Senin, 23 September 2013

KETAHANAN BANGSA DALAM PERSPEKTIF IDEOLOGI PANCASILA Oleh: Prof. Dr. SOEPRAPTO, M.Ed. Pengantar Ketahanan adalah suatu kemampuan untuk mempertahankan diri dari berbagai ancaman, tantangan, hambatan dan gangguan yang mengganggu eksistensi dan kelestarian suatu entitas. Seperti halnya manusia untuk tetap eksis dan tetap berlangsung segala aktifitasnya, diperlukan ketahanan jasmani dan ketahanan rohani. Berbagai macam penyakit selalu mengancam kesehatan manusia. Apabila manusia lengah tidak memiliki ketahanan dalam melawan penyakit tersebut, ia akan dirundung oleh kondisi yang sangat merugikan bagi kelangsungan dirinya, sehingga tidak mampu melakukan aktifitas yang akan membawa pada keberhasilan hidupnya. Tantangan yang dihadapi oleh manusia bukan hanya tantangan yang bersifat fisikal, tetapi justru yang utama adalah tantangan yang bersifat rohani. Nabi Muhammad saw menekankan setelah usainya perang Badar, bahwa masih terdapat perang yang lebih besar yakni perang terhadap nafsu pribadi. Oleh karena itu manusia tidak dapat membiarkan diri dipengaruhi oleh rayuan-rayuan yang hanya untuk memuaskan hawa nafsu. Perlu di-identifikasi secara cermat nafsu yang menjerumuskan manusia sehingga mengantar ke nestapa. Pada prinsipnya Tuhan secara alami telah membekali manusia dengan berbagai daya tahan pada manusia untuk melawan tantanganan-tantangan tersebut. Daya tahan tersebut merupakan kekuatan yang tersembunyi di balik eksistensi manusia yang selalu siap menghadapi tantangan. Orang akan jatuh sakit akibat kelengahan manusia tidak sigap dalam memanfaatkan daya tubuh dengan akurat dan tepat. Demikian pula halnya dengan negara-bangsa. Suatu bangsa sebagai suatu entitas juga akan menghadapi berbagai tantangan yang harus diidentifikasi secara cermat dan akurat, untuk selajutnya di antisipasi secara tepat pula. Perlu difahami daya tahan yang terdapat dalam bangsa untuk dapat dimanfaatkan secara tepat dan benar dalam mengantisipasi tantangan yang dihadapi. Dalam rangka membahas judul di atas perlu difahami (a) Makna bangsa, (b) Tantangan yang dihadapi bangsa, (c) Idelogi Pancasila sebagai daya tahan bangsa, dan (d) Ketahanan bangsa. 1. Makna Bangsa Konsep bangsa diduga baru lahir sekitar abad ke-18, mulai berkembang di Eropa, dan Amerika Utara, melebarkan sayapnya ke Amerika Latin dan Asia, dan kemudian ke Afrika. Bangsa, baru dikenal pada abad ke 19. Memang sebelum masa itu telah terdapat masyarakat yang mungkin sangat maju dan sangat berkuasa, tetapi tidak mencerminkan adanya suatu bangsa. Yang dikenal pada waktu itu adalah faham keturunan yang kemudian menciptakan dinasti-dinasti dan wangsa, yang berarti keluarga. Baru setelah terjadi revolusi Perancis pada akhir abad ke 18 dan permulaan abad ke 19 mulailah orang memikirkan masalah bangsa. Elie Kedourie dalam bukunya yang berjudul Nationalism, mengatakan bahwa :”Nationalism is a doctrine invented in Europe at the begimning of the nineteenth century.”[1] Paham nasionalisme sebagai doktrin baru ditemukan di Eropa pada permulaan abad ke sembilanbelas. Bangsa tidak terjadi atau lahir dengan sendirinya, tetapi melalui sejarah yang panjang, yang pada umumnya didorong oleh para elit masyarakat, yang menginginkan terbentuknya suatu bangsa. Para elit masyarakat tersebut pada umumnya berjuang dengan segala daya dan upaya tanpa kenal lelah sehingga idee terbentuknya negara-bangsa terwujud. Tidak dapat dipungkiri bahwa Deklarasi Kemerdekaan Amerika Serikat, yang melahirkan negara-bangsa Amerika Serikat, pada tanggal 4 Juli 1776, merupakan perjuangan dari Thomas Jefferson dan tokoh-tokoh pejuang kemerdekaan lainnya pada waktu itu. Demikian juga Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia, yang melahirkan negara-bangsa Indonesia, pada tanggal 17 Agustus 1945, merupakan perjuangan Ir. Soekarno dan the founding fathers yang lain sejak tahun 1908. Para pejuang yang mengusahakan terwujudnya negara-bangsa tersebut kemudian mengembangkan paham yang disebut paham kebangsaan atau nasionalisme. Akhirnya diperioleh suatu kesepakatan bahwa: Bangsa adalah sekelompok manusia yang mengadakan kesepakatan atau kontrak sosial, dan mengikatkan diri dalam satu kesatuan. Hal ini ditimbulkan oleh pengalaman dan perkembangan sejarah yang sama, dan/atau memiliki adat budaya yang sama yang dipegang teguh sehingga merupakan identitas dari kelompok manusia tersebut, serta memiliki cita-cita yang ingin diwujudkan bersama. Terdapat persyaratan suatu kelompok masyarakat atau komunitas untuk disebut negara-bangsa, yaitu: a. Memiliki cita-cita bersama yang mengikat warganya menjadi satu kesatuan. b. Memiliki sejarah hidup bersama, sehingga tercipta rasa senasib sepenanggungan. c. Memiliki adat budaya, kebiasaan yang sama sebagai akibat pengalaman hidup bersama. d. Memiliki karakter atau perangai yang sama yang mempribadi dan menjadi jatidirinya. e. Menempati suatu daerah tertentu yang merupakan kesatuan wilayah. f. Terorganisasi dalam suatu pemerintahan yang berdaulat, sehingga warga bangsa ini terikat dalam suatu masyarakat hukum menjadi negara-bangsa (nation state)[2] Negara Indonesia memenuhi syarat sebagai suatu negara-bangsa, dengan alasan sebagai berikut: Ø Bahwa penduduk yang menempati ribuan kepulauan yang terletak antara samudera India dan samudera Pasifik, dan di antara dua benua Asia dan Australia, membentuk satu kesatuan geopolitik, sehingga memenuhi syarat bagi terbentuknya suatu negara-bangsa, yang bernama Indonesia, dan telah dikukuhkan sebagai anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa. Ø Bahwa negara-bangsa Indonesia memiliki ciri khusus berupa karakter atau perangai, gagasan dasar yang melandasi, yang merupakan pribadi negara-bangsa yaitu Pancasila dasar negara, ideologi dan pandangan hidup bangsa, bendera Sang Merah Putih, lagu kebangsaan Indonesia Raya, lambang negara Bhinneka Tunggal Ika, serta bahasa Indonesia. Ø Terbentuknya rasa kebangsaan yang melahirkan paham kebangsaan, untuk selanjutnya menjadi pendorong atau semangat kebangsaan yang bermuara pada berkembangnya wawasan kebangsaan. Dengan berlangsunnya interaksi antar anggota/warga bangsa dalam kehidupan bersama utamanya dalam mencari solusi yang dihadapi, tumbuh dan berkembang rasa yang menyatukan dan mengikat warga bangsa. Rasa tersebut adalah rasa kebangsaan, yaitu: Suatu perasaan yang tumbuh sebagai akibat kesadaran warga yang mengikat anggota warga bangsa menjadi satu kesatuan secara alami berkat sejarah dan/atau aspirasi yang dimiliki bersama. Rasa kebangsaan ini menumbuhkan rasa persaudaraan dan persatuan yang bermuara pada tumbuh kembangnya kesamaan pandangan, harapan dan tujuan bangsa. Rasa kebangsaan inilah yang mengkristal menjadi jatidiri bangsa, yang memanifestasikan diri menjadi: Ø Rasa persaudaraan, rasa kebersamaan, rasa senasib sepenanggungan, rasa kepedulian, rasa empati. Ø Rasa menyatunya diri dengan bangsa dengan adagium “tat twam asi,” aku adalah bangsa Indonesia dan bangsa Indonesia adalah aku. Ø Sense of belonging, sense of participation, and sense of responsibility. Ø Rasa melu handarbeni, rasa melu hangrungkebi, mulat sarira hangrasa wani. Sura dira jayaningrat lebur dening pangastuti, yaitu: Ø suatu perasaan ikut memiliki serta merasa dirinya merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari bangsanya; Ø suatu perasaan ikut berpartisipasi dalam menjaga eksistensi, keselamatan dan kokoh kuatnya bangsa; Ø suatu perasaan ikut bertanggung jawab terhadap tumbuh kembang dan kejayaan bangsa, dengan selalu berpegang teguh pada prinsip mawas diri dalam mengambil tindakan secara etis. Rasa kebangsaan ini akan mewujud atau mengejawantah dalam suatu tindakan atau perbuatan apabila didorong oleh semangat kebangsaan, yakni Semangat yang merupakan daya dorong untuk bertindak mengacu pada paham kebangsaan atau nasionalisme berdasar pada Pancasila, UUD 1945, Negara Kesatuan Republik Indonesia, dan Bhinneka Tuinggal Ika, yang bermuara dan teraktualisasi dalam bentuk rasa cinta yang tinggi serta rela berkorban demi kepentingan negara-bangsa. Rasa kebangsaan ini akhirnya mewujud dalam bentuk gagasan dasar yang dijadikan pola pikir, pola sikap dan pola tingkah laku secara konsisten dalam menghadapi lingkungan, dalam mencapai tujuan bersama, yang mengkristal menjadi paham kebangsaan, atau nasionalisme. Dengan demikian: Paham kebangsaan, atau nasionalisme merupakan aktualisasi rasa kebangsaan dalam bentuk gagasan dasar yang dijadikan pola pikir, pola sikap dan pola tingkah laku masyarakat secara konsisten dalam menghadapi lingkungan dan dalam mencapai tujuan bersama. Nasionalisme atau paham kebangsaan adalah suatu paham yang menjadi doktrin, untuk dilaksanakan dalam kehidupan. Nasionalisme atau paham kebangsaan adalah suatu paham yang memiliki doktrin, untuk dilaksanakan dalam kehidupan. Doktrin tersebut adalah : a. Loyalitas utama rakyat dalam kehidupan duniawi (the supreme secular loyalty) ditujukan kepada negara-bangsa dan bagi kepentingan negara-bangsa; kepentingan negara-bangsa didudukkan di atas kepentingan pribadi dan golongan. b. Setiap warganegara dituntut memiliki kesadaran yang tinggi bahwa dirinya merupakan unsur/bagian dari suatu kelompok manusia yang namanya bangsa, serta merasa bangga akan negara-bangsanya. c. Setiap warga negara dituntut memiliki solidaritas dan empati yang tinggi pada segala unsur yang membentuk negara-bangsa. d. Setiap warganegara dituntut untuk mencintai negara-bangsanya dan rela berkorban demi negara-bangsanya. Bila rasa kebangsaan, paham kebangsaan dan semangat kebangsaan ini telah menyatu dan menjadi sudut pandang bangsa dalam mengantisipasi segala persoalan bangsa maka berkembanglah menjadi wawasan kebangsaan. Wawasan kebangsaan adalah cara pandang bangsa Indonesia dalam mengantisipasi permasalahan yang dihadapi dengan berdasar pada falsafah dan ideologi Pancasila, landasan legal UUD 1945, struktur kelembagaan Negara Kesatuan Republik Indonesia, dan sesanti Bhinneka Tunggal Ika. Terdapat rumusan-rumusan atau frase-frase dalam Pembukaan UUD 1945 yang dipergunakan sebagai ciri wawasan kebangsaan bangsa Indonesia sebagai berikut: Ø Pada alinea pertama disebut bahwa “kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa. Ø Pada alinea ketiga disebut: “Atas berkat rakhmat Allah Yang Maha Kuasa dan dengan didorongkan oleh keinginan luhur, supayaberkehidupan kebangsaan yang bebas, maka rakyat Indonesia menyatakan dengan ini kemerdekaannya.” Ø Pada alinea keempat terdapat: “Kemudian daripada itu untuk membentuk suatu Pemerintah Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskankehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial, maka disusunlah Kemerdekaan Kebangsaan Indonesia itu dalam suatu Undang-Undang Dasar Negara Indonesia, yang terbentuk dalam suatu susunan Negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat dengan berdasar kepada Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang adil dan beradab, Persatuan Indonesia dan Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan, serta dengan mewujudkan Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.” Dari frase-frase yang terdapat dalam Pembukaan UUD 1945 tersebut nampak dengan jelas bahwa yang ingin direalisasikan dengan kemerdekaan Indonesia adalah kemerdekaan kebangsaan Indonesia, yang ingin diwujudkan di antaranya adalah mencerdaskan kehidupan bangsa, yang menjadi perhatian dalam hidup bernegara adalah segenap bangsa Indonesia. Dengan demikian dalam hidup menegara bagi bangsa Indonesia yang diutamakan adalah kepentingan negara-bangsa. Hal ini diperkuat dengan dasar negara, khususnya sila ketiga, yang harus melandasi segala kegiatan kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Meskipun demikian harkat dan martabat manusia harus dihormati, sebagaimana ditegaskan dalam sila kedua, sehingga yang ingin diwujudkan dengan wawasan kebangsaan Indonesia adalah terjadinya keselarasan, keserasian, dan keseimbangan dalam merealiasikan berbagai tuntutan dari para pemangku kepentingan,stakeholders, dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Dengan cara demikian maka harmoni dalam pemenuhan kepentingan pribadi dan negara-bangsa akan terwujud dalam hidup menegara yang berwawasan kebangsaan Indonesia. Pegangan dalam mengimplementasikan wawasan kebangsaan bagi bangsa indonesia dapat pula merujuk pada misi yang diemban negara-bangsa Indonesia. Terdapat empat misi atau embanan bangsa, yakni: a. Melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia; b. Memajukan kesejahteraan umum; c. Mencerdaskan kehidupan bangsa; dan d. Ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial. Dalam rangka memahami wawasan kebangsaan perlu pula dipahami pengertian wawasan nusantara. Wawasan kebangsaan dan wawasan nusantara merupakan dua sisi dari satu mata uang. Wawasan Nusantara adalah: Cara pandang dan sikap bangsa Indonesia mengenai diri dan lingkungannya, dengan mengutamakan persatuan dan kesatuan wilayah dalam penyelenggaraan hidup bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Cara pandang bangsa berdasar pada konsep kewilayahan; bahwa Negara Republik Indonesia merupakan negara kepulauan, yang membentang dari Sabang sampai Merauke dan dari pulau Miangas sampai pulau Rote merupakan suatu kesatuan yang utuh. Selat dan laut yang terbentang antara pulau bukan sebagai pemisah tetapi menjadi penghubung pulau-pulau tersebut menjadikan kesatuan. Segala hal ihwal yang terdapat di dalam wilayah tersebut merupakan suatu kesatuan yang terwujud dalam delapan dimensi yang disebut astha gatra. Apabila rasa kebangsaan, semangat kebangsaan, paham kebangsaan, wawasan kebangsaan dan wawasan nusantara telah tumbuh dan mengakar dalam diri setiap manusia Indonesia akan menjadi daya tahan yang ampuh dalam menghadapi segala macam ancaman, tantangan, hambatan dan gangguan. Oleh karena itu perlu diusahakan dengan sepenuh hati agar setiap manusia Indonesia memiliki rasa, semangat, paham dan wawasan kebangsaan yang kuat dalam memperkokoh ketahanan bangsa yang dilandasi oleh ideologi Pancasila. Setiap manusia Indonesia wajib memahami makna dan hakikat Pancasila, serta konsep yang terdapat di dalamnya. 2. Konsep yang terdapat dalam Pancasila Konsep yang terkandung dalam Pancasila terbagi menjadi konsep yang berkaitan dengan hakikat eksistensi manusia, dan konsep yang berkaitan dengan tata hubungan manusia dengan lingkungannya. a. Konsep tentang Hakikat Eksistensi Manusia. Konsep tentang hakikat eksistensi manusia ini menduduki posisi sangat sentral, karena tanpa mengetahui hakikat eksistensi manusia, kita tidak mungkin memahami dan mampu mendudukkan manusia sesuai dengan harkat dan martabatnya. Konsep yang lain merupakan derivasi dari konsep pokok ini. Eksistensi manusia tidak terlepas dari eksistensi alam semesta. Oleh karena itu untuk memahami hakikat eksistensi manusia perlu memahami hakikat eksistensi alam semesta. 1) Eksistensi Alam Semesta (Konsep MEAS – Abdulkadir Besar) a) Terdapat tiga tesis ontologik dalam memahami hakikat alam semesta, sebagai berikut: Ø Dalam alam semesta tidak ada satu fenomena yang mandiri, berdiri sendiri terpelas dari fenomena lain; Ø Ada itu bermakna memberi, hal ini merupakan suatu evidensi; Ø Suatu pendapat adalah benar, hanya apabila ia bersamaan dengan segenap relasi yang berkaitan dengannya. b) Manusia ada, sebagai suatu fenomena, selalu dalam relasi dengan fenomena yang lain. Ia tidak berdiri sendiri, tetapi selalu terikat dengan fenomena lain dalam suatu integritas. c) Relasi ini menampakkan diri dalam bentuk suatu interaksi saling memberi antar fenomena, yang berfungsi terciptanya sesuatu yang baru (novum). Sehingga suatu totalitas antar fenomena memiliki makna lebih dari keseluruhan kumpulan fenomena tersebut. Dalam alam semesta, fenomena yang berelasi ekuivalen merakit diri secara organik memunculkan jenjang baru yang integral. d) Pemeliharaan eksistensi alam semesta dimungkinkan adanya relasi kendali a-simetrik, yang didorong oleh energi yang terkandung pada setiap fenomena sesuai dengan fungsi dari setiap fenomena. Rakitan fenomena yang berenergi, yang berjenjang ke atas dan ke bawah tak terhingga itulah yang memungkinkan alam semesta eksis. e) Ada adalah memberi dengan asumpsi bahwa fenomena yang diberi akhirnya dapat melaksanakan hakikat eksistensinya, yakni memberi pada fenomena yang lain. f) Hakikat eksistensi manusia bersifat becoming, yang akan mengalami perkembangan dengan lingkungannya. (Soerjanto). Dari thesa-thesa yang dikemukakan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa hakikat eksistensi manusia adalah dalam kebersamaan, dan adanya saling ketergantungan. Terjadi proses interaksi antar unsur kehidupan bersama. Pancasila memberikan arahan bahwa eksistensi manusia selalu dalam relasi dengan Tuhannya, dengan sesama manusia, dengan masyarakat dan negara-bangsanya dan dengan dunia serta alam semesta. Berpegang pada konsep tersebut di atas, bangsa Indonesia memiliki karakter, bahwa dalam membawa diri manusia harus selalu sadar dan mendudukkan diri sebagai makhluk Tuhan, manusia wajib berusaha, tetapi selalu ridho terhadap apapun yang telah ditentukan oleh Tuhan, selalu menjaga keseimbangan dan harmoni, kebersamaan dengan makhluk ciptaan Tuhan yang lain, dan selalu mengusahakan terjadinya kelestarian lingkungannya. Manusia harus merasa sejahtera sebagai makhluk pemberi daripada sebagai makhluk peminta-minta. Keterangan : MEAS singkatan Mantikan Existensi Alam Semesta 2) Konsep Pluralistik Pancasila mengandung konsep kehidupan yang pluralistik baik ditinjau dari keanekaragaman suku bangsa, etnik, agama, maupun adat budaya. Sesuai dengan konsep bhinneka tunggal ika, maka dalam keanekaragaman ini terdapat watak bersama atau common denominator. Bung Karno menyebutnya sebagai de grootste gemene deeler dan de kleinste gemene veelvoud.(persekutuan pembagi terbesar dan persekutuan kelipatan terkecil). Dengan kata lain bahwa keanekaragaman ini bukan sebagai sumber perpecahan, disintegrasi, tetapi terikat dalam persatuan dan kesatuan. Dalam memberi makna akan bhinneka tunggal ika perlu diusahakan terjadinya keseimbangan antara keanekaragaman dan kesatuan, antara kepentingan pusat dan daerah. Keadilan akan terwujud bila pluralitas didudukkan secara proporsional dalam keseimbangan. Dari pandangan konsep pluralistik tersebut di atas maka Pancasila tidak sefaham dengan asas individualisme dan pluralisme yang mengagung-agungkan kepentingan pribadi, dan bahwa yang penting dalam kehidupan adalah terpenuhinya kepentingan pribadi. Pancasila mendudukkan pribadi sesuai dengan harkat dan martabat manusia dalam hidup kebersamaan, dan memandang sifat pluralistik masyarakat dalam persatuan dan kesatuan bangsa. Konsep pluralistik merupakan salah satu unsur karakter bangsa, yang akan nampak dalam sikap dan perilaku bangsa; bahwa seseorang dalam mengejar cita-cita harus menghormati pula cita-cita yang dituntut oleh pihak lain. Dapat saja cita-cita yang kita tuntut berbeda dengan cita-cita yang dituntut oleh pihak lain. Bahkan mungkin suatu perkara kita pandang sebagai suatu kebaikan dan keadilan, memberikan kenikmatan pada kita, dipandang oleh pihak lain sebagai keburukan dan kenestapaan. 3) Konsep Harmoni atau Keselarasan Alam semesta tertata dalam keselarasan, masing-masing unsur yang membentuk alam semesta berelasi dalam harmoni, sehingga terjamin kelestarian. Setiap unsur yang terdapat dalam alam semesta memiliki fungsi sesuai dengan kodrat bawaannya. Kewajiban setiap unsur tersebut adalah merealisasikan fungsi yang diembannya. Setiap unsur alam semesta dalam merealisasikan fungsinya, memanifestasikan potensi yang menjadi bekal pada lingkungannya. Dengan menunaikan kewajiban yang menjadi fungsinya maka tiap-tiap unsur memperoleh hak yang sepadan dengan fungsi yang diembannya. Terjadilah keserasian antara kewajiban dan hak, antara kewajiban asasi dan hak asasi. Apabila masing-masing unsur dalam alam semesta ini telah menunaikan fungsinya secara tepat dan benar, maka akan terjadi ketertiban, keteraturan, ketenteraman dan kedamaian. Yang terasa adalah adanya kenikmatan dalam tata hubungan. Demikianlah, apabila antara individu, masyarakat, negara-bangsa dan dunia dapat menempatkan diri secara tepat dan benar dalam tata hubungan sesuai dengan potensi alami yang dibawanya, maka akan tercipta harmoni atau keselarasan. Kekuatan yang menjadi modal dari setiap unsur bukan saling beradu untuk mencari menangnya sendiri, tetapi berpadu menjadi kekuatan yang sinerjik. Yang akan terasa adalah kenikmatan dalam kehidupan. Keserakahan tidak terjadi, pemerasan antar unsur tidak nampak, dengan demikian keadilan dan kesejahteraan akan terwujud. Perlu dicatat bahwa konsep harmoni bukan suatu konsep yang statis, beku, tetapi merupakan konsep yang dinamis. Konsep harmoni ini mewarnai karakter bangsa kita. 4) Konsep Gotong Royong dan Kekeluargaan Dalam pidatonya pada tanggal 1 Juni 1945 di depan BPUPKI, Ir Soekarno di ataranya mengemukakan tentang dasar negara sebagai berikut: Jikalau saya peras yang lima menjadi tiga, dan yang tiga menjadi satu, maka dapatlah saya, satu perkataan Indonesia yang tulen, yaitu perkataan Gotong Royong. Negara Indonesia yang kita dirikan haruslah negara gotong royong! Alangkah hebatnya! Negara Gotong Royong. Gotong Royong adalah faham yang dinamis, lebih dinamis dari kekeluargaan, saudara-saudara. Kekeluargaan adalah faham yang statis, tetapi gotong royong menggambarkan satu usaha, satu amal, satu pekerjaan, yang dinamakan anggota yang terhormat Soekarjo satu karyo, satu gawe. Marilah kita menyelesaikan karyo, gawe, pekerjaan, amal ini, bersama-sama. Gotong royong adalah pembantingan-tulang bersama, pemerasan keringat bersama, perjuangan bantu-binantu bersama. Amal semua buat kepentingan semua, keringat semua buat kebahagiaan semua. Holopis kuntul baris buat kepentingan bersama. Itulah Gotong Royong. Prinsip Gotong Royong di antara yang kaya dan yang tidak kaya, antara yang Islam dan yang Kristen, antara yang bukan Indonesia tulen dengan peranakan yang menjadi bangsa Indonesia. Demikianlah pandangan Ir. Soekarno mengenai konsep gotong royong yang beliau sebut sebagai suatu prinsip. Gotong royong adalah konsep dalam hidup bermasyarakat yang menggambarkan adanya bentuk kerjasama dengan ciri sebagai berikut : Ø Semua yang terlibat dalam kehidupan bersama, memberikan saham sesuai dengan kemampuan masing-masing dalam mencapai tujuan bersama. Masing-masing bekerja dengan sepenuh hati dalam kerja sama tersebut. Ø Hasil kerja sama ini adalah untuk kepentingan bersama, kebahagiaan bersama. Ø Dalam gotong royong tidak terjadi exploitation de ‘l homme par ‘l homme. 5) Konsep Kekeluargaan Faham kekeluargaan merupakan faham yang berkembang pada bangsa Timur termasuk Indonesia. Dapat kita amati faham kekeluargaan ini di India, Cina, dan Jepang. Salah satu ciri faham kekeluargaan ini adalah adanya penghormatan dan penghargaan pada orang tua, guru dan figur yang dipandang sebagai sesepuh, yang secara prerogatif memiliki hak-hak tertentu (termanifestasi dalam penghormatan orang tua, voorouder verering). Dengan faham kekeluargaan diharapkan terjadinya keselarasan dan keserasian dalam hidup bersama; kepentingan keluarga lebih utama dari kepentingan pribadi. Pandangan semacam ini yang sering menimbulkan pertentangan antara res privata dengan res publika. Dalam kehidupan yang bersendi kekeluargaan tidak membedakan antara kepentingan pribadi dan kepentingan umum, karena setiap pribadi dalam keluarga itu adalah keluarga itu sendiri. Paham kekeluargaan memang bukan faham individualisme yang mementingkan kepentingan individu di atas kepentingan umum. Paham kekeluargaan memberikan nuansa terhadap karakter bangsa, meskipun akhir-akhir ini faham kekeluargaan mengalami distorsi diakibatkan oleh maraknya faham individualisme yang kaku. 6) Konsep Integralistik Faham integralistik bermula timbul dari gagasan Dr. Soepomo yang disampaikan di depan Sidang BPUPKI pada tanggal 30 Mei 1945. Konsep yang diajukan oleh Dr.Soepomo ini kemudian terdapat dalam Penjelasan UUD 1945 dengan rumusan sebagai berikut: Negara –begitu bunyinya- melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dengan berdasar atas persatuan dengan mewujudkankeadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Dengan pembukaan ini diterima aliran pengertian negara persatuan, negara yang melindungi dan meliputi segenap bangsa seluruhnya. Jadi negara mengatasi segala paham golongan, mengatasi segala paham perorangan. Negara, menurut pengertian pembukaanitu menghendaki persatuan, meliputi segenap bangsa Indonesia seluruhnya. Inilah suatu dasar negara yang tidak boleh dilupakan. Catatan: Dengan perubahan UUD 1945, Penjelasan UUD 1945, tidak merupakan bagian UUD 1945 lagi. Namun sebagai penjelasan terhadap Pembukaan UUD 1945, kami pandang bermakna penting. Aliran pengertian negara persatuan seperti yang dimaksud dalam Penjelasan UUD 1945 ini tiada lain adalah faham integralistik seperti yang dimaksud dalam pidato DR. Soepomo di depan BPUPKI, suatu faham yang mengatasi faham individualisme atau perorangan maupun faham kolektivisme atau faham golongan. Seluruh komponen yang terlibat dalam kehidupan masyarakat dalam berbangsa dan bernegara membentuk suatu kesatuan yang integral. Konsep integralistik ini dikembangkan oleh Abdulkadir Besar, di antaranya sebagai berikut: Ø Antara negara dan rakyat terjalin oleh relasi saling tergantung. Interaksi saling-memberi antargolongan yang ada dalam masyarakat melahirkan negara; sebaliknya negara dengan relasi kendali a-simetriknya menyelenggarakan pengetahuan yang menjamin berlangsungnya interaksi saling memberi. Ø Anggota masyarakat memandang negara sebagai dirinya sendiri yang secara kodrati berelasi saling tergantung; sebaliknya negara memandang warganegaranya sebagai sumber genetik dirinya. Ø Antara rakyat dan negara tidak terdapat perbedaan kepentingan. Ø Yang berdaulat adalah seluruh rakyat bukan individu. Ø Kebebasan manusia adalah kebebasan relasional. Ø Putusan yang akan diberlakukan pada seluruh rakyat sewajarnya melalui proses musyawarah untuk mufakat. 7) Konsep Kerakyatan Kerakyatan atau demokrasi adalah suatu konsep yang terjabar dari suatu pandangan bahwa kedaulatan dalam hidup bernegara terletak di tangan rakyat, sehingga kekuasaan dan kewenangan yang diperlukan dalam mengatur suatu pemerintahan bersumber atau berasal dari rakyat. Persoalan yang timbul adalah bagaimana tata cara penyaluran kedaulatan yang ada pada rakyat sampai berupa kewenangan untuk memerintah. Lembaga negara apa saja yang diperlukan untuk merealisasikan kedaulatan rakyat tersebut, serta bagaimana tata kerja antar lembaga agar kedaulatan yang terletak di tangan rakyat tersebut dapat terealisasi dengan sepatutnya. Di samping itu bagaimana keputusan yang menyangkut hajat hidup orang banyak dapat ditentukan sehingga dapat terwujud keadilan dan kesejahteraan bagi seluruh rakyat. Abdulkadir Besar menyatakan tentang kerakyatan atau demokrasi ini sebagai berikut: Ø Yang berdaulat adalah seluruh rakyat bukan individu; Ø Kebebasan manusia adalah kebebasan-relasional; Ø Untuk mendapatkan putusan yang akan diberlakukan pada seluruh rakyat sewajarnya melalui proses musyawarah untuk mufakat; Ø Dengan prinsip saling memberi bermakna ikhlas mengakui kebenaran orang lain, berpasangan dengan berani mengakui kesalahan atau kekhilafan sendiri; Ø Dengan berlangsungnya interaksi saling-memberi antar pendapat yang berbeda muncullah novum yang berupa pendapat terbaik dari sejumlah pendapat yang berbeda mengenai hal yang sama; Ø Selanjutnya dikemukakan bahwa kerakyatan adalah berasa, berfikir, bersikap, dan kesediaan berbuat sesuai dengan keinsyafan keadilan rakyat. 8) Konsep Kebangsaan Rakyat Indonesia mengaku sebagai suatu bangsa yang berkembang sejak permulaan abad ke-20. Memang ada yang berpendapat bahwa perjuangan kebangsaan telah terjadi pada zaman Sriwijaya dan zaman Majapahit. Pendapat tersebut mungkin bersifat sangat politis. Menurut konsep akademik, perjuangan rakyat untuk mewujudkan suatu bangsa baru bermula dengan lahirnya pergerakan nasional Budhi Oetomo, pada tahun 1908, yang dipandang sebagai tonggak sejarah (corner stone) kebangkitan bangsa Indonesia. Perjuangan ini mengkristal menjadi suatu sumpah yang diucapkan oleh para pemuda pada tahun 1928, dengan menyatakan bahwa rakyat yang terserak dari Sabang sampai Merauke adalah suatu bangsa yang bernama Indonesia. Sumpah tersebut menjadi suatu kenyataan dengan diproklamasikannya Negara Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945, suatu negara-bangsa yang berwujud Negara Kesatuan Republik Indonesia. Tekad rakyat ini mengandung konsekuensi bahwa kepentingan negara-bangsa didudukkan di atas kepentingan pribadi dan golongan. Suatu keputusan bangsa memiliki kedudukan di atas kepentingan golongan dan pribadi. Tekad ini memerlukan pengorbanan, apalagi di masa sedang menggebu-gebunya perjuangan untuk menegakkan hak asasi manusia. Penegakan hak asasi manusia tidak perlu dipertentangkan dengan kepentingan negara-bangsa, karena rakyat itulah bangsa itu sendiri. Rakyat tidak terpisahkan dari negara-bangsanya. Suatu konsep yang berusaha untuk menciptakan polarisasi antara individu dan negara-bangsanya adalah suatu konsep yang tidak sesuai dengan konsep negara persatuan. Mengenai konsep kebangsaan ini Sri Sultan H.B.X menyatakan sebagai berikut: “Karena itu kebangsaan Indonesia yang berideologikan Pancasila harus bersifat inklusif serta egalitarian dalam bidang politik, budaya dan ekonomi yang dapat diwujudkan dan dipelihara secara dinamis, bila terdapat distribusi kekuasaan yang relatif seimbang di antara semua unsur bangsa pendukungnya.” Konsep kebangsaan dewasa ini memerlukan pemikiran secara lebih cermat dan mendalam khususnya dalam menghadapi tantangan global dan disintegrasi bangsa. Tanpa adanya konsep yang kuat mengenai kebangsaan, kehancuran negara-bangsa telah ada di depan mata, baik berupa leburnya negara-bangsa yang tidak memiliki harga diri lagi dalam dunia global, maupun akan terpecah belahnya negara-bangsa menjadi negara negara kecil. 9) Konsep monodualistik dan monopluralistik Monodualis berasal dari dua kata mono yang berarti satu dan duo yang berarti dua, sehingga konsep monodualis bermakna bahwa alam semesta ini pada hakikatnya terdiri atas dua unsur yang terikat menjadi suatu kesatuan. Waktu di dunia terdiri atas siang dan malam, manusia terdiri atas jenis priya dan wanita, kehidupan terdiri atas kehidupan di dunia dan akhirat, dan masih banyak lagi. Dua unsur tersebut terikat menjadi kesatuan. Ketiada hadiran salah satu dari unsur tersebut maka berakhirlah atau tiada bermaknanya eksistensi hal ihwal tersebut. Tuhan menciptakan alam semesta dalam wujud dua unsur yang saling terikat menjadi suatu kesatuan untuk dapat memberikan makna terhadap eksistensinya. Sebagai contoh listrik terdiri atas unsur positif dan negatif. Kehadiran unsur positif atau negatif saja tidak akan memberikan makna, tetapi bila dua unsur tersebut terikat dalam bentuk kesatuan akan menjadikan kekuatan yang luar biasa. Demikian pula halnya dengan manusia. Manusia terdiri atas unsur jasmani dan rokhani. Dengan menyatunya unsur jasmani dan rohani pada manusia maka akan terwujud makhluk yang memiliki makna dan kemampuan yang luar biasa. Terlepas atau terpisahnya unsur tersebut maka berakhirlah eksistensi manusia. Demikian juga kehidupan manusia merupakan suatu kesatuan antara kehidupan duniawi dan akhirat. Tanpa pengakuan akan adanya kehidupan yang monodualis ini maka kehidupan manusia tidak bermakna dan akan menjadi barbaris, tidak berakhlak, anarkhis dan anomis. Demikian pula halnya dengan hal-hal yang lain. Namun hakikat alam semesta juga monopluralis yang bermakna bahwa fenomena yang nampak pada alam semesta bersifat banyak atau beraneka ragam, tetapi hakikatnya adalah satu. Bahwa dalam keaneka ragaman tersebut terdapat suatu watak bersama (common denominator)yang mengikat menjadi kesatuan. Konsep-konsep tersebut di atas merupakan kebenaran yang diakui oleh bangsa Indonesia dan dijadikan acuan dalam berpola fikir, berxsikap dan bertingkah laku. b.Konsep Tata Hubungan Manusia dengan Alam Sekitar a) Konsep Religiositas Alam semesta dengan segala isinya ada dan begerak, tumbuh dan berkembang oleh suatu kekuatan gaib, yang manusia sendiri tidak mampu untuk memahami dengan seksama. Berkembanglah konsep mengenai hal yang gaib tersebut. Sesuai dengan tingkat daya nalar manusia, diberikan gambaran mengenai hal yang gaib tersebut. Suatu ketika manusia beranggapan bahwa kekuatan gaib tersebut tersembunyi dalam segala sesuatu yang berbentuk besar seperti batu yang besar, pohon yang besar, gunung yang besar, lautan yang luas dan sebagainya. Manusia harus bersikap yang baik terhadap benda-benda tersebut bila ingin selamat. Tingkah laku yang tidak terpuji akan mengundang kemarahan kekuatan gaib yang tersembunyi di dalam benda-benda tersebut, dan berakibat yang tidak menyenangkan bagi manusia. Hal yang gaib tersebut bersifat tremendum, menakutkan atau mengerikan, tetapi di sisi lain menggiurkan atau fascinosum. Pada masa berikut, manusia beranggapan bahwa sesuatu yang gaib tersebut dapat dimanfaatkan oleh manusia, seperti pohon yang besar dapat dimanfaatkan untuk membuat perahu yang dapat dipergunakan untuk mengarungi samudera yang luas. Meskipun demikian, dalam memanfaatkan benda besar tersebut masih memerlukan upacara-upacara atau peribadatan tertentu agar segala yang dikerjakan manusia selamat dan memberi manfaat. Berkembanglah kemudian suatu pola fikir bahwa kekuatan gaib ini tidak terdapat dalam benda yang besar, tetapi pada benda-benda keramat, seperti makam para leluhur dan orang hebat, pada benda-benda seperti keris, batu mulia dan sebagainya. Pada waktu manusia mulai terlibat dalam kegiatan pertanian timbul pertanyaan, mengapa suatu ketika usaha pertaniannya berhasil suatu ketika gagal meski telah diusahakan dengan sebaik mungkin. Timbul suatu gagasan bahwa di luar usaha manusia dalam pertanian ini terdapat kekuatan gaib di luar kekuasaan manusia. Manusia tidak mampu membuat padi tumbuh, manusia hanya mampu memberikan kondisi yang sebaik mungkin agar padi dapat tumbuh dengan subur. Terdapat kekuatan gaib yang menyebabkan padi tumbuh dan berhasil dengan baik. Manusia memproyeksikan diri pada kekuatan gaib tersebut, bahwa kekuatan gaib ini berbentuk seperti manusia tetapi mempunyai kekuatan dan kekuasaan yang luar biasa dan di luar jangkauan manusia. Gagasan tentang kekuatan gaib semacam itu disebut pandangan anthropomorph, memberikan gambaran kekuatan luar biasa tersebut dalam suatu persona seperti manusia. Contoh gagasan atau konsep anthropomorph ini misal dikenalnya Dewi Sri, Dewi Laksmi, Saripohaci dan sebagainya. Setiap kali seorang petani melakukan kegiatan pertanian dimulai dengan upacara memohon agar dewi-dewi tersebut memberikan restu dan keberhasilan terhadap pertanian yang diusahakan. Konsep tentang dewa dan dewi ini berkembang dan diwujudkan dalam figur sebagai penguasa terhadap aspek kehidupan tertentu, ada dewa penguasa laut, penguasa api, angin, peperangan dan sebagainya. Setiap kali seseorang akan menyelenggarakan suatu kegiatan selalu berdoa memohon restu pada dewa yang bersangkutan. Dalam pewayangan dapat kita kenal dewa-dewa tersebut. Di antara dewa-dewa tersebut ada dewa yang paling berkuasa yang disebut dewa Sang Hyang Wenang. Wenang bermakna kekuasaan atau kewenangan untuk melakukan apa saja, sehingga Sang Hyang Wenang adalah dewa penguasa segala hal dan penentu segala seluk beluk kehidupan dewa-dewa, manusia dan alam semesta. Terdapat pula suatu ketika timbulnya gagasan bahwa kekuatan gaib ini terwujud dari asal muasal kehidupan yang bermula pada alat vital yang dimiliki oleh manusia. Dibuatlah tiruan alat vital manusia dari batu besar yang disebut sebagai lingga (alat kelamin laki-laki) dan yoni (alat kelamin wanita). Benda tiruan buatan manusia tersebut dipuja-puja bila ingin mendapatkan kesuburan. Konsep mengenai kekuatan gaib yang digambarkan di atas masih dapat kita temui dalam peninggalan sejarah maupun praktek kehidupan sehari-hari masyarakat, namun secara perlahan terkikis oleh hadirnya agama-agama baik yang berasal dari India, Cina, maupun Timur Tengah. Namun dengan pendekatan sinkretisisme yang diterapkan oleh rakyat, utamanya suku Jawa, dalam menerima agama-agama tersebut, konsep atau gagasan mengenai kekuatan gaib tersebut masih tetap nampak.[3] Dengan masuknya agama-agama besar terjadilah perubahan konsep terhadap hal yang gaib di Indonesia. Kalau semula orang beranggapan bahwa kekuatan gaib itu tersembunyi dalam benda-benda tertentu, kemudian terwujud dalam suatu sosok yang digambarkan seperti manusia, maka dengan masuknya agama-agama tersebut terjadilah perubahan yang sangat drastis mengenai hal yang gaib tersebut. Kekuatan gaib ini tidak berupa dan tidak berwujud, tidak bermula dan tidak berakhir, tetapi memiliki kekuatan dan kekuasaan untuk menjadikan alam semesta dan mengaturnya. Berkembanglah konsep mengenai Tuhan yang Esa, apapun namanya. Nampaknya pemikiran mengenai konsep masalah gaib ini berkembang terus, dewasa ini terdapat suatu gagasan oleh sementara pihak bahwa yang gaib itu terdapat dalam diri segala yang tergelar di alam semesta itu sendiri. Oleh karena itu, manusia dalam mencari kekuatan dan kekuasaan yang luar biasa itu perlu dicari dalam diri masing-masing. Inilah konsep pantheisme. Konsep ini berkembang terus sampai-sampai ada yang berpandangan bahwa kekuatan gaib yang luar biasa di luar diri manusia itu tidak ada. Bagi bangsa Indonesia pemikiran terakhir ini dinilai tidak sesuai dengan perkembangan yang terjadi di Indonesia. Konsep mengenai kekuatan gaib yang berpengaruh terhadap kehidupan manusia ini adalah konsep religiositas, suatu konsep dasar yang terdapat dalam setiap agama maupun keyakinan dan kepercayaan yang dianut oleh manusia. Pancasila mengandung konsep religiositas, suatu konsep yang mengakui dan meyakini bahwa di luar diri manusia terdapat kekuatan gaib yang menjadikan alam semesta, mengaturnya sehingga terjadi keselarasan dan keserasian. Sebagai akibat manusia Pancasila beriman dan bertakwa terhadap kekuatan gaib tersebut. Pancasila menyebutnya sebagai suatu prinsip yang bernama Ketuhanan Yang Maha Esa, yang merupakan esensi dari segala agama dan kepercayaan yang berkembang di Indonesia. Dewasa ini dunia terpolarisasi dalam sistem penyelenggaraan pemerintahan, satu sisi berusaha untuk menerapkan sistem pemerintahan sekular, satu pihak menerapkan sistem pemerintahan berdasar agama. Pemerintahan sekular berusaha membatasi bahwa urusan pemerintahan terbatas pada perkara yang menyangkut urusan kehidupan duniawi, mengatur kehidupan manusia selama hidup di dunia. Masalah kehidupan manusia setelah meninggalkan dunia menjadi tanggung jawab pribadi bukan urusan negara dan pemerintahan. Sebagai acuan dalam penyelenggaraan pemerintahan adalah kesepakatan yang berkembang dalam masyarakat sendiri. Sumber kekuasaan dalam pemerintahan sekular adalah rakyat sendiri yang diperintah. Sedang negara yang berdasar agama mengaitkan kehidupan duniawi dengan kehidupan setelah manusia meninggalkan dunia yang fana ini. Penyelenggaraan pemerintahan tidak dapat dipisahkan dari kehidupan duniawi dan kehidupan ukhrowi. Sebagai acuan dalam penyelenggaraan pemerintahan adalah segala wahyu yang berasal dari Tuhan. Segala kebijakan penyelenggaraan pemerintahan hasil konstruksi nalar manusia yang tidak sesuai atau tidak merupakan derivasi dari wahyu Tuhan batal demi hukum. Ternyata pertentangan antara dua sistem pemerintahan ini berkembang makin marak memasuki abad ke XXI. Dengan berdasar Pancasila utamanya sila pertama, Ketuhanan Yang Maha Esa, dalam penyelenggaraan pemerintahan, agama didudukkan dan ditempatkan secara proporsional. Agama dihormati tetapi tidak dijadikan dasar penyelenggaraan pemerintahan dan negara. Dengan demikian kepentingan agama dan konsep sekular diberi tempat dalam penyelenggaraan pemerintahan yang berdasar Pancasila. Pemerintahan dengan dasar Pancasila bukan negara agama, tetapi juga bukan negara sekular. Pemerintahan dengan dasar Pancasila memberikan akomodasi terhadap gagasan sekular dan pemerintahan berdasar agama. b) Konsep Humanitas Sejak berlangsungnya renaissance, pada abad 14 – 17, orang mulai menggagas ulang budaya yang berlangsung pada masa Yunani kuno. Bila sejak abad pertama orang terbius dengan agama-agama besar seperti agama Kristen dan Islam, sehingga pola fikir dan pola tindak manusia diwarnai oleh ajaran agama-agama tersebut, dengan berlangsungnya renaissance orang mulai mengembangkan daya fikirnya lagi untuk memecahkan segala persoalan yang dihadapinya. Orang mempercayakan diri pada daya fikir manusia, bahkan ada yang beranggapan hanya daya fikir yang dipercaya dapat mengantar ke kebenaran untuk mengatasi segala persoalan hidup manusia. Dengan berlangsungnya renaissance terjadi perubahan yang sangat mendasar mengenai pandangan manusia terhadap hakikat dirinya. Bila sebelum renaissance berlaku anggapan bahwa suara Tuhan adalah segalanya, sehingga segala ketentuan yang mengatur manusia sepenuhnya tergantung pada ketentuan Tuhan, dengan berlangsungnya renaissance orang mulai bertanya apakah memang demikian seharusnya. Manusia mengangkat dirinya dengan cara mendudukkan dirinya sesuai dengan harkat dan martabatnya sebagai makhluk pemikir. Bahkan suatu ketika merubah anggapan bahwa suara Tuhan itu adalah suara rakyat atau Vox populi vox Dei. Berkembanglah faham humanisme suatu faham yang menjunjung tinggi harkat dan martabat manusia sebagai pribadi yang memiliki cirinya masing-masing secara tersendiri, atau yang biasa disebut sebagai jatidiri. Sebagai turunan dari aggapan tersebut manusia memiliki kebebasan dalam berfikir, mengemukakan pendapat, serta menentukan pilihan hidupnya. Gerakan humanisme ini yang melahirkan gagasan individualisme, liberalisme dan pluralisme. Gerakan humanisme ini berkembang dengan pesatnya setelah berakhirnya perang dunia kedua. Hal ini sangat mungkin dipicu oleh rasa penyesalan ummat manusia yang bersikap dan bertindak dehumanis sepanjang zaman. Manusia diperlakukan sekedar sebagai alat pemuas kepentingan-kepentingan tertentu. Bangsa-bangsa di dunia kemudian bersepakat melindungi kebebasan individu tersebut dalam suatu konvensi yang disebut ”Universal Declaration of Human Rights” pada tahun 1948. Faham humanisme yang berisi konsep humanitas menyentuh pula pemikiran para founding fathers, sehingga oleh Bung Karno diangkat menjadi salah satu prinsip bagi kehidupan berbangsa dan bernegara, bahkan diusulkan untuk dijadikan salah satu prinsip yang menjadi dasar negara. Bung Karno menamakannya sebagai prinsip peri-kemanusiaan atau internasionalisme. Namun Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia akhirnya menyepakati sila kedua Pancasila ini ditetapkannya menjadi ”Kemanusiaan yang adil dan beradab,” yang memiliki makna sebagai berikut: 1) Manusia sebagai ciptaan Tuhan Yang Maha Esa didudukkan sesuai dengan kodrat, irodat, harkat dan martabatnya. Manusia dikaruniai oleh Tuhan berbagai disposisisi atau kemampuan dasar untuk mendukung misi yang diembannya. Disposisi tersebut adalah kemampuan untuk berfikir, merasakan, berkemauan dan berkarya. Sebagai akibat dari kemampuan tersebut manusia mengalami perkembangan dan kemajuan dalam hidupnya. Dengan kemampuannya tersebut manusia menghasilkan karya-karya baik yang bersifat nampak (tangible) maupun yang tidak nampak (intangible), terakumulasi dalam kehidupannya, dipelihara dan dijadikan kiblat dan acuan bagi hidupnya. Berkembanglah budaya dan peradaban. Disebabkan oleh pengalaman sejarah hidup yang berbeda yang dialami oleh masing-masing komunitas atau kelompok masyarakat, maka setiap kelompok masyarakat memiliki budaya dan peradabannya sendiri-sendiri. Demikian pula halnya dengan bangsa Indonesia. Sebagai manusia atau suatu komunitas wajib menghormati kodrat, harkat dan martabat manusia yang manifestasinya berupa keaneka ragaman adat budaya lokal dan daerah. 2) Dengan kemampuan dasar ”kemauan,” didukung oleh kemampuan fikir, perasaan, dan karya, manusia selalu berusaha untuk hidup dalam kondisi yang terbaik yang menimpa dirinya. Manusia selalu dirundung oleh ambisinya tersebut untuk mencari segala sesuatu yang diharapkan akan memberikan kepuasan hidupnya baik mengenai hal-hal yang bersifat jasmani maupun rokhani. Tuhan mengaruniai kebebasan pada manusia dalam menentukan pilihan hidupnya dalam mencari yang terbaik bagi kehidupannya. Namun kebebasan yang dikaruniakan oleh Tuhan kepada manusia tersebut tidak cuma-cuma. Kebebasan tersebut harus dipertanggung jawabkan kepada Tuhan maupun kepada masyarakat sekitarnya. Kebebasan ini biasa disebut sebagai hak asasi manusia, merupakan mahkota bagi kehidupan manusia yang tidak boleh diganggu gugat. Namun dalam melampiaskan kebebasan tersebut manusia dibatasi, sekurang-kurangnya oleh kebebasan yang juga menjadi hak manusia lain. Terdapat cara yang dengan mudah dapat dipergunakan sebagai acuan dalam menuntut atau melampiaskan kebebasan manusia, yakni tidak dibenarkan mengganggu dan melanggar kebebasan pihak lain pada waktu seseorang menuntut dan melampiaskan kebebasannya. 3) Meskipun manusia diciptakan dalam kesetaraan, namun realitas menunjukkan adanya fenomena yang beragam ditinjau dari berbagai segi. Keaneka ragaman manusia dapat dilihat dari sisi jasmani maupun mentalnya, sehingga setiap manusia memiliki kepribadian yang beragam yang membentuk jatidiri manusia sebagai individu. Namun dalam keaneka ragaman tersebut terdapat hal-hal yang disepakati bersama, menjadi pengikat kehidupan bersama. Terdapat nilai-nlai dan prinsip-prinsip sama yang merupakan common denominator antar berbagai komunitas. Sifat pluralistik manusia dihormati dan didudukkan dengan sepatutnya, tetapi harus dibingkai dalam suatu kebersamaan dan kesatuan. 4) Tata hubungan manusia dengan manusia yang lain dikemas dalam tata hubungan yang dilandasi oleh rasa kasih sayang. Bahwa eksistensi manusia di dunia adalah untuk dapat memberikan pelayanan pada pihak lain; orang Jawa menyebutnya sebagai ”leladi sesamining dumadi.” Manusia sebagai makhluk yang mengemban amanah untuk menjaga kelestarian ciptaan Tuhan memegang suatu prinsip ”memayu hayuning bawono.” Hal ini akan terselenggara dengan baik apabila dilandasi oleh sikap ”sepi ing pamrih, rame ing gawe; jer basuki mowo beyo;” bahwa dalam mengusahakan tewujudnya kehidupan yang sejahtera, terciptanya keharmonisan segala ciptaan Tuhan, manusia harus menyisihkan kepentingan pribadi dan golongan, serta rela berkorban demi terwujudnya kondisi yang diharapkan dimaksud. Dalam buku American Generalship karangan Edgar F. Puryear Jr, sifat tersebut disebut selflessness. Hal ini dapat terselenggara bila didasari oleh rasa cinta dan kasih sayang sesama. 5) Dalam berhubungan dengan sesama diharapkan manusia mampu untuk mengendalikan diri, tidak merasa dirinya yang paling benar, paling hebat, paling kuasa, sehingga mengabaikan dan memandang remeh atau tidak penting pihak lain. Orang Jawa mengatakannya ”ojo dumeh, ojo adigang, adigung, adiguno.” Secara bebas dapat diartikan jangan meremehkan pihak lain maupun kondisi yang terjadi, jangan bersikap angkuh, merasa dirinya paling hebat dalam segala hal. Sifat inklusif harus dikembangkan sedang sifat eksklusif harus dihindari. Sementara itu kejujuran harus dikembangkan sebagai landasan untuk mengikat hubungan yang serasi, selaras dan seimbang. Demikian pula sifat mementingkan diri sendiri yang mengantar timbulnya kesrakahan harus dihindari. c) Konsep Nasionalitas Abad ke XX merupakan abad kebangkitan wawasan kebangsaan bagi negara-negara di wilayah Asia, tidak terkecuali bagi masyarakat yang mendiami wilayah yang pada waktu itu dikuasai oleh pemerintah Belanda, yang bernama Nederlands Oost Indie atau Hindia Belanda. Sejak tahun 1908 para pemuda di wilayah tersebut telah gandrung dengan wawasan kebangsaan dengan mendirikan organisasi Boedhi Oetomo. Organisasi ini yang kemudian memicu lahirnya berbagai organisasi kepemudaan yang berasal dari berbagai daerah Hindia Belanda. Organisasi kepemudaan ini yang mendeklarasikan ”Sumpah Pemuda” yang sangat monumental, yang mengkristal menjadi dorongan kuat bagi lahirnya negara-bangsa Indonesia. Pada tanggal 1 Juni 1945 Bung Karno mengusulkan bahwa salah satu prinsip dasar negara adalah ”kebangsaan.” suatu prinsip bagi kehidupan berbangsa dan bernegara, bukan untuk kepentingan seseorang, golongan, tetapi suatu dasar ”semua buat semua.” Faham kebangsaan ini bukan merupakan faham kebangsaan yang sempit atau chauvinisme. Usul Bung Karno ini kemudian disepakati oleh BPUPKI menjadi persatuan Indonesia, yang memiliki makna sebagai berikut: 1) Rakyat Indonesia dalam hidup bermasyarakat dan bernegara terikat dalam suatu komunitas yang namanya bangsa Indonesia. Mereka mengaku dengan ikhlas dan bangga sebagai warga bangsa Indonesia, cinta serta rela berkorban demi negara-bangsanya. 2) Tanpa mengurangi hak pribadi, loyalitas warganegara terhadap negara-bangsanya, mengenai perkara yang bersifat sekular atau duniawi, diletakkan di atas kepentingan pribadi dan golongan. 3) Dalam mengembangkan wawasan kebangsaan ciri golongan, baik ditinjau dari segi etnis, suku, agama, maupun adat budaya, dihormati dan ditempatkan secara proporsional dalam menegakkan persatuan dan kesatuan bangsa. Wawasan kebangsaan tidak mengeliminasi keanekaragaman. Kearifan lokal (local wisdom) dipelihara, dijaga dan dikembangkan sejalan dengan wawasan kebangsaan. Kebudayaan lama dan asli yang terdapat sebagai puncak-puncak kebudayaan di daerah di seluruh Indonesia diperhitungkan sebagai kebudayaan bangsa. 4) Atribut negara-bangsa seperti bendera merah putih, lagu kebangsaan Indonesia Raya, lambang negara Garuda Pancasila, bahasa nasional Indonesia dan gambar kepala negara dihormati dan didudukkan secara proporsional sesuai dengan kesepakatan bangsa. Memperlakukan atribut negara secara tidak senonoh atau kurang beradab tidak sesuai dengan esensi wawasan kebangsaan. Menghormati atribut negara-bangsa tidak bermakna menyembah atau mensakralkan atribut tersebut. Perlu disadari bahwa mencederai atribut bangsa, atau melecehkan atribut bangsa sama saja dengan melecehkan diri sendiri sebagai warganegara-bangsa. 5) Dengan berprinsip pada wawasan kebangsaan, bangsa Indonesia tidak menolak masuknya kebudayaan asing dengan syarat bahwa kebudayaan dimaksud harus menuju ke arah kemajuan adab, budaya, kesatuan dan persatuan banga. Bahwa kebudayaan asing dimaksud dapat memperkembangkan dan memperkaya kebudayaan bangsa, serta mempertinggi derajat kemanusiaan bangsa Indonesia. 6) Dalam mengembangkan wawasan kebangsaan perlu dihindari berkembangnya faham kebangsaan sempit, yang memandang bangsanya sendiri yang paling hebat di dunia dan memandang rendah bangsa yang lain. Demikian pula dengan wawasan kebangsaan tidak berkembang menjadi faham ekspansionis yang berusaha untuk menguasai negara-bangsa lain. Dengan berpegang pada wawasan kebangsaan, bangsa Indonesia memiliki missi untuk ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial. d) Konsep Sovereinitas Bila konsep religiosits, humanitas dan nasionalitas memberikan makna tata hubungan manusia dengan sekitarnya, maka konsep sovereinitas yang terjabar menjadi prinsiup ”Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan,” memberikan gambaran bagaimana selayaknya tata cara hubungan antara unsur-unsur yang terlibat kehidupan bersama, untuk selanjutnya bagaimana menentukan kebijakan dan langkah dalam menghadapi permasalahan hidup. Sedangkan konsep sosialitas yang terjabar menjadi prinsip ”Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia,” memberikan gambaran mengenai tujuan yang ingin diwujudkan dalam kehidupan bersama, hidup berbangsa dan bernegara. Berbagai pihak memberikan penjelasan bahwa yang dimaksud ”kerakyatan” adalah yang oleh berbagai negara disebut demokrasi. Kerakyatan adalah demokrasi yang diterapkan di Indonesia yang memiliki ciri sesuai dengan latar belakang sejarah danbudaya bangsa Indonesia sendiri. Demokrasi adalah suatu sistem pemerintahan yang berprinsip bahwa sumber kekuasaan atau wewenang dalam menyelenggarakan pemerintahan bersumber pada rakyat. Dengan maraknya faham humanisme, pada era renaissance, manusia mulai mempertanyakan mengenai hakikat kekuasaan dalam memerintah. Kalau pada abad tengah dan sebelumnya negara pada umumnya dipimpin oleh seorang raja atau kaisar yang mengaku mendapat limpahan wewenang dari Tuhan, pada akhir abad ke XVIII orang mulai menyangsikan hal tersebut. Dengan mendudukkan manusia sesuai dengan harkat dan martabatnya, berasumpsi bahwa selayaknya kekuasaan atau wewenang memerintah itu bersumber dari yang diperintah, dari rakyat. Sangat terkenal semboyan yang disampaikan oleh Abraham Lincoln (1809 – 1865), presiden ke-16 dari Amerika Serikat, tentang demokrasi. Dikatakannya bahwa demokrasi adalah ”government from the people, by the people and for the people”, pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Sebenarnya gagasan manusia mengenai sumber kekuasaan yang terdapat pada rakyat, telah jauh hari difikirkan sebelum Lincoln mengemukakan slogan yang sangat terkenal tersebut. Thomas Jefferson (1743 – 1826) presiden ketiga dari Amerika Serikat sejak tahun 1770-an telah mengemukakan gagasannya, dan setelah dibahas oleh para founding fathers Amerika, diterima sebagai pernyataan Deklarasi Kemerdekaan Amerika. Sangat terkenal preambule deklarasi itu yang rumusannya sebagai berikut: We hold these truths to be self-evident that all men are created equal, that they are endowed by their Creator with unalienable Rights, that among these are Life, Liberty, and the Pursuit of Happiness. That to secure these rights, Governments are instituted among Men, deriving just powers from the consent of the governed. Pernyataan inilah sebagai dasar penyelenggaraan pemerintahan demokrasi yang bersifat individualistik dan liberalistik di Amerika Serikat. Ada baiknya kalau kita bandingkan dengan gagasan Lafayette (1757 – 1834) dari Perancis yang kemudian diolah menjadiDeclaration des Droits de l’Homme et du Citoyen yang rumusannya, setelah diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris adalah sebagai berikut: Men are born and remain free and equal in rights. Social distinction can be based only upon public utility. The aim of every political association is the preservation of the natural and imprescriptible rights of man. These rights are Liberty, Property, Security, and Resistance to Oppression. The source of all sovereign is essentially in the nation, no body, no individual can exercise authority that does not proceed from it in plain terms. Liberty consists in the power to do anything that does not injure others . . . .Law is the expression of general will, all citizen have the right to take part personally or by their representatives in it formations . . . Nampak adanya perbedaan landasan penyelenggaraan demokrasi antara Amerika Serikat dan Perancis. Demokrasi Amerika Serikat terlalu berorientasi pada kepentingan pribadi dan melindungi hak asasi individu. Hal ini nampak dalam rumusannya yang berbunyi :”Governments are instituted among men, deriving just powers from the consent of the governed.” Sedang Perancis mengutamakan negara dalam penerapan demokrasi, terbukti dalam pernyataannya :” The source of all sovereign is essentially in the nation.” Marilah sekarang kita bandingkan prinsip dari dua negara tersebut dengan prinsip yang melandasi demokrasi di Indonesia. Berikut disampaikan beberapa frase yang berisi prinsip bagi penyelenggaraan demokrasi di Indonesia yang terdapat dalam Pembukaan UJUD 1945. Bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa; Atas berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa dan dengan didorongkan oleh keinginan luhur, supaya berkehidupan kebangsaan yang bebas, maka rakyat Indonesia menyatakan dengan ini kemerdekaannya; Untuk membentuk suatu pemerintahan Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, . . . ,maka disusunlah kemerdekaan kebangsaan Indonesia, . . . , yang terbentuk dalam suatu susunan Negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat dengan berdasar kepada : Ketuhanan Yang Maha Esa, kemanusiaan yang adil dan beradab, persatuan Indonesia, dan kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, serta dengan mewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Dalam frase-frase yang terdapat dalam Pembukaan UUD 1945 tidak terdapat istilah atau kata-kata individu atau manusia, tetapi yang ditonjolkan adalah kepentingan bangsa. Kemerdekaan adalah hak bangsa, proklamasi kemerdekaan Indonesia adalah untuk dapat berkehidupan kebangsaan yang bebas, bahwa pemerintahan Indonesia adalah untuk melindungi segenap bangsa Indonesia dan di antaranya adalah untuk mencerdaskan kehidupan bangsa, bahwa Negara Republik Indonesia menerapkan kedaulatan rakyat dalam gerak pelaksanaannya dengan berprinsip kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/pewakilan. Dengan demikian demokrasi yang bersendi pada liberalisme yang individualistik tidak sesuai dengan demokrasi yang selayaknya diterapkan di Indonesia. Demokrasi di Indonesia tidak semata-mata untuk membela dan mengakomodasi hak pribadi, tetapi juga harus mengakomodasi kepentingan bangsa. Bersendi pada prinsip-prinsip yang terkandung dalam Pembukaan UUD 1945, demokrasi yang diterapkan di Indonesia hendaknya memenuhi ketentuan-ketentuan sebagai berikut: 1) Segala keputusan demokratis tidak dibenarkan mengarah pada timbulnya perpecahan bangsa. 2) Dalam mengambil keputusan hendaknya selalu berpegang pada adagium bahwa negara-bangsa ditempatkan di atas kepentingan pribadi dan golongan. 3) Hak-hak pribadi tetap dihormati tetapi selalu ditempatkan dalam kerangka terwujudnya keselarasan hidup serta kelestarian ciptaan Tuhan Yang Maha Esa. 4) Keputusan demokratis bukan semata-mata mengakomodasi aspirasi dan keinginan rakyat atau warganegara tetapi harus mengarah pada terwujudnya keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. 5) Praktek demokrasi yang diselenggarakan di negara lain dapat diterapkan di Indonesia dengan berpegang pada ketentuan di atas. Pengambilan keputusan dengan cara voting dibenarkan sejauh musyawarah untuk mencapai mufakat tidak dapat mencapai hasil. 6) Demokrasi yang diterapkan di Indonesia tidak semata-mata mengacu pada proses, tetapi harus memperhatikan juga tujuan yang telah menjadi kesepakatan bangsa. e) Konsep Sosialitas Pada umumnya, orang berbicara tentang demokrasi selalu dikaitkan dengan penyelenggaraan pemerintahan, sehingga selalu dikaitkan dengan kehidupan politik negara-bangsa. Dengan penyelenggaraan demokrasi manusia dihormati, dihargai dan didudukkan sesuai dengan harkat dan martabatnya sebagai manusia., sehingga timbul kepuasan batin dalam diri manusia. Namun kepuasan hidup manusia tidak hanya terbatas pada kepuasan mental dan spiritual saja, manusia juga memerlukan kepuasan dari sisi material. Manusia membutuhkan berbagai keperluan hidup, baik yang berupa materi pendukung bagi hidupnya, maupun mengenai hal-hal yang bersifat mental dan spiritual. Bung Karno dalam berbagai kesempatan selalu mengutip pendapat Juarez yang mengatakan bahwa demokrasi parlementer atau demokrasi politik tidak cukup, demokrasi politik harus disertai dengan demokrasi ekonomi. Dikatakannya : ”Dalam demokrasi parlementer tiap-tiap orang dapat menjadi raja. Tiap orang dapat memilih, tiap orang dapat dipilih. Tiap-tiap orang dapat memupuk kekuasaan untuk menjatuhkan menterinya, tetapi di bidang ekonom tidak demikian. Si kaum buruh yang pada hari ini di dalam parlemen adalah raja, besok pagi di dalam pabriknya ia dapat dilempar ke luar dari pabriknya, menjadi orang yang tiada kerja.”[4] Selanjutnya dikemukakan bahwa yang ingin diwujudkan dengan berdirinya negara Republik Indonesia ini adalah keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, yang bermakna suatu masyarakat yang adil dan makmur, berbahagia buat semua orang, tidak ada penghinaan, tidak ada penindasan, tidak ada penghisapan, tidak ada exploitation de l’ homme par l’homme. Sehingga akan terwujud masyarakat yang berbahagia, cukup sandang, cukup pangan, gemah ripah loh jinawi, tata tentrem kerta raharja. Persoalan yang timbul adalah bagaimana untuk dapat merealisasikan gagasan ini. Pemerintahan Inggris bercita-cita untuk mewujudkan affluent society, masyarakat yang serba kecukupan, masyarakat yang serba melimpah ruah dengan keperluan hidup, diterapkan pendekatan security welfare state. Setiap warga negara harus ikut dalam program asuransi, yang akan menjamin kelangsungan hidupnya. Amerika Serikat menerapkan yang disebut positive welfare state, yakni dengan cara memotong pengasilan orang kaya untuk dapat disebarkan kepada yang kurang beruntung. Bagaimana bangsa Indonesia mewujudkan masyarakat yang adil dan sejahtera. Berbagai pemikiran telah diusahakan bagaimana mewujudkan masyarakat yang adil dan sejahtera. Pasal-pasal UUD 1945 telah memberikan landasan untuk mencapai hal tersebut, di antaranya terdapat dalam pasal 33 dan 34 yang rumusannya adalah sebagai berikut : Pasal 33 (1) Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan; (2) Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara. (3) Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. (4) Perekonomian nasional diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional. Pasal 34 (1) Fakir miskin dan anak-anak yang terlantar dipelihara oleh negara. (2) Negara mengembangkan sistem jaminan sosial bagi seluruh rakyat dan memberdayakan masyarakat yang lemah dan tidak mampu sesuai dengan martabat kemanusiaan. (3) Negara betanggung jawab atas penyediaan fasilitas pelayanan kesehatan dan fasilitas pelayanan umum yang layak. Dengan telah tersedianya landasan penyelenggaraan demokrasi ekonomi ini, tinggal bagaimana rakyat Indonesia menjabarkan lebih lanjut menyusun peraturan perundang-undangan yang merupakan turunan dari pasal-pasal dimaksud, untuk selanjutnya direalisaikan dalam kenyataan. 3. Tantangan yang dihadapi dalam memperkokoh Ketahanan Bangsa Tantangan yang dihadapi dalam mempekokoh ketahanan bangsa adalah gerakan globalisasi yang telah melanda dunia. Gerakan globalisasi yang ber-adagium “dunia tanpa batas,” berpengaruh pula pada perkembangan nilai dan norma yang dimanfaatkan oleh ummat manusia di dunia. Demokrasi mewabah di dunia. Negara yang tidak menerima dan tidak menerapkan demokrasi dinilai tidak sesuai dengan tuntutan zaman. Bersama demokrasi terbawa nilai kebebasan dan kesetaraan dan perjuangan hak asasi manusia. Sebagai akibat kurangnya pemahaman terhadap demokrasi, kebebasan, kesetaraan dan menghargai hak asasi manusia, yang bersendi pada konsep Pancasila, terjadilah penyimpangan dan penyelewengan dalam penerapannya. Yang terjadi adalah kericuhan, gangguan keamanan, serta bebagai perilaku kurang terpuji pada para penyelenggara negara dan pemerintahan serta masyarakat. Perkembangan nilai penyerta demokrasi tersebut menjadi tantangan yang perlu dihadapi dalam memperkokoh ketahanan bangsa. Perlu dicermati pula dengan seksama bahwa dengan merebaknya gerakan globalisasi terjadilah gerakan kilas balik yang disebut gerakan tribalisasi, yakni suatu gerakan untuk menyelamatkan diri dari gempuran arus globalisasi, yakni kehilangan eksistensi diri. Manusia mencari kelompok yang mampu melindungi dari dampak negatif arus globalisasi. Diduga kelompok yang bersifat primordial yang memiliki sifat afinitas yang kuat dan alami, mampu mengantisipasi deras arus globalisasi. Berkembanglah kelompok berdasar kesukuan, keagamaan dan kekeluargaan, yang merupakan kelompok primordial. Gerakan tribalisasi yang berlindung pada adagium “kearifan lokal,” dapat saja melemahkan kertahanan bangsa. Gerakan tribalisasi ini perlu diantisipasi sebagai suatu ancaman yang akan melemahkan ketahan nasional. Perkembangan dunia dan kejadian-kejadian yang sedang melanda negara-bangsa indonesia, bila tidak segera ditanggulangi dengan upaya yang tegas dan nyata, bukan mustahil, dugaan yang disampaikan oleh John Naisbitt dalam bukunya yang berjudulMegatrends 2000, yang mengatakan bahwa Indonesia akan terpecah belah menjadi beberapa puluh negara, akan menjadi kenyataan.[5] 4. Upaya Memperkokoh Ketahanan Bangsa. Dalam rangka memperkokoh ketahanan bangsa perlu diusahakan hal-hal sebagai berikut: a. Fahami karakter bangsa yang merupakan jatidiri bangsa, yang tiada lain adalah aktualisasi dari konsep-konsep yang terkandung dalam Pancasila; b. Implementasikan konsep, prinsip dan nilai Pancasila dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara secara konsisten; c. Identifikasi tantangan yang akan memperlemah ketahanan bangsa, berupa nilai-nilai penyerta dari gerakan globalisasi yang akan menampakkan diri dalam bentuk materialisme, individualisme, konsumerisme, hedonisme, instantisme, dan pragmatisme sempit. d. Adakan gerakan untuk mengantisipasi terhadap nilai-nilai penyerta dari gerakan globalisasi tersebut. Dengan usaha dimaksud ketahanan bangsa akan terbentuk secara tepat dan mampu untuk mengantisipasi segala ancaman, tantangan, hambatan dan gangguan. Semoga.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar