat bawah tidak boleh dibiarkan berlarut-larut dan tidak boleh dipandang enteng oleh setiap tokoh umat beragama, karena kalau dibiarkan akan menjadi persoalan yang besar yang kapan saja bisa meledak dan menimbulkan musibah besar bagi persatuan dan kesatuan bangsa. Pertikaian-pertikaian yang sudah terjadi di antara umat bergama tidak boleh dibiarkan berlarut-larut dan harus segera diselesaikan secara bersama-sama oleh semua pihak, tidak hanya tokoh agama masing-masing, tetapi juga harus melibatkan semua unsur dalam sebuah kelompok, termasuk di dalamnya unsur pemerintah. Salah satu cara yang dilakukan adalah mengadakan rekonsiliasi di antara umat yang bertikai, dengan mengadakan kesepakatan bersama untuk mewujudkan kembali kedamaian dan kerukunan. Kerjasama di antara umat beragama dalam kehidupan berbangsa dan bernegara harus dapat diwujudkan. Kerjasama yang terjalin di antara mereka merupakan jembatan yang dapat menghubungkan penganut sebuah agama dengan penganut agama lainnya dalam sebuah kerangka kerjasama yang melibatkan berbagai unsur dalam setiap agama. Kerjasama dapat menumbuhkan saling pengertian dan saling percaya di antara umat beragama, dan sebaliknya dapat menghilangkan rasa curiga di antara satu dengan yang lainnya. Perlu kerjasama yang tulus dan konkret Kerukunan antar umat bergama dan penghayat kepercayaan dalam mewujudkan, memelihara, dan meningkatkan kedamaian di dalam kehidupan berbangsa dan bernegara tidak dapat diwujudkan secara optimal dalam realitas kehidupan sosial, apabila para tokoh umat beragama dan penghayat kepercayaan tidak bekerjasama secara tulus dan serius untuk mencapai tujuan itu. Para tokoh umat beragama sepenuhnya telah menyadari bahwa kedamaian, dan ketenangan merupakan dambaan setiap manusia, termasuk dambaan setiap umat beragama manapun. Setiap agama mengajarkan umatnya untuk hidup dalam kedamaian dan keselamatan. Tokoh-tokoh agama tidak hanya bertemu dan bertemu terus, tanpa mengaplikasikan hasil-hasil pertemuan itu dalam tataran bawah (grass root) di kalangan umat mereka masing-masing. Toleransi, inklusivisme, dan kerjasama dalam hal-hal yang universal sangat dituntut dalam kehidupan umat beragama, sepanjang semua pihak mengakui bahwa semua itu ditujukan untuk mencapai kelamatan, kedamaian, dan kesejahteraan bersama. Satu hal penting yang perlu diusulkan pada kesempatan ini ialah pembuatan Undang Undang Mengenai Kerukunan Umat Beragama dan Berkepercayaan. Undang-undang tersebut diperlukan untuk menentukan segala aturan main yang terkait dengan kehidupan umat beragama di Indonesia. Undang-undang itu akan mengatur apa yang boleh dilakukan dan apa yang tidak boleh dilakukan dalam tananan kehidupan keberagamaan masyarakat. Namun, perlu diingat bahwa undang-undang tersebut sungguh-sungguh mengedepankan nilai-nilai luhur Pancasila dan Konstitusi negara. Tetap mengacu kepada prinsip-prinsip hak asasi manusia, khususnya hak kebebasan beragama bagi semua warga negara tanpa kecuali. Sebaliknya, undang-undang tersebut tidak mengandung unsur-unsur diskriminatif terhadap kelompok minoritas agama, kelompok penghayat kepercayaan dan kelompok rentan lain di negeri ini. Adanya undang-undang tersebut, setidak-tidaknya dapat menjadi pedoman bagi semua umat beragama dan penghayat kepercayaan, tanpa pembedaan sedikit pun, mulai dari lapisan atas hingga lapisan bawah untuk bentindak sesuai dengan tuntunan undang-undang dimaksud. Dengan demikian, gesekan-gesekan yang terjadi di antara umat beragama dapat diminimalkan dan ini akan memberikan dampak yang efektif dalam meningkatkan kerukunan di antara umat beragama. Semoga ada manfaatnya Jakarta, 7 Sep 2013

Tidak ada komentar:

Posting Komentar