LINGSTRA
DAN GEOPOLITIK OIL
BAB
I. PENDAHULUAN
Latar Belakang
Perkembangan negara-negara di dunia
telah mencapai fase modernisasi dimana negara-negara di dunia telah mengalami
kemajuan yang tinggi di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi sehingga
penjajahan model konvensional sudah dapat dikatakan tidak ada lagi di dunia. Seperti
kita ketahui, perkembangan pola kehidupan manusia setiap hari akan semakin
mengalami perubahan yang tanpa terasa tidak kita sadari. Perkembangan teknologi
mobilitas terbaru akan terus muncul dan teknologi lama pun semakin hari semakin
tergerus. Jika 20-an tahun yang lalu komunikasi manusia masih mengandalkan
teknologi telefon kabel dan telegram yang masih sangat terbatas, maka sekarang
ini teknologi tersebut perlahan-lahan mulai tergantikan dengan munculnya
handphone dan akses internet. Teknologi mobilitas manusia pun telah mengalami kemajuan,
hal ini terlihat dengan semakin banyaknya kendaraan dengan teknologi terbaru di
jalan raya yang bahkan jumlah kendaraan ini melebihi daya tampung jalan yang
sesungguhnya.
Demkian pula dengan pola pikir
negara-negara di dunia pada saat ini telah mengalami kemajuan dan perubahan.
Setiap negara dengan berbagai kepentingan dan kebutuhan akan melakukan strategi
dan tindakan untuk memenuhi kebutuhan dan kepentingan negara tersebut. Jika
pada jaman kolonial penjajahan di masa yang lalu, Indonesia menjadi negara
jajahan negara-negara Eropa yaitu Belanja, Spanyol dan Portugis dalam rangka
untuk memenuhi kebutuhan rempah-rempah negara-negara tersebut. Bentuk
penjajahan di masa lalu bersifat terbuka dan melalui kekuatan fisik militer.
Hal ini sangat berbeda dengan bentuk “penjajahan” di masa sekarang ini yang
bersifat non militer. Sifat penjajahan atau penguasaan negara pada masa
sekarang ini tidak terasa dan akan disadari ketika tujuan penguasaan negara
tersebut telah tercapai.
Jika pada akhir-akhir ini Indonesia
bersitegang dengan Pemerintah Negara Malaisya, salah satu penyebabnya adalah
konflik perbatasan Ambalat di Kalimantan. Malaisya melalui perusahaan Petronas mengklaim
blok di Ambalat yang notabene mengandung minyak bumi sebagai wilayah Malaisya
dan akan melakukan eksplorasi minyak di dua blok di Ambalat. Bahkan Malaisya
telah membuat peta baru yang memasukkan wilayah Ambalat sebagai wilayah
Malaisya. Indonesia mengklaim bahwa wilayah Ambalat merupakan wilayah NKRI dan
dibuktikan dengan peta wilayah NKRI. Pangkal permasalahan disini adalah
kepentingan Malaisya untuk menguasai sumber minyak bumi.
Seperti kita ketahui, minyak bumi
merupakan energi yang tidak terbarukan. Jika minyak bumi dieksplorasi secara
terus menerus, maka sumber tersebut semakin lama semakin habis. Alternatif
selain menggunakan subtitusi energi lainnya sebagai pengganti minyak bumi untuk
mencukupi kebutuhan energi ini yaitu dengan melakukan eksplorasi di daerah baru,
jika langkah ini tidak dilakukan maka kebutuhan minyak bumi tidak akan
tercukupi. namun meskipun upaya-upaya pencarian sumber minyak bumi yang baru
terus dilakukan dan membuahkan hasil, jika jumlah penduduk di dunia semakin
bertambah dan tingkat kemajuan teknologi yang bergantung pada energi minyak
bumi juga semakin banyak, maka tetap saja sumber minyak bumi akan cepat
menipis.
Geopolitik pada saat ini menjadi
peranan penting bagi suatu negara untuk dapat memetakan kekuatan lingkungan
sekitar dan menguasai lingkungan tersebut untuk tujuan tertentu. Kagan seperti
dikutip Purbo (2012) berpendapat bahwa “Geopolitic
is not only about war and peace. It is about controlling the world resources,
particularly “black gold”. Several international conflicts in recent times have
been sparked by the need to control oil fields. The worlds depence on oil is
complete.[1]
Atau dapat disimpulkan, Kagan berpendapat bahwa Geopolitik bukan hanya mengenai
perang dan perdamaian, namun mengenai mengendalikan sumber daya di dunia,
khususnya “emas hitam”, beberapa konflik internasional sekarang ini muncul
karena kebutuhan untuk mengendalikan lahan minyak. Dunia sangat bergantung pada
minyak bumi.
Untuk itu, sebagai negara yang telah
mengalami berbagai konflik atas nama geopolitik, Indonesia melakukan pengenalan
akan lingkungan strategis di wilayahnya dan melakukan pengkajian lingkungan
strategis baik di tingkat regional, nasional maupun global. Dengan adanya
pengenalan lingkungan strategis, Indonesia diharapkan mampu untuk melihat apa
saja faktor yang rawan konflik dengan negara tetangga, apa saja yang
menyebabkan internal Indonesia rawan disintegrasi bangsa dan isu apa saja yang
berkembang di dunia sehubungan dengan Indonesia yang merupakan negara yang kaya
dengan sumber daya alam, serta masih banyak faktor-faktor yang perlu dikaji
lingkungan strategis lainnya guna kepentingan bangsa.
Indonesia memiliki luas wilayah yang
cukup luas, hal ini merupakan tantangan tersendiri bagi pemerintah Indonesia
untuk dapat tetap melakukan monitoring wilayahnya. Sebelum melakukan monitoring
wilayah teritorialnya, bangsa Indonesia harus melakukan pengenalan akan
wilayahnya yang memiliki perbedaan antarwilayahnya dan memiliki karakteristik
yang unik dari berbagai sisi seperti kebudayaan, adat, bahasa, lingkungan
daerahnya, dan lain sebagainya.Hal inilah yang mendasari pentingnya wawasan
nasional.
Tidaklah mungkin pemerintah Indonesia
akan melakukan berbagai proteksi dan membuat kebijakan-kebijakan terkait
masing-masing wilayah di Indonesia tanpa pemerintah Indonesia melakukan
berbagai kajian dan pengenalan akan wilayah Indonesia tersebut. Sebagai contoh,
peraturan yang ditetapkan untuk daerah Aceh tidak dapat diterapkan di wilayah
lainnya karena karakteristik budaya dan kondisi yang berbeda.
Maksud
dan Tujuan
Tulisan ini disusun untuk menguraikan
pemahaman mengenai:
1. Lingkungan stratejik dan telaahan
stratejik suatu bangsa terhadap lingkungannya;
2. Pentingnya lingkungan stratejik “defence planning”;
3. Wawasan nasional suatu bangsa termasuk
wawasan nasional Indonesia;
4. Geopolitik secara teori (Teori
Universal Geopolitik: Geopolitik sebagai suatu ilmu, Teori Ruang Hidup, Konsep
Penguasaan Ruang Hidup) dan berbagai tinjauan: Kesejarahan, Kebudayaan,
Kefilsafatan, Kewilayahan dan Perkembangan Geopolitik;
5.
Geopolitic Oil
Rumusan
Masalah
Permasalahan yang dibahas pada tulisan
ini adalah:
1. Lingkungan stratejik dan telaahan
stratejik suatu bangsa terhadap lingkungannya;
2. Pentingnya lingkungan stratejik “defence planning”;
3. Wawasan nasional suatu bangsa termasuk
wawasan nasional Indonesia;
4. Geopolitik secara teori (Teori
Universal Geopolitik: Geopolitik sebagai suatu ilmu, Teori Ruang Hidup, Konsep
Penguasaan Ruang Hidup) dan berbagai tinjauan: Kesejarahan, Kebudayaan,
Kefilsafatan, Kewilayahan dan Perkembangan Geopolitik;
5.
Geopolitic Oil
BAB
II. PEMBAHASAN
1. Lingkungan
Strategik Dan Telaahan Strategik Suatu Bangsa Terhadap Lingkungannya
Perkembangan lingkungan
strategik sekarang ini sulit untuk diprediksi ketidakstabilan yang terjadi,
sehingga dinamika politik dan keamanan menjadi corak yang paling dominan yang
dihadapi oleh setiap negara di dunia[2]. Dinamika lingkungan
strategis memang selalu membawa implikasi baik positif maupun negatif, secara
langsung maupun tidak langsung. Hal ini dapat mempengaruhi jalannya pembangunan
nasional yang sedang terlaksana saat ini. Perkembangan lingkungan strategis
dapat melalui aspek-aspek astha gatra, aspek statis (demografi, geografi dan
sumber daya alam) dan aspek dinamis (ideologi, politik, ekonomi, sosial budaya
dan pertahanan keamanan). Hal inilah yang menjadi alasan mendasar setiap negara
perlu melakukan penelaahan dan pengkajian lingkungan strategisnya
masing-masing, baik dalam lingkup global, regional maupun nasional agar negara
dapat menyusun strategi dan kebijakan yang tepat untuk kepentingan nasionalnya.
Pemahaman terhadap
lingkungan strategik suatu negara perlu dilakukan untuk menjelaskan bagaimana
lingkungan strategik dan ancaman yang dihasilkan yang berpengaruh kepada
keamanan nasional. Lingkungan strategik ini terdiri dari lingkungan global,
regional dan nasional.
Pada masa globalisasi
sekarang ini, dinamika perkembangan lingkungan strategis semakin kompleks dan
berjalan demikian cepat dan telah membawa perubahan dalam segenap aspek
kehidupan yang berdampak kepada semakin menguatnya kecenderungan dari sebagian
anak bangsa, untuk lebih berorientasi pada kepentingan universal dengan
mengabaikan kepentingan nasional. Hal tersebut telah menimbulkan berbagai
konflik di berbagai strata kehidupan masyarakat yang akhirnya bermuara pada
disintegrasi bangsa (Ryacudu, 2008).[3]
Dinamika
politik dan keamanan internasional semakin intens karena dibawah pengaruh
fenomena globalisasi dan berbagai implikasinya, negara-negara di dunia dituntut
untuk saling bekerjasama, namun pada sisi lain persaingan antarnegara dalam
melindungi kepentingan nasional juga semakin meningkat. Interdependensi
antarnegara semakin menguat, tetapi pada saat yang bersamaan kesenjangan power
ekonomi dan militer semakin melebar karena agenda dan isu internasional masih
dominan dipengaruhi oleh agenda dan kebijakan negara-negara maju. Akibatnya
negara-negara berkembang yang memiliki sumberdaya terbatas, harus lebih
hati-hati mengatasi permasalahan yang dihadapi, lebih aktif memperkuat
ketahanan nasional di berbagai bidang, dan lebih baik dalam melakukan
penyesuaian-penyesuaian yang diperlukan dalam melindungi kepentingan-kepentingan
nasionalnya. Untuk itu, melakukan telaahan dan prediksi kecenderungan (analisa)
lingkungan strategis global dan regional, bersifat fundamental bagi proses
perumusan kebijakannasional dalam berbagai bidang.
Suatu bangsa yang telah
menegara, dalam menyelenggarakan kehidupannya tidak terlepas dari pengaruh
lingkungannya. Pengaruh itu timbul dari hubungan timbal balik antara filosofi
bangsa, ideologi, aspirasi serta cita-cita dan kondisi sosial masyarakat,
budaya, tradisi, keadaan alam, wilayah serta pengalaman sejarahnya.
Secara filosofi, sebagai
contoh Bangsa Indonesia mendasarkan filsafat pada Pancasila, pada hakikatnya
merupakan suatu nilai-nilai yang bersifat sistematis, fundamental dan
menyeluruh. Pancasila sebagai filsafat bangsa dan negara Indonesia mengandung
makna bahwa dalam setiap aspek kehidupan kebangsaan dan kenegaraan harus
berdasarkan nilai-nilai ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, kerakyatan dan
keadilan.
Lingkungan
strategis nasional Indonesia dari bidang Ideologi yaitu penurunan kesadaran
masyarakat tentang Pancasila dan bahaya laten komunisme tampaknya telah
dimanfaatkanoleh kelompok kiri, seperti dengan memutar balikkan fakta-fakta
peristiwa S/PKI, membentuk partai politik seperti Partai Persatuan Nasional
(Papernas) ataupun menyusup menjadi anggota parpol lain untuk menjadi anggota
DPR/DPRD. Hal ini dimungkinkan setelah Mahkamah Konstitusi mencabut pasal 60
huruf g UU Pemilu no. 12 tentang eks Tapol/Napol PKI dapat menjadi calon
legislatif dalam pemilu. Hal ini tentunya akan memberikan keleluasaan lebih
luas untuk mempengaruhi sikap politik parlemen dalam upayanya merealisasikan
tujuan politiknya.Penurunan kesadaran tentang Pancasila juga terlihat dari
digulirnya wacana penerapan syariat Islam dan sistem pemerintahan Islam di
Indonesia. Hal ini paling tidak dapat dilihat dengan adanya kegiatan kelompok
ini yang cukup menonjol, seperti adanya wacana calon presiden independen,
penyelenggaraan konferensi. Khilafah internasional yang dilakukan oleh Hisbuth
Tahrir IIndonesia (HTI). Perkembangan
ini perlu untuk terus dicermati, sehingga tidak berkembang luas yang pada
akhirnya mempengaruhi sendi-sendi kehidupan nasional.[4]
Aspirasi
dan cita-cita bangsa juga merupakan lingkungan strategikyang berpengaruh pada
kehidupan suatu bangsa karena dari sinilah tujuan suatu bangsa dapat tercermin
dan jiwa suatu bangsa juga dapat juga digambarkan. Bangsa Indonesia memiliki
cita-cita yang tersirat dalam Pembukaan UUD 1945 yaitu memajukan kesejahteraan
umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut menciptakan perdamaian dunia.
Kondisi
sosial suatu bangsa juga perlu ditelaah, seperti halnya negara Indonesia
memiliki berbagai kondisi sosial yang sangat berbeda. Beberapa penduduk
Indonesia merupakan orang terkaya di dunia, namun ironisnya masih terdapat
jutaan penduduk Indonesia yang digolongkan sebagai penduduk miskin. Kondisi
sosial inilah yang berpotensi menjadi konflik dan berpengaruh pada kondisi
suatu bangsa.
Budaya
dan tradisi, keadaan alam dan wilayah serta pengalaman sejarah juga turut mempengaruhi
bagaimana kehidupan suatu negara. Lingkungan strategik inilah yang harus
dicermati dan ditelaah.
Indonesia
sebagai salah satu konsumen minyak bumi yang cukup besar. Hal ini tercermin
dari budaya bangsa Indonesia untuk memiliki kendaraan bermotor (mobil)
dikarenakan fasilitas umum kendaraan yang layak masih belum terpenuhi. Hal ini
didukung pula dengan kemudahan untuk melakukan pinjaman keuangan untuk
kepemilikan kendaraan bermotor. Lingkungan strategis inilah yang perlu
dicermati sebagai dasar untuk membuat kebijakan mengenai konsep subsidi BBM.
2. Pentingnya
Perencanaan Lingkungan Strategik
Dr.
Steward Woodman menulis, bahwa dalam kaitan dengan tantangan “ketidakpastian
(uncertainty)”, cara para perencana pertahanan (defence planners) lazimnya mencoba
memvalidasi semua kebijakan (policies) mereka yang ada, dengan sendirinya akan
mengkaji ulang lingkungan strategik. Mereka akan mengidentifikasi segi
kekuatan-kekuatan dan kelemahan-kelemahan yang terkait dengan prospek sekuriti
bangsa serta membuat penilaian dengan cara bagaimana faktor-faktor tersebut
akan dapat berkembang dalam kerangka waktu lima sampai sepuluh tahun mendatang.
Perlu diperhatikan, bahwa dalam perioda dengan cukup banyak perubahan
strategik, adalah penting untuk diakui, bahwa penilaian tentang lingkungan
strategik dimasa yang akan datang akan jarang obyektif murni. Sehingga strategi
berhubungan dengan ketidak pastian sedangkan perencanaan membuat
kepastian.Strategy adalah gabungan pengenalan ketidak pastian dan bentuk sukses
atau gagal. Terdapat pendapat lain bahwa strategy tidak mengenal salah benar
tetapi pilihan strategi nanti yang dapat diketahui hasilnya menang atau kalah.
Sedang perencanaan adalah linier/garis lurus dan menentukan, sesuatu yang
dianggap pasti dan hanya ada dua alternatif sukses atau gagal[5].
Baik
seleksi isu-isu dengan cara memberi bobot kepada isu-isu tersebut akan sangat
tergantung dari pandangan analis yang bersangkutan untuk memenuhi keinginan apa
yang sebenarnya yang ingin dicapai oleh “defence
planning” tersebut.
Pemahaman
akan pemikiran Dr. Steward Woodman ini hampir sama dengan proses penyusunan dan
penentuan RPJMN (Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional) suatu pemerintah
daerah. Setiap pemerintahan pasti mempunyai suatu patokan dan alur untuk menyusun
langkah-langkah yang harus diambil tiap jangka pendeknya.RJPMN inilah yang
merupakan patokan untuk menentukan arah dan besaran untuk perencanaan jangka
pendeknya. Patokan ini telah ditelaah dan dihitung dengan seksama dengan
melihat kondisi yang ada untuk periode minimal lima tahun ke depan. Patokan ini
dapat terlaksana atau tidak terlaksana itu merupakan faktor ketidakpastian,
namun paling tidak perencanaan tersebut telah dibuat sedekat mungkin dengan
peluang terlaksananya patokan yang telah ditentukan.
Jadi
dapat dipahami bahwa perencanaan pertahanan yang dilakukan oleh defence planner telah dilakukan dengan
memperhatikan lingkungan strategik yang ada untuk memperhitungkan peluang
terjadinya lima atau sepuluh tahun yang akan datang beserta ancaman-ancaman
yang menghalangi. Walaupun tingkat keterjadian dari perencanaan terdapat
ketidakpastian dalam hal ini apakah perencanaan tersebut sukses atau gagal,
namun perencana telah melakukan prediksi dengan pendekatan-pendekatan atau
strategi yang telah diperhitungkan untuk dapat mencapai apa yang telah
direncanakan.
Seperti
halnya konflik yang terjadi antara negara kita dengan Malaisya mengenai perbatasan
yang memiliki kandungan minyak bumi yaitu di Ambalat. Jikalau kita telah
melakukan defence planning dengan
benar, maka konflik tersebut mungkin dapat terhindari. Dengan defence planning atas perbatasan terluar
NKRI, pemerintah Indonesia dapat melakukan kajian mengenai potensi sumber daya
alam, peluang dan ancaman konflik dengan negara terdekat serta berbagai kajian
lainnya.
Tentu
saja kita tidak mau peristiwa lepasnya Pulau Sipadan dan Ligitan terulang
kembali, potensi pulau-pulau terluar lainnya untuk lepas dari NKRI merupakan
berpeluang terjadi jika pemerintah tidak melakukan defence planning dengan
serius. Belajar dari kekalahan ini, seharusnya pemerintah telah menerapkan
kajian lingkungan strategis untuk wilayah perbatasan ini.
3. Pemahaman
mengenai Wawasan Nasional
Sebagai bangsa yang besar
dan memiliki berbagai karakteristik yang berbeda antarwilayahnya, nilai-nilai wawasan kebangsaan merupakan
syarat mutlak yang harus senantiasa dijaga demi persatuan bangsa serta tetap
tegak dan utuhnya Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Multikulturalisme atau
kemajemukan suatu bangsa merupakan kekayaan yang dapat menjadi kekuatan positif
dalam pembangunan bangsa, namun dapat pula menjadi potensi konflik sosial bila
tidak dikelola dengan baik dan akan menjadi kerawanan bagi persatuan dan
kesatuan bangsa serta berdampak negatif pada pembangunan bangsa.
Pemerintah dan rakyat
memerlukan suatu konsepsi berupa wawasan nusantara untuk menyelenggarakan
kehidupannya. Wawasan ini dimaksudkan untuk menjamin kelangsungan hidup,
keutuhan wilayah serta jati diri bangsa. Dalam hal ini pejabat pemerintah
daerah sebagai pengemban amanat rakyat harus dapat memahami dan menghayati
kekuatan positif dan multikulturalisme dalam rangka memperjuangkan
kesejahteraan rakyat, sedangkan rakyat harus mendukung upaya pemerintah
tersebut dengan ikut aktif mempertahankan NKRI baik dari sisi keamanan maupun
dari segi lainnya.
Wawasan Nasional Indonesia
merupakan kristalisasi nilai-nilai kehidupan bersama, yang terbangun dalam
konsep-konsep yang melatarbelakangi kehidupan bangsa Indonesia. Dalam
perkembangannya, masing-masing konsep itu berperan dalam pemikiran para tokoh
bangsa didalam menyikapi berbagai fenomena kemasyarakatan dan perjuangan pada
masanya. Berdasarkan tinjauan kefilsafatan, ruang hidup dan penguasaannya,
kesejarahan, kebudayaan serta kewilayahan, terdapat enam konsep yang menjadi
batu bangun (building block) Wawasan Nasional Indonesia, yaitu, pertama, konsep
Bhineka Tunggal Ika; kedua, konsep persatuan dan kesatuan; ketiga, konsep kebangsaan;
keempat, konsep tanah air (geo politik); kelima, konsep Negara kebangsaan;
Keenam, konsep Negara kepulauan. Konsep-konsep tersebut diangkat dari khasanah
bangsa yang berada di wilayah Nusantara, mulai abad VII hingga abad XX, yang
diintegrasikan dengan kepentingan bangsa Indonesia, dan dijadikan acuan
kehidupan bangsa Indonesia saat ini dan yang akan datang[6].
1.
Konsep
Bhineka Tunggal Ika
Bhineka Tunggal Ika adalah semboyan
pada lambang Negara Republik Indonesia yang keberadaannya berdasarkan PP No.66
Tahun 1951, mengandung arti, ‘beraneka tetapi satu’. Semboyan tersebut,
menggambarkan gagasan dasar, yaitu menghubungkan daerah-daerah dan suku-suku
bangsa di seluruh nusantara menjadi kesatuan raya.
Dalam kehidupan masyarakat, berbangsa
dan bernegara berbagai perbedaan yang ada, seperti suku, agama, rasa dan antar
golongan (SARA), merupakan realitas yang harus didayagunakan untuk memajukan
negara dan bangsa. Persinggungan unsur-unsur SARA diharapkan dapat meningkatkan
mutu kehidupan masing-masing unsur yang bermanfaat bagi masing-masing pihak,
baik secara individu maupun kelompok. Selain itu, masing-masing pihak memiliki
keunggulan dalam hal tertentu dari pihak yang lain, sehingga dengan
berinteraksi akan terjadi hubungan yang saling melengkapi dan saling
menguntungkan.
2.
Konsep
Persatuan dan Kesatuan
Persatuan ialah gabungan
(ikatan, kumpulan dan sebagainya) beberapa bagian yang sudah bersatu. Sedangkan
Kesatuan ialah keesaan, sifat tunggal, atau keutuhan. Sebutan persatuan bangsa
berarti ‘gabungan suku-suku bangsa yang sudah bersatu’. Dalam hal ini,
masing-masing suku bangsa merupakan kelompok masyarakat yang memiliki ciri-ciri
tertentu yang bersatu. Penggabungan dalam persatuan bangsa, masing-masing suku
bangsa tetap memiliki ciri-ciri dan istiadat semula. Dalam persatuan bangsa,
satu suku bangsa menjadi lebih besar daripada sekedar satu suku bangsa yang
bersangkutan karena dia mengatasnamakan bangsa secara keseluruhan; misalnya,
suku Bugis atau Batak, manakala menyebutkan dirinya bangsa Indonesia, serta
merta memiliki ciri-ciri jauh lebih luas dan kompleks daripada suku Bugis atau
Batak itu sendiri.
Sebutan kesatuan bangsa atau kesatuan
wilayah mempunyai dua makna. Pertama menunjukkan sikap kebersamaan dari bangsa
itu sendiri. Kedua menyatakan wujud yang hanya satu dan utuh, yaitu satu bangsa
yang utuh atau satu wilayah yang utuh. Sebagai contoh, kesatuan bangsa
Indonesia berarti satu bangsa Indonesia dalam datu jiwa bangsa, seperti yang
diputuskan dalam Kongres Pemuda II pada tahun 1928, dalam keadaan utuh dan
tidak boleh berkurang, baik sebagai subjek maupun objek dalam penyelenggaraan
kehidupan nasional. Kesatuan wilayah Indonesia berarti ‘satu wilayah Indonesia
dari Sabang sampai Merauke’ yang terdiri dari daratan, perairan dan dirgantara
di atasnya, seperti yang dinyatakan dalam Deklarasi Juanda 1957, dalam keadaan
utuh dan tidak boleh berkurang atau retak.
Bangsa Indonesia sama sekali tidak
asing dengan konsep persatuan dan kesatuan karena disamping secara naluriah
merupakan makhluk sosial yang tidak dapat hidup menyendiri, bangsa Indonesia
juga bersifat komunal. Hal ini dapat diamati dari sistem kemasyarakatan pada
umumnya yang tetap mempertahankan struktur klan, marga, suku atau daerah asal,
seperti halnya praktik gotong-royong dan penolakan terhadap praktik
individualisme. Dambaan terhadap persatuan dan kesatuan sangat kental. Seperti
tergambar dalam falsafah sapu lidi, untuk menjelaskan bahwa sebagai sapu lebih
bermanfaat daripada sebagai lidi yang lepas dari ikatan. Semboyan, ‘Bersatu
Kita Teguh Bercerai Kita Runtuh’ merupakan semboyan orisinal bangsa Indonesia.
Persatuan dan Kesatuan bangsa serta
kesatuan wilayah sebagai konsep merupakan suatu kondisi dan cara terbaik untuk
mencapai tujuan bersama. Suatu masyarakat yang didorong oleh keharusan
pemenuhan kebutuhannya perlu bekerjasama atau bersatu dalam bekerja karena pada
dasarnya mereka saling membutuhkan. Masyarakat juga perlu bersatu agar dapat
menghimpun kekuatan untuk mencapai suatu tujuan yang tidak dapat dilakukan
secara sendiri-sendiri. Disamping itu, pencapaian suatu tujuan masyarakat dapat
efektif bila dilakukan dalam satu tatanan atau suatu tata hubungan dalam
masyarakat yang berada dalam satu kesatuan. Konsepsi persatuan dan kesatuan tidak
saja berlaku secara nasional tetapi juga diperlukan dalam lingkup regional dan
global, yang wujudnya seperti Uni Eropa, ASEAN, APEC atau WTO.
3.
Konsep
Kebangsaan
Konsepsi kebangsaan modern baru
diperkenalkan pada abad XIX di Eropa. Menurut Ernest Renan, bangsa adalah
keinginan untuk bersama. Bagi Otto Bauwer, bangsa adalah suatu tertib
masyarakat yang muncul dari kesamaan karakter, atau menurut Bung Hatta, karena
kesamaan nasib (M.Hatta dkk, 1980). Dalam pengertian modern, terbentuknya suatu
bangsa tidak dibatasi oleh ras atau agama tertentu, tidak juga oleh
bentuk-bentuk geografis, seperti aliran sungai, laut atau gunung. Jadi,
kebangsaan yang mencakupi keinginan untuk bersatu dalam mencapai tujuan
dan/atau didukung oleh persamaan sejarah, yaitu konsep kebangsaan yang
diikrarkan pada Kongres Pemuda pada tahun 1928, tergolong maju dan modern.
Meskipun demikian, konsep kebangsaan dapat tergelincir menjadi chauvinisme,
yaitu kebangsaan yang sempit. Hal ini telah diantisipasi secara dini, yang
paling tidak pada Sidang BPUPKI, tanggal 1 Juni 1945, tatkala Bung Karno
menyatakan, “…….memang prinsip kebangsaan ini ada bahayanya! Bahayanya ialah
mungkin orang meruncingkan nasionalisme menjadi chauvinism sehingga berpaham
Indonesia uber alles. Kita cinta tanah air yang satu, merasa berbangsa yang
satu, mempunyai bahasa yang satu, tetapi tanah air kita Indonesia hanya satu
bagian kecil saja daripada dunia”.
Sebagai konsep, kebangsaan merupakan
mekanisme kehidupan kelompok yang terdiri atas unsur-unsur yang beragam, dengan
ciri-ciri persaudaraan, kesetaraan, kesetiakawanan, kebersamaan dan kesediaan
berkorban bagi kepentingan bersama. Konsep kebangsaan harus tetap ditumbuhkan
pada masyarakat bangsa dan dikembangkan secara terstruktur, yaitu
berturut-turut pada tingkat kesadarannya, kemudian menjadikannya suatu paham,
dan mengaktualisasikannya dalam semangat kebangsaan (Edi Sudrajat, 1996).
Konsep kebangsaan tidak dapat diterima sebagai suatu yang sudah jadi, yaitu
sekedar warisan dari generasi terdahulu, tetapi harus dipupuk terus agar hidup
subur karena generasi-generasi berikutnya sudah tidak memiliki ingatan
kebersamaan sejarah dengan generasi sebelumnya. Setiap generasi harus
mengevaluasi perkembangannya agar diketahui bila telah terjadi penyimpangan
dari ciri-ciri konsep kebangsaan yang disepakati atau terjadi penyimpangan dari
tujuan semula, yaitu untuk apa bangsa Indonesia dahulu dibentuk.
4.
Konsep
Tanahair (Geopolitik).
Konsep geopolitik telah lama
dibicarakan oleh sementara tokoh bangsa, antara lain Muh. Yamin dan Bung Karno,
dalam siding BPUPKI pada tahun 1945. Berkaitan dengan hal itu, Bung Hatta
memberikan komentar antara lain, “Bung Karno mempergunakan dalil-dalil teori
geopolitik, khususnya Blut-und-Boden Theorie ciptaan Karl Haushofer. Teori ini
sebetulnya sendi bagi politik imperalisme Jerman, tetapi sangat menarik pula
bagi kaum nasionalis Asia dan Indonesia, khususnya untuk membela cita-cita
kemerdekaan, persatuan bangsa dan tanah air”. Dua puluh tahun kemudian, yaitu
pada tahun 1965, Bung Karno dalam pidatonya yang berjudul ‘Susunlah Pertahanan
Nasional Bersendikan Karakteristik Bangsa’, pada waktu peresmian berdirinya
Lemhanas, anatara lain menyatakan, “Mengetahui hasil ilmu Geopolitik yang pada
pokoknya, mula-mula saya baca di dalam kitabnya Karl Haushofer, Die Geo-politik
des Pazifischen Ozeans, Geopolitik dari Samudra Pasifik, kalau mau mengetahui
bagaimana suatu bangsa dijadikan besar, harus mengetahui Geo Politik bangsa
itu”.
Pada perkembangan selanjutnya, konsep
geopolitik semakin banyak mendapat perhatian dalam kaitannya dengan upaya
pengembangan kemampuan untuk mempertahankan persatuan dan kesatuan bangsa serta
kesatuan wilayah nasional. Konsepsi geopolitik bagi Indonesia menjadi aktual
bila dihubungkan dengan kesadaran akan posisi geografis wilayah Indonesia,
kepentingan atas integritas nasional dalam kondisi geografis yang
terpecah-belah, pengambilan peran dalam kawasan regional, dan antisipasi
ancaman kekuatan asing yang melibatkan negara adidaya di kawasan regional (Dino
Patti D, 1996). ABRI (TNI) mengangkat konsep geopolitik ke dalam konsep
pertahanan dan keamanan nasional (Hankamnas), antara lain dengan perngertian,
“……memanfaatkan konstelasi geografi Indonesia, yang memerlukan keserasian
antara Wawasan Bahari, Wawasan Dirgantara dan Wawasan Benua sebagai
pengejawantahan segala dorongan-dorongan (motives) dan rangsangan-rangsangan
(drive) didalam usaha mencapai aspirasi-aspirasi serta tujuan-tujuan negara
Indonesia……” (Doktrin Hankamnas dan Doktrin Nusantara, yaitu wawasan
konsepsional dari Wawasan Hankamnas. Wawasan Nusantara dalam Wawasan Hankamnas
berkait dengan konsep Negara kepulauan.
5.
Konsep
Negara Kebangsaan
Dalam pidatonya untuk Sidang BPUPKI
pada tanggal 1 Juni 1945, Bung Karno menjelaskan pandangannya tentang Negara
kebangsaan : “Orang dan tempat tidak dapat dipisahkan. Rakyat dengan bumi yang
ada dibawah kakinya tidak dapat dipisahkan. Ernest Renan dan Otto Bouer hanya
sekedar melihat orangnya”. Tampak disini bahwa bangsa dan tanah air harus
merupakan satu kesatuan; negara yang dibentuk atas dasar itu disebut sebagai
Negara Kebangsaan. Jadi, negara yang terbentuk mengikuti konsep kebangsaan, dan
bukan merupakan kelanjutan dari bentuk-bentuk kekuasaan sebelumnya, yang semasa
kekuasaan Hindia Belanda terdiri dari kerajaan, kesultanan atau bentuk
kekuasaan tradisional lainnya. Kemudian, setelah merdeka semua melebur menjadi
satu Negara kebangsaan berbentuk republik, dengan mengakui kekhasan daerah
dalam memelihara adat istiadat masing-masing yang khas.
Menurut Neal R. Pierce “Globalisasi
ekonomi, kebangkitan daerah-daerah, atau persaingan antar etnis/suku bangsa
yang sedang dan terus menggejala akhir-akhir ini dipercaya oleh sebagian orang
sebagai pertanda akan berakhirnya negara-negara kebangsaan”. Pertemuan para
pakar dari 32 negara di Salzburg pada bulan Maret 1997, yang sengaja membahas
masa depan negara-negara kebangsaan tidak sepenuhnya menyetujui pendapat
tersebut. Mereka, baik yang berasal dari negara maju maupun negara berkembang,
negara barat maupun timur, pada umumnya masih tetap memerlukan negara-negara
kebangsaan, antara lain untuk memberi identitas kepada penduduk, menarik pajak,
menyediakan jaring pengaman sosial, melindungi lingkungan, dan menjamin
keamanan dalam negeri. Bagi bangsa Indonesia, hal itu bukan saja masih
diperlukan mempertahankan Negara kebangsaan melainkan juga harus tetap
mempertahankan persatuan dan kesatuan bangsa serta kesatuan wilayah Indonesia
dalam satu negara agar tetap menjadi negara besar sehingga selalu
diperhitungkan dalam kehidupan antar bangsa.
6.
Konsep
Negara Kepulauan.
Konsep Negara kepulauan semula
dikembangkan oleh Indonesia untuk menghindarkan keberadaan laut pedalaman atau
perairan antar pulau wilayah Indonesia yang berstatus sebagai laut bebas
(menurut hukum laut yang berlaku saat itu,yaitu Territoriale Zee en Maritieme
Kringen Ordonantie (TZMKO) Th 1939. Pengembangan konsep tersebut mengacu pada
Yurisprudensi Keputusan Mahkamah Internasional Tahun 1951 tentang Sengketa
wilayah perikanan historis antara Inggris dan Norwegia, dilaut pedalaman
Norwegia (Adi Sumardiman, 1995). Keputusan Mahkamah Internasional pada saat itu
menerima cara penarikan garis dasar yang lurus, antara titik-titik luar dari
pulau terluar, tidak menurut garis lengkung yang mengikuti garis pantai,
seperti biasanya. Dengan cara demikian, kawasan kepulauan Indonesia terpisah
dari laut bebas dan menjadikan wilayah nasional Indonesia suatu kawasan laut
luas yang ditaburi pulau-pulau. Sebenarnya pengacuan kepada yurisprudensi
tersebut dikaitkan dengan kondisi Indonesia kurang tepat karena Norwegia
merupakan kasus kepulauan pantai (coastal archipelago), sedangkan Indonesia
kasus kepulauan di tengah samudera (mid-ocean archipelago). Meskipun demikian,
pada akhirnya dunia mengakuinya juga setelah melalui perjuangan selama 25
tahun.
Menurut konsep Negara kepulauan,
kedaulatan wilayah Indonesia berlaku di daratan, perairan territorial dan ruang
di atasnya (Adi Sumardiman, 1995). Walaupun demikian, Konvensi Hukum Laut
PBB/1982 menetapkan hak-hak negara lain di wilayah Negara kepulauan, yang harus
dipenuhi. Hak-hak yang dimaksudkan itu, antara lain, hak lintas damai dan
lintas transit, hak lintas alur laut kepulauan, penerbangan melintas, serta
pencarian dan penyelamatan. Masalah lain yang hingga saat ini dihadapi Negara
kepulauan, seperti Indonesia, terutama ialah bahwa belum semua negara besar
meratifikasi Konvensi Hukum Laut PBB/1982. Bagi Indonesia, berlakunya konsep
Negara kepulauan selain perairan wilayah nasional Indonesia tidak lagi
berstatus sebagai laut bebas atau perairan yang berstatus internasional, juga
menambah luas wilayah negara Indonesia dalam bentuk laut wilayah, dengan tetap
mengindahkan kewajiban-kewajiban internasional. Apalagi, dengan berubahnya
ketentuan tentang lebar laut wilayah yang semula 3 mil dari garis dasar menjasi
12 mil. Tambahan luas laut wilayah tersebut disamping melipatgandakan kandungan
sumber kekayaan alam yang menjadi milik bangsa, namun sekaligus menambah beban
tugas pengelolaan dan pengamanan yang juga semakin berat.
Bagi bangsa dan negara Indonesia,
konsep persatuan dan kesatuan ini sangat bermakna, lebih bermakna daripada
umumnya bangsa dan negara lain. Bangsa Indonesia menyadari akan keterpecahan
(fragmentasi) geografi dan sosial yang melekat pada bangsa dan negara
Indonesia, kerap kali berpotensi menjadi sekat-sekat sosial yang dapat
menghambat hubungan antar komponen bangsa Indonesia. Oleh karena itu, konsep
persatuan dan kesatuan bagi bangsa Indonesia perlu diwujudkan dan senantiasa
dipelihara di dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
Salah satu kondisi geografis Indonesia
saat ini adalah melakukan impor kombinasi
antara crude oil dan BBM sebesar
minimal 1,6 juta barel per hari dari 18 negara di antaranya: Arab Saudi,
Malaisya, Cina, Yemen, Aljazair, Australia, Vietnam, Nigeria, Brunei, PNG,
Pakistan, Rwanda, dan negara penghasil lainnya.[7]
4. Pemahaman
mengenai Geopolitik
Istilah Geopolitik
mencerminkan hubungan antara kekuasaan dan kepentingan, penetapan keputusan dan
wilayah geografis. Penggunaan istilah geopolitik ini telah menyebar luas secara
cepat pada akhir abad ke 19. Geopolitik sesungguhnya mencerminkan sebuah
pemahaman mengenai dunia internasional yang dipengaruhi secara kuat oleh paham
Darwin. Hal ini juga ditandai dengan sebuah tatapan sinis dunia internasional,
dengan ditandai kepercayaan yang rendah pada multiteralisme, norma-norma global
dan hukum internasional. Geopolitik merupakan pengaruh sumber daya, dominasi
strategis dan wilayah geografi pada satu kekuasaan dan berbagai pelaku baik
negara atau bukan negara.
Pernyataan tersebut
tercermin pada munculnya kolonialisme pada abad 19 oleh negara-negara Barat.
Pada awalnya tujuan negara-negara Barat adalah untuk mencari sumber-sumber
kekayaan alam seperti rempah-rempah, kopi dan hasil-hasil alam lainnya untuk
mencukupi kebutuhan masyarakat di negara Barat yang lingkungan alamnya tidak
mendukung untuk menghasilkan hasil alam
seperti rempah-rempah. Salah satu bentuk kolonialisme adalah penjajahan Belanda
di Indonesia yang pada pada awalnya bertujuan untuk mencari sumber
rempah-rempah, namun pada akhirnya penguasaan rempah-rempah oleh Belanda
menjadi sebuah bentuk penjajahan terhadap Bangsa Indonesia untuk menguras
kekayaan alam Indonesia.Sehingga dapat disimpulkan geopolitik negara-negara
Barat untuk menguasai sumber-sumber alam di wilayah lainnya ini juga dilandasi
untuk memperoleh kekuasaan atau memperluas kekuasaan melalui bentuk
kolonialisme/penjajahandan untuk memenuhi kepentingan negara tersebut yaitu mencukupi
kebutuhan akan rempah-rempah. Atas dasar kepentingan dan tujuan tersebut,
negara-negara Barat pada waktu itu tidak mengindahkan norma-norma global dan
hukum internasional.
Geopolitik tersebut dapat
dipahami sebagai kepentingan suatu negara untuk memperluas kekuasaan dan
wilayah dalam rangka memperoleh sumber daya yang dibutuhkan dengan
mempergunakan strategi-strategi penguasaan ruang dan wilayah untuk
memperolehnya. Sehingga negara yang kuat akan menang dan yang lemah akan
terjajah.
Geopolitik tersebut bila
dikaitkan dengan teori Darwinisme dapat disimpulkan bahwageopolitik imperialis
bila dipandang dari kondisi sosial saat itu merupakan suatu “kewajaran”. Teori
seperti Darwinisme sosial, lebensraum, dan organic state sangat menggambarkan
sekaligus mempengaruhi kebijakan negara-negara Eropa. Poin berikutnya yang sangat subyektif bagi
penulis adalah pandangan bahwa teori Mackinder, “heartland” menjadi pemantik
bagi agresifitas Jerman, Italia, dan Jepang dalam Perang Dunia II.[8]
Geopolitik telah lama dikenal
orang bahkan pada zaman sebelumMasehi. Herodotus (484-425 SM), Plato (525-347
SM), dan Aristoteles (364 - 322 SM),termasuk ahli-ahli pikir yang pernah
menyinggung masalah geopolitik. Pada saat itu, mereka masih belum mengenal
istilah yang disebutgeopolitik. Strabo (abad ke-1) hanya mempersoalkan hubungan
antara kondisi fisik(geografi) dan potensi nasional dari imperium Romawi.
Seiring dengan peradaban dankebutuhan manusia akan pentingnyaruang hidup, para
pemikir/ilmuwan mulaimempelajari masalah geografi, yang kemudian melahirkan
berbagai macam ilmu, termasuk ilmu geopolitik, teori ruang hidup, dan berbagai
konsep tentang penguasaan ruang hidup.[9]
a. Teori
Universal Geopolitik
Pengalaman menjadikan
manusia tahu akan sesuatu dan muncullah pengetahuan (knowledge). Pengetahuan
ditularkan, disampaikan, dan diajarkan kepada orang lain sehingga melahirkan
ilmu (sience) yang terus berkembang, baik dalam ilmu pengetahuan alam (IPA)
maupun ilmu pengetahuan sosial (IPS) atau ilmu geografi. Ilmu diterapkan lagi ke
alam/geografi menjadi teknologi dan teknologi memunculkan pengalaman baru,
pengetahuan baru, dan ilmu baru (siklus iptek menurut Ir. Ginanjar
Kartasasmita).
Dari proses pengalaman,
pengetahuan, dan ilmu ini telah muncul berbagai macam ilmu/teori, termasuk ilmu
yang berkaitan dengan penguasaan ruang hidup, baik ilmu geografi politik,
geopolitik, maupun postmo-geopolitik. Sebagai disiplin ilmu, ilmu geografi
politik sebenarnya relatif masih baru meskipun hubungan perilaku politik dengan
lingkungan fisiknya telah berabad-abad lamanya dilakukan pembahasan. Oleh karena
itu, batasan-batasan perumusannya masih secara garis besar.
Salah satu rumusan
menyatakan bahwa ilmu geografi politik adalah studi mengenai kebedaan dan kesamaan
areal watak politik sabagai bagian yang paling berhubungan dengan kompleks
total perbedaan dan kesamaan areal. Interpretasi kebedaan areal dalam sifat politik
memerlukan studi terhadap interelasinya dengan segenap variasi areal yang relevan,
baik yang aslinya bersifat fisik, biotik maupun budaya.
Sebagai bagian dari
geografi, geografi politik menggarap hubungan antara manusia dan bumi serta
aspek semacam ilmu-ilmu fisik, seperti studi mengenai iklim, bentuk tanah, dan
permukaan bumi dari unit politik. Dalam memfokuskan perhatian kepada aktivitas
politik, geografi memakai wahana ilmu-ilmu social, seperti sejarah, sosiologi,
ekonomi, ilmu poliltik, dan hubungan internasional. Pada tingkat negara, geogafi
politik melakukan upaya deskripsi dan analisis terhadap aspek-aspek fisik dari daerah,
tingkat homogenitas dari negara, dan hubungan eksternal dari negara yang bersangkutan.
Geografi dijadikan sebagai
suatu pembenaran dari tujuan politik dan melihat negara dari sudut pandang
ruang. Sehubungan dengan ini, pada dasarnya geografi politik merupakan ilmu
yang menempatkan geografi digunakan sebagai pembenaran dari suatu kebijakan
(policy) dalam mewujudkan tujuan politik. Jika politik diartikan sebagai
pendistribusian kekuasaan (power) serta kewenangan (rights) dan tanggung jawab
(responsibilities) dalam kerangka mencapai tujuan politik (nasional),
geografipolitik berupaya mencari hubungan antara konstelasi geografi dan
pendistribusiannya tersebut. Geografi tidak menentukan, tetapi hanya
mempengaruhi kondisi dari arah jalannya negara. Geografi hanya salah satu dari
sekian banyak corak faktor, baik yang tangial maupun yang intangial, yang
mempengaruhi bentuk pola suatu negara.
Geografi politik merupakan
cabang ilmu pengetahuan yang melandasi lahirnya “ilmu geopolitik”, suatu ilmu
yang menempatkan geografi identik dengan suatu negara, yang bisa bertahan,
menyusut, atau bisa hilang (mati). Walaupun demikian, geopolitik dilihat dari
sudut pandang negara yang diperoleh atau dikuasai dengan mengedepankan kekuasaan.
Kebijakan politik disesuaikan dengan situasi, kondisi, dan konstelasi geografi,
atau dirumuskan dengan pertimbangan geografi, wilayah/teritori dalam arti luas,
yang apabila dilaksanakan dan berhasil, akan berdampak secara langsung atau tidak
langsung pada sistem politik suatu negara.
Bila dipelajari
kaitan-kaitan dan perbedaan antara geografi politik dan geopolitik dengan
menghadapkan ke arah proses perjalanan sejarah pada tahun-tahun sekitar Perang
Dunia II serta ideologi yang menjadi dasar perdaulatan kekuasaan pada saat ini,
akan tampak sifat temporer dari suatu kontroversi yang dibesar-besarkan. Atas
dasar kesadaran itulah, akan lebih mudah dimengerti mengapa banyak ahli yang
kembali ke ajaran geografi politik (political geography), yang memang kurang
mentereng kedengarannya, tetapi yang jelas berpijak di atas landasan yang lebih
mantap.
Meskipun demikian,
haruslah diakui bahwa di Jerman pada zaman Hitler, geopolitik berkembang,
tetapi akar utama dari suatu falsafah yang hampir saja berhasil menjadi kenyataan
politik yang kuat di dunia. Sejarawan Inggris, H. Trevos Roper, menggambarkan
bahwa geopolitik yang dianut dan dilaksanakan oleh Hitler dalam suatu analisis
untuk menyanggah geopolitik yang dianut Hitler sebagai berikut: Hitler, seperti
Spengler, melihat sejarah mirip dengan suatu rangkaian lapisan zaman-zaman geopolitik.
Tiap zaman bercirikan
suatu budaya khusus dan terpisahkan dari zaman-zaman sebelumnya oleh
periode-periode malapetaka, yaitu suatu tradisi yang menggambarkan zaman lampau
dan budaya lama akan digantikan oleh zaman yang baru, misalnya zaman kebudayaan
Mediterania Kuno, zaman Kebudayaan Jerman abad pertengahan, era sesudah
Renaissance, yakni zaman kebudayaan kapitalis yang didominasi oleh kekuatan-kekuatan
maritim. Secara berturut-turut, zaman-zaman tersebut telah mencapai periode
fatalnya dan terpaksa harus digantikan oleh yang baru, tetapi bagaimana
wujudnya zaman yang baru nanti? Budaya siapa yang akan mendominasinya,
bagaimana cara melahirkannya dari kandungan zaman lama yang sudah mendekati
surut?
Untuk semua pertanyaan itu
Hitler telah menyiapkan jawaban-jawabannya. Zaman baru itu nanti merupakan
zaman geopolitik, yang di dalamnya akan terjadi perebutan ruang yang akan
mengakibatkan surutnya negara-negara maritim lama. Inilah yang menyebabkan dia
(Hitler) berani menjamin akan menjadi usainya Britania. Zaman baru itu akan
didominasi oleh kekuatan yang menguasai masa daratan Eropa Tengah dan Eropa
Timur. Memang, ada kemungkinan bahwa yang meguasai itu bangsa Rusia, yang
memang besar jumlahnya dan terorganisasi kuat di bawah pimpinan yang genius dan
totaliter yang ia (Hitler) kagumi, dan sudah terdapat di sana.
Namun, Hitler tidak
menginginkan yang berkuasa itu bangsa Rusia. la (Hitler) menginginkan yang akan
berkuasa itu bangsa Jerman. Oleh karena itu, sebagai jawaban untuk pertanyaan
ketiga, ia menyatakan bahwa kekuasaan itu akan datang tidak melalui proses
ekonomik yang alami, tetapi melalui perubahan dengan kekerasan, suatu perang
"salib" baru untuk merebut dan menjajah, suatu perang antarraksasa dengan
ia sebagai “sang maha pencipta” dari zaman baru, yang dengan kekuatan kemauan
insani akan mengalihkan arah jalannya sejarah yang seakan-akan sudah tidak terelakkan
lagi. Ia akan menanamkan peradaban Jerman yang akan mendominasidunia untuk
seribu tahun akan datang di atas Eurasia yang sudah direbut itu. Ada satu hal
penting lagi yang perlu diperhatikan. Kita tidak boleh mengecilkan bahaya yang
dapat timbul dari adanya pemikiran di antara bangsa Indonesia menganut doktrin
geopolitik dan ideologi yang berakar dari geopolitik Jerman pada masa Perang Dunia
II. Ajaran itu bukan saja karena merupakan produk falsafah Nazi Jerman yang memang
seperti bumi dan langit perbedaannya dengan falsafah bangsa Indonesia, melainkan
karena ada kecenderungan di antara kita untuk senang mengadaptasi sesuatu yang
berasal dari luar dan kelihatan mentereng. Bahkan, ada yang terpengaruh oleh
konsep geopolitik Jerman dan memimpikan semacam Manifest Destiny Amerika Serikat.
Manifest Destiny Amerika
Serikat yang berkembang pada tahun 1830—1860 semula juga dinyatakan tidak
didasarkan pada militerisme. Manivest Destiny Amerika Serikat (MDAS)
digambarkan sebagai ekspansi melalui proses damai merembet/menguasai seluruh
Kontinen AS dengan berdasarkan asas pemerintahan republik. Namun, ternyata
kesamaannya dengan asas geopolitik Jerman sangat tampak.
Baik geopolitik Jerman
maupun MDAS, keduanya memasalahkan "ruang hidup" dan memilih jalan
ekspansionisme sebagai kebutuhan biologik kehidupan negara, mencari pembenarannya
atas dasar konsepsi negara sebagai organisme. Keduanya didasarkan pada teori
economically integrated large space areas sebagaimana halnya gagasan ekonomi
terintegrasi Mittel-Eropa Geopolitik Jerman. Demikian juga, ekspansi AS ke barat,
ke selatan, dan ke utara yang akhirnya menjadi slogan perang. Manifest Destiny dan
pembenaran teoretis dalam asas kesatuan geografi.
Dalam alasan-alasan yang
dipakai oleh para penganut MDAS terdapat determinisme geografis dan
konsep-konsep geopolitik yang belum jelas dan konsep-konsep perbatasan alamiah
(natural boundaries). Pernyataan yang paling keras dalam hal ini dikeluarkan
oleh W.H. Seward. Sekretaris Presiden Lincoln pada tahun 1860, dalam pidatonya
di St. Paut (Minnesota), menyatakan paham geopolitiknya. Ia membayangkan
ekspansi Amerika Serikat meliputi seluruh Kontinen Amerika itu dan dilandaskan
pada dalih "kodrat Illahi". Sesudah perang saudara, gagasan-gagasan geopolitik
Seward makin meluas hingga meliputi Empire Amerika yang lebih besar lagi, yang
meliputi kepulauan-kepulauan di Karibia, Kuba, dan Puerto Rico. Dalam
citacitanya untuk mempunyai jajahan wilayah di Atlantik dan Pasifik, Seward membayangkan
rencana untuk rute kapal lewat Nikaragua dengan menjamin hak transit dalam
perjanjian tahun 1867. Seward mengharapkan AS mencaplok Hawaii, dan menganjurkan
aneksasi Kanada. Realisasi satu-satunya yang dapat diwujudkan adalah pembelian
Alaska dari Rusia. Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa Manifest
Destiny AS dan geopolitik
jelas merupakan suatu pengetahuan yang didasarkan pada pokok-pokok pemikiran
(basic ideas) sebagai berikut:
a.
Konsep
dasar "ruang hidup" dan—oleh karena itu—mengarah ke ekspansionisme
sebagai "biological necessity in the lives of state" (kebutuhan biologik
kehidupan negara yang dibenarkan oleh konsepsi negara sebagai organisme);
b.
Teori
adu kekuatan, kekuasaan, perebutan kekuasaan atau penguasaan posisi, dan
dominasi dunia;
c.
Teori
ras, yaitu bahwa berdasarkan bakat, sifat-sifat potensi suatu bangsaatau ras
tertentu, bangsa itu dianggap berhak, bahkan berkewajiban memimpin bangsa lain;
d.
"Hukum-hukum
yang menentukan takdir” suatu bangsa atau negara (deterministik) dan
kadang-kadang berdasarkan the fulfilment of the will of Providence (memenuhi
suruhan Tuhan);
e.
Geografi
sebagai sarana untuk membenarkan tindak agresi atau ekspansi;
f.
Teori
economically integrated large space areas (wilayah ruang luas yang terintegrasikan
secara ekonomis);
g.
Pembenaran
dalam "the principle of geographical unity". Dalam argumen dan
proponennya memeluk geographical determinisme dan konsep geopolitik yang kabur
tentang natural frontiers (kabur karena tidak konsisten untuk semua bangsa dan
keadaan serta hanya menguntungkan pihak sendiri). Jika teori geografi itu
memiliki karakteristik seperti dikemukakan di atas, teori itu dinamakan
geopolitik. Jika tidak demikian, sudah tentu harus dipakai nama yang lain untuk
membedakannya. Misalnya, kalau ilmu itu didasarkan pada teori yang lebih nyata,
yang lebih konkret landasannya, dan memusatkan perhatian pada unsur-unsur
geografi yang lebih nyata dan penerapannya lebih berguna untuk keperluan
perumusan haluan negara, politik, dan strategi nasional, seyogianya atau
mungkin lebih tepat disebut implementasi wawasan nasional atau geografi politik
sebagai ilmu dan politik geografi sebagai politik yang didasarkan pada
pertimbangan geografi.
Sekalipun Bung Karno
banyak mengambil dalil-dalil geopolitik Karl Haushoper yang diterapkan oleh
Hitler pada zamannya, geopolitik Indonesia tetap berpijak pada Pancasila
sebagai falsafah hidup bangsa, dasar negara, dan ideologi nasional. Pancasila
menempatkan hubungan manusia, negara, dan ruang hidup Sebagaipemberian dan
anugrah dari Tuhan Yang Maha Kuasa, yang harus diterima dan disyukuri oleh
seluruh bangsa Indonesia. Negara merupakan satu sistem kehidupan nasional yang
mencerminkan dua dimensi sistem kehidupan manusia, Negara dalam realita
kehidupan merupakan ruang hidup yang di dalamnya terdapat hubungan antara pemerintah,
rakyat, dan wilayah atau geografi, tempat manusia berjuang bersama mewujudkan
cita-cita dan tujuan bersama dalam rangka mempertahankan hidup dan kelangsungan
hidup bersama.
Negara dalam dimensi
manusia sebagai hamba Tuhan, terdapat hubungan filosofis antara manusia dan
Tuhan, antarsesama manusia dan alam, yang merupakan sumber hidup demi
kelangsungan hidup bersama. Dalam dimensi ini, negara merupakan sistem
kehidupan yang bersifat abstrak, yang menitikberatkan pada hekikat keberadaan
kehidupan manusia di muka bumi, yang sengaja diciptakan Tuhan hanya untuk
beribadah kepada-Nya. Hubungan filosofis antara manusia dan Tuhan, manusiadan manusia,
serta manusia dan alam, merupakan inti dari tiga sila Pancasila (kesatu, kedua,
dan ketiga) yang bersifat abstrak yang mendasari pemikiran manusia
Indonesia dalam kehidupan
yang bermasyarakat. Pemikiran ini sangat terkait dengan berbangsa dan bernegara
dengan pemikiran Bung Karno tentang ruang hidup, yaitu bahwa orang dan tempat
tidak dapat dipisahkan, rakyat dan bumi yang ada di bawah kakinya tidak dapat
dipisahkan. Konsep ini menjadi sangat relevan pada masa itu, yaitu saat status
wilayah Hindia Belanda dari Sabang sampai Merauke (kini NKRI) dalam peralihan dari
penguasa Jepang ke penguasa Sekutu sebagai pemenang perang (Belanda terdapat di
dalamnya).
Dari sudut pandang
geopolitik, tuntutan kemerdekaan Indonesia atau wilayah eks Hindia Belanda (dari
Sabang sampai Merauke), berikut bangsa dan tanah airnya, menjadi memiliki
landasan yang kuat. Kondisi atau persyaratan tersebut, selain ditentukan/diarahkan
kepada pihak-pihak yang bersengketa (Sekutu dan Jepang), juga disampaikan ke
badan dunia (PBB) dan dimasyarakatkan dengan gencar kepada seluruh anak bangsa
Indonesia, untuk membangkitkan semangat, kesadaran perolehan dukungan. Tidak
mengherankan apabila sejak dini para pendiri negara Indonesia, telah meletakkan
dasar-dasar geopolitik Indonesia melalui pemantapan wawasan kebangsaan dengan
unsur-unsur rasa kebangsaan, paham kebangsaan, dan semangat kebangsaan. Ketiga
unsur wawasan kebangsaan ini menyatu secara utuh, menjadi jiwa bangsa
Indonesia, dan nilai-nilainya mengkristal dalam Pancasila sebagai nilaikeindonesiaan,
serta sekaligus pendorong cita-cita proklamasi. Dengan kata lain,
nilainilaikeindonesiaan itu telah terpatri dalam Pancasila dan telah mendarah
daging dalamjiwa dan sanubari setiap anak bangsa Indonesia. Nilai-nilai itu
juga sangat menentukan keberhasilan geopolitik Indonesia dalam mempertahankan
dan mengisi kemerdekaan, sebagaimana yang telah dibuktikan oleh adanya nilai-nilai
pada wawasan kebangsaan dalam merebut kemerdekaan dari tangan penjajah, suatu
nilai keindonesiaan yang merupakan inti pandangan geopolitik Indonesia yang
harus dipertahankan dan ditingkatkan, terutama dalam menghadapi era
globalisasi.
1)
Teori
Ruang Hidup
Teori
tentang geopolitik sangat erat hubungannya dengan angan-angan (desire)
yang ada pada penyusun teori dari warga yang berada dalam satu negara. Teori geopolitik
atau pandangan-pandangan tentang geopolitik yang secara universal dapat diterima
oleh semua bangsa di dunia relatif belum ada. Teori geopolitik pada awalnya hanya
memberikan justifikasi (reachs ground) atau verantschuldiging-ground bagi
ekspansi dari negara penyusun. Teori geopolitik Wandell Wilky yang berjudul The
OneWorld tidak laku atau tidak populer, bahkan terabaikan karena dianggap
tidak mungkin menjadikan pemerintahan dunia berdasarkan geopolitik dunia.
Pada
umumnya, suatu negara dapat mengambil beberapa segi dari teori-teori geopolitik
yang berguna untuk tujuan politiknya, yang disesuaikan dengan situasi, kondisi,
dan konstelasi geopolitik, serta falsafah hidup (ideologi) negara
masing-masing, seperti pemikiran yang menyatakan bahwa ruang hidup merupakan
inti geopolitik. Hal ini merupakan suatu kenyataan bahwa setiap bangsa
memerlukan ruang hidup untuk mempertahankan hidup dan kelangsungan hidup dalam
rangka mewujudkan cita-cita bangsa/negara. Geopolitik mengajarkan bahwa wilayah
bagi suatu bangsa merupakan ruang hidup dan kehidupan yang harus dimiliki dan
dipertahankan. Menurut geopolitik, batas-batas ruang hidup relatif tidak tetap,
bergantung pada kebutuhan bangsa yang memiliki ruang hidup tersebut.
Kebanyakan
mazab geopolitik didominasi oleh para pemikir dari Eropa Barat dan berkembang
sesuai dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek), terutama teknologi
kesenjataan teknis (militer) dan kesenjataan nonteknis (sosial). Terdapat beberapa
pemikiran dari pokok-pokok/ilmiah yang cukup menonjol dan terkenal yang berkaitan
dengan penguasaan ruang hidup, antara, lain berikut ini.
a)
Ruang
Hidup dalam Pemikiran Barat
ü Frederich Ratzel (1844--1904)
Pada
akhir Abad XIX, untuk pertama kalinya Frederich Ratzel dalam bukunya Antropo-Geographi
merumuskan ilmu bumi politik sebagai hasil penelitiannya secara ilmiah dan
universal (tidak khusus suatu negara). Pokok-pokok ajarannya adalah sebagai
berikut.
·
Dalam
hal-hal tertentu pertumbuhan negara dapat dianalogikan dengan pertumbuhan
organisme yang memerlukan ruang hidup melalui proses lahir, tumbuh, berkembang,
mempertahankan hidup, tetapi dapat juga menyusut dan mati.
·
Negara
identik dengan suatu ruang yang ditempati kelompok politik dalam arti kekuatan.
Makin luas potensi ruang tersebut, makin memungkinkan kelompok politik itu tumbuh
(teori ruang, konsep ruang).
·
Suatu
bangsa dalam mempertahankan kelangsungan hidupnya tidak terlepas dari hukum
alam. Hanya bangsa unggul saja yang dapat bertahan hidup terus dan langgeng.
·
Semakin
tinggi budaya suatu bangsa, semakin besar kebutuhan dukungan akan sumber daya
alam.
·
Bahwa
perkembangan atau dinamika budaya/kebudayaan dalam bentuk-bentuk gagasan atau kegiatan
(ekonomi, perdagangan, perindustrian/produksi) harus diimbangi dengan pemekaran
wilayah.
·
Batas-batas
suatu negara pada hakikatnya bersifat sementara.Apabila sudah tidak dapat
memenuhi keperluan, ruang hidup negara dapat diperluas dengan mengubah batas-batas
negara baik secara damai maupun melalui jalan kekerasan atau perang.
·
Ilmu
bumi politik berdasarkan ajaran Ratzel tersebut menimbulkan dua aliran:
satu pihak menitikberatkan kekuatan di darat, pihak lain menitikberatkan
kekuatan di laut. Ratzelmelihat persaingan antarkedua aliran itu sehingga ia
mengemukakan pemikiran yang baru, yaitu dengan meletakkan dasar-dasar
suprastruktur geopolitik bahwa kekuatan total suatu negara harus mampu mewadahi
pertumbuhannya yang dihadapkan pada kondisi dan kedudukan geografi di
sekitarnya. Dengan demikian, esensi pengertian politik adalah penggunaan
kekuatan fisik dalam rangka mewujudkan keinginan atau aspirasi nasional suatu
bangsa. Hal yang demikian sering menjurus ke arah politik adu kekuatan
atau adu kekuasaan dengan tujuan
dominasi. Pemikiran Ratzel menyatakan bahwa ada kaitan antara struktur
politik atau kekuatan politik dan geografi serta tuntutan perkembangan atau
pertumbuhan negara yang dianalogkandengan organisme (kehidupan politik).
ü Rudolph Kjellen (1864--1922)
Sarjana
bangsa Swedia dari universitas di Goterberg ini adalah pencipta istilah geopolitik.
Pada dasarnya, dia berpandangan pro-Jerman dan sangat berjasa terhadap pengembangan
pandangan–pandangan. Kjellen, dalam bukunya Staten Som
Litsfrom (1916), melanjutkan ajaran Ratzel tentang teori organisme. Yang
dikemukakan olehRatzeladalah analogi, sedangkan Kjellen menegaskan bahwa negara
adalah suatu organisme yang dianggap sebagaiprinsip dasar. Dalam tahun 1916, ia
menulis bahwa negara berakar kuat di dalam sejarah dan realitas–realitasnya
tumbuh secara organisme sebagai tipe dasar organisme dan sama halnya dengan
manusia. Menurut R. Kjellen, kekuasaan lebih penting daripada hukum sebab hukum
hanya dapat ditegakkanoleh kekuasaan. Esensi ajaran Kjellen adalah sebagai
berikut.
·
Negara
merupakan satuan biologis, suatu organisasi hidup, yang juga memiliki
intelektual untuk mencapai tujuan negara yang dimungkinkan hanya dengan
memperoleh ruang yang cukup luas agar dapat mengembangkan kemampuan dan
kekuatan rakyat secara bebas.
·
Negara
merupakan suatu sistem politik/pemerintahan yang meliputi bidang-bidang
geopolitik, ekonomi politik, demo politik, sosial politik, dan krato politik
(politik pemerintah).
·
Negara
tidak harus bergantung pada sumber pembekalan luar,tetapi harus mampu
berswasembada serta memanfaatkan kemajuan kebudayaan dan teknologi untuk meningkatkan
kekuatan nasionalnya sebagai berikut :
(1)
ke dalam, untuk mencapai persatuan dan kasatuan yang harmonis;
(2)
ke luar, untuk memperoleh batas-batas negara yang lebihbaik;
(3)
kekuasaan imperium kontinental dapat mengontrol kekuatan di laut.
ü Sir Halford Mackinder (1861--1947)
Guru
Besar Geologi di universitas London ini adalah sarjana pertama yang menggunakan/mengemukakan
teori geostrategis kontinental walaupun ia berasal dari negara maritim.
Sekalipun demikian, teorinya telah merupakan mercu suar bagi para ahli
geopolitik dan geostrategis Jerman. Walaupun ia sendiri tidak menyadarinya, dia
berpendapat bahwa untuk menguasai “daerah jantung dunia”, yaitu Eropa Timur
(negara eks Uni Soviet, Eropa dari eks negara Pakta Warsawa). Teori ini
dinamakan teori daerah jantung yang menganggap bahwa daerah tersebut
sangat strategis untuk dapat menguasai Pulau Eurasia (Eropa-Asia) yang pada
awal Abad XX seolah-olah merupakan pusat kegiatan dunia.
Penganut
teori ini bukan Inggris tempat Mackinder berasal, melainkan negara Jerman Nazi
yang motivasi daerah jantung pada Perang Dunia II. Begitu juga Uni Soviet yang
membentuk Pakta Warsawa.
ü
Karl
Haushofer (1869--1946)
Seorang
Sarjana Geografi yang pada tahun 1933 diangkat menjadi Direktur Institut
Geopolitik di Munich mendefinisikan geopolitik sebagai ilmu pengetahuan tentang
hubungan bumi dan perkembangan politik. Teori-teorinya banyak dipengaruhi oleh
Ratzel. Pandangan Ratzel tentang negara organis, tentang perbatasan organis
dikembangkan olehnya. Juga ajaran-ajaran Mackinder diberi tafsiran-tafsiran
yang menguntungkan Jerman Raya. Ajaran-ajaran Haushofer adalah sebagai berikut.
·
Jerman
Raya terjepit di antara dua kekuasaan besar dari Barat yang didesak oleh
bajak-bajak laut (Inggris ); dari timur oleh kaum gelandangan asal wilayah
jantung (Rusia). Untuk mengatasi jepitan ini, Jerman Raya perlu mempunyai kekuasaan
pengawasan terhadap Eropa Timur guna menanggulangi desakan dari Timur, dalam
menghadapi laut yang dapat menandinginya.
·
Teori
Lebensraum , teori Haushofer ini didasarkan atas anggapan bahwa
bangsa-bangsa yang telah berkembang dengan cepat memiliki sifat-sifat yang
lebih sempurna. Oleh karena itu, bangsa-bangsa tersebut harus diberikan
kesempatan berkembang dalam arti memperluas daerahnya.
ü Nicholas J. Spykman (1893--1943)
Spykman,
Sarjana Geopolitik terkemuka di USA, menyatakan bahwa geopolitik memberikan
suatu gambaran yang berkembang dengan suatu kerangka petunjuk tertentu. Suatu
wilayah dipandang dari sudut geopolitik ditentukan oleh faktor-faktor
geografinya dan oleh perubahan-perubahan dinamis dari pusat-pusat kekuasaan
dunia. Spykman berpendapat bahwa siapa pun yang ingin menguasaidunia harus
menguasai daerah jantung dunia. Menurut dia, penguasaan daerah jantung itu
memiliki akses dengan daerah pantai. Ini berarti bahwa negara-negara pantai sepanjang
puiau dunia Eurassa harus dikuasai, muiai dari negara Skandinavia, Eropa Barat,
Pantai Laut Tengah, Asia Barat, Asia Selatan, Asia Tenggara, sampai dengan AsiaTimur.
Seluruh negara pantai Eurasia ini kalau digabungkan bentuknya seperti bulan sabit.
Oleh karena itu, teori Spykmanini sering dlsebut "teori bulan sabit".
Teori ini dipraktikkan dengan baik bukan oleh bangsa Belanda, melainkan oleh
bangsa Inggris yang berusaha keras mendominasi Eropa Barat. Bahkan, sampai
sekarang dia tetap menduduki Gilbraltaryang merupakan bagian dari Spanyol.
Terusan Suez, Mesir, negara-negarateluk, Iran, Irak, India, Pakistan,
Bangladesh, Singapura, Malaysia, Makao, dan Hongkong pernah dijajah oieh
Inggris.
b)
Ruang
Hidup dalam Era Globalisasi oleh Konichi Ohmae
Kenichi Ohmae,dengan
dua bukunya yang terkenai Borderless World (1991) dan The End of
Nation State (1995), mengatakan bahwa dalam perkembangan masyarakat global,
batas-batas wilayah negara daiam geografi dan poiitik relatif masih
tetap, tetapi kehidupan dalam satunegara tidak mungkin dapat membatasi kekuatan
global yang berupa informasi,investasi,industri, dan konsumen yang makin
individual. Kenichi Ohmae juga rnemberikan pesan bahwauntuk dapat menghadapi
kekuatan global, suatu negara harus mengurangi peranan pemerintahpusat dan
lebih mernberikan peranan kepada pemerintah daerah dan masyarakat.
Dari
nilai-nilai global seperti dijelaskan di atas, dapat dikenali hakikat teori
geopolitik, yaitu negara sebagai organisme dapat memperluas diri. Hingga saat
ini teori ini tetap dianut dengan bukti berupa makin berkembangnya ajaran/paham
yang menganggap sudah tidak diperlukannya lagi batas negara dengan segala
aturannya yang menghambat lalu-lintas semua aspek kehidupan internasional,
terutama bidang perekonomian, demi tercapainya kemakmuran yang setinggi-tingginya
bagi manusia, tanpa membedakan asal negaranya. Kesemuanya itu hanyalah strategi
dan taktik negara-negara maju, yaitu tanpa kekerasan senjata dapat memperoleh keuntungan
yang sebesar-besarnya dengan segala macam cara, tidak peduli dengan
merugikandan menyengsarakan sebagian besar rakyat negara-negara berkembang. Hal
ini dilakukankarena yang utama bagi negara-negara maju tetap saja, yaitu
kepentingan nasional masing-masing dengan kedok segala macam alasan yang berbau
globalisasi.
c)
Ruang
Hidup dalam Pemikiran Bangsa Indonesia
Pada
saat bangsa Indonesia berada di depan gerbang kemerdekaan, persoalan tanah air bangsa
Indonesia kelak, sesudah merdeka, masih dipersoalkan. Hal tersebut tampak pada penegasan
Bung Karnopada salah satu sesi Sidang BPUPKI (1 Juni 1945) yang berbunyi, "Menurut
geopolltik, Indonesia tanah air kita. Indonesia yang bulat, bukan Jawa saja,
bukan Sumatra saja atau Borneo saja, atau Selebes saja atau Ambon saja atau
Maluku saja, tetapi segenap kepulauan yang ditunjuk oleh Allah SWT menjadi suatu
kesatuan antara dua benua dan dua samudra, itulah tanah air kita!” Penalaran
seperti itu didasari teori ruang hidup, "... bahwa orang dan tempat tidak
dapat dipisahkan; tidak dapat dipisahkan rakyat dari bumi yang ada di bawah
kakinya”, seperti diutarakan Bung Karnopada pokok bahasan lainnya. Konsep ini
menjadi sangat relevan pada masa itu, yaitu saat status wilayah Hindia Belanda
dari Sabang sarnpai Merauke (kini Indonesia) dalarn peralihan dari penguasaan
Jepang ke penguasaan Sekutu (Belanda terdapat di dalamnya sebagai pemenang
perang. Dari sudut pandang geopolitik,dengan demikian, itu kemerdekaan
Indonesia. Bangsa berikut tanah airnya (eks Hindia Belanda)menjadi memiliki
landasan kuat; kondisi atau persyaratan tersebut selain ditentukan oleh pihak-pihak
yang bersengketa (sekutu Jepang) dan badan dunia (PBB), juga masyarakat akan
gencar kepada bangsa Indonesia untuk membangkitkan kesadaran memperoleh
dukungan.
Hubungan
antara manusia, negara, dan ruang hidup, jika dilihat dari sudut pandang
ideologi Pancasila, tidak sama pendekatannya dengan ideologi yangditerapkan
Barat (liberal).Setiap manusia (masyarakat) butuh negara, sedangkan negara
butuh ruang hidup sehingga pakar/ilmuwan seperti Fredriek Ratzel dan Rudolf Kjellen
menyatakan bahwa negara merupakan suatu organisme hidup (entitas biologis). Untuk
itu, demi kelangsungan hidup diperlukan adanya perluasan ruang hidup (eksplorasi),
baik secara periodik (pendekatan) maupun secara nonpriodik (perluasan ekonomi/kapitalisme
dan imperalisme). NKRI memiliki falsafah hidup bangsa, dasar negara, dan
ideologi nasional Pancasila. Semuanya diperoleh atas kehendaki Tuhan Yang Maha
Esa yang harus diterima dan disyukuri sebagai suatu nikmat dan anugerah. Dengan
demikian, bangsa Indonesia tidak sedikit pun berpikir untuk eksplorasi memperluas
ruang hidup, tetapi akan mempertahankan seluruh wilayah kedaulatan NKRI yang
telah diberikan Tuhan kepada bangsa Indonesia dan siap membelanya sampai titik
darah penghabisan.
Dalam
sejarah perjuangan merebut dan mempertahankan kemerdekaan, bangsa Indonesia
merasakan sendiri betapa kesengsaraan dan penderitaan akibat peperangan melawan
penjajah telah menimpa seluruh rakyat, baik secara langsung maupun
tidaklangsung. Akan tetapi, seberapa pun besarnya kesengsaraan dan penderitaan
yangdialami, bangsa Indonesia menganggapnya sebagai suatu pengorbanan yang
wajar,yang harus ditempuh demi tercapainya suatu harapan: merdeka, berdaulat,
dan bermartabat.
Hidup
sebagai bangsa yang terjajah, tanpa kebebasan dan martabat selama ratusan tahun
telah menjadi kekuatan moral dan sebagai landasan kokoh bagi perjuangan panjang
yang tak kenal menyerah. Perang yang akan melibatkan seluruh dana dan daya,
menggerakkan segenap potensi dan kemampuan sumber daya, serta menyengsarakan
rakyat, memang seharusnya dihindari. Akan tetapi, demi kemerdekaan, kedaulatan,
serta martabat bangsa dan negara sebagai nilai hidup yang harus dipertahankan,
perang adalah tindakan yang tidak mustahil untuk dilancarkan.
Dalam
hal ini, perang merupakan upaya terakhir yang terpaksa dilakukan setelah
segalaupaya damai gagal membuahkan solusi. Dengan pemahamanterhadap kenyataan
di atas, dan pemahaman terhadapkonsep-konsep yang melatarbelakangi persepsi
tentang eksistensi bangsa dannegara, terbentuklah paham tentang perang bagi
bangsa Indonesia,yaitu bahwa bangsa Indonesia cinta damai, tetapi lebih cinta
kemerdekaan dan kedaulatan. Hal ini menyiratkan arti bahwa hidup di antara
sesama warga bangsa dan bersama bangsa-bangsa di dunia merupakan kondisi yang
terus-menerus perlu diupayakan. Sebaliknya, penggunaan kekuatan nasonal dalam
wujud perang hanyalah dilakukan untuk mempertahankan kemerdekaan dan kedaulatan
yang juga berarti martabat bangsa dan integritas nasional. Oleh karena itu,
sedapat mungkin diusahakan agar wilayah nasional tidak menjadi ajang perang.
Jelaslah bahwa perang dalam pemahaman bangsa Indonesia bukanlah alat untuk
mengembangkan wilayah negara sebagai ruang hidupnya, sebagaimana esensi teori
klasik yang pernah dianut oleh beberapa negara Barat dalam mengembangkan
imperiumnya. Konsekuensi dari paham tersebut ialah bahwa bangsa Indonesia harus
merencanakan, mempersiapkan, dan mendayagunakan segenap potensi sumber daya
nasional secara tetap dan terus-menerus, sesuai dengan perkembangan zaman.
2)
Konsep Penguasaan Ruang Hidup
Ruang hidup bagi suatu bangsa sangat ditentukan oleh penguasaan wilayah/ruang.
Penguasaan wilayah atau ruang yang dituangkan di dunia Barat, banyak dipengaruhi
oleh pemikiran-pemikiran tentangkonsep penggunaan kekuatan, yang disesuaikan
dengan perkembangan persenjataan yang dimiliki pada saat itu, terutama persenjataan
perang. Pengembangan penguasaan ruang wilayah dengan kekuatan, antara lain,
dikembangkan oleh pemikir-pemikir terkenal berikut.
a)
Pemikiran Sir Waltes Raleigh ( 1554--1618 )
Raleigh yang hidup pada abad romantis, yaitu masa
kapal perang layar, percaya bahwa negara Inggris akan jaya di dunia dalam
menyaingi negara koloni lainnya apabila memiliki armada perang yang sangat
kuat. Raleigh berharap agar armada perang Inggris tidak akan ada yang dapat
mengalahkan di setiap samudra dunia. Hal itu sesuai dengan yang tercantum dalam
moto Inggris, yaitu England Ruler the Wave dan England Rules the
Seven Ocean. Moto ini telah ditegakkan oleh Raleigh selama kariernya sebagai
Laksamana Inggris, dengan mendirikan negara kolonial di seluruh dunia, seperti
Amerika, Afrika, Asia, dan Australia. Koloni yang tersebar di seluruh dunia itu
telah meningkatkan bahasa Inggris menjadi bahasa internasional dan bidang
ekonomi serta perdagangan menjadi maju.
b)
Pemikiran Alfred Thayer Mahan (1840--1914)
A.T. Mahan, yang hidup pada awal Abad XX sebagai
seorang Kepala Akademi Angkatan Laut Amerika Serikat, berwawasan luas dan
modern berkat pengalamannya selama di angkatan laut. Dalam bukunya yang
berjudul Influenceof The Sea Power Upon History (1660—1783) dijelaskan
bahwa Amerika Serikat dapat menjadi negara adidaya dengan mengembangkan
industri maritim modern yang akan menghasilkan armada dagang untuk melancarkan
perdagangan Amerika Serikat ke seluruh dunia dan sekaligus membangun armada
perang untuk melindunginya.
Menurut Mahan, yang berbeda dari Raleigh, Amerika Serikat tidak
perlu menguasai seluruh samudera di dunia, tetapi cukup menguasai jalur-jalur
laut vital (sea lines of communication) atau SLOC. SLOC itu terbentang
antara Eropa Barat dan Amerika Serikat, Afrika--Amerika Serikat, Amerika
Serikat--Asia Timur, Amerika Serikat–Australia lewat Asia Tenggara, dan jalur
energi Amerika Serikat- -Timur Tengah, serta jalur Samudra Atlantik–Terusan
Panama–Samudera Pasifik. Oleh karena itu, menurut Mahan, armada perang Amerika
Serikat untuk membela kepentingan nasionalnya perlu dibagi berdasarkan SLOC
vital tersebut, yaitu Armada I, II, III, IV, V, VI, dan VII. Sejarah dunia
telah membuktikan betapa tajam pemikiran Mahan yang telah mengantar Amerika
Serikat menjadi negara adidaya didunia.
c)
Pemikiran William Mitchell dan Giulio Douhet
Mereka berpendapat bahwa kekuatan udara harus dipisahkan dari kekuatan
darat dan menjadi angkatan udara tersendiri. Sifat matra udara itusangat andal
karena dapat menjangkau jarak yang jauh dan kecepatan sangat tinggi. Oleh
karena itu, manajemen kekuatan udara harus dipisahkan dari kekuatan darat.
Berkat perjuangan Mitchell, Angkatan Udara Amerika Serikat, dipisahkan dari
angkatan daratnya pada tahun 1947, kemudian banyak diikutioleh angkatan perang
negara lainnya (Douhet dengan buku The Command ofThe Air, Essay in
the Art of Airial Wafare, Mitchell dengan buku Winged Defence )
d)
Pemikiran Alexander P. De Seversky
Menurut Seversky, kekuatan dan kekuasaan dunia kemudian hari akan
sangat ditentukan oleh kekuatan pesawat pengebom angkatan udara negara masing-masing.
Menurutnya, daerah Kutub Utara akan menjadi ajang pertempuran pesawat pengebom
negara adidaya. Sekarang sudah menjadi kenyataan, bahkan lebih mengerikan lagi,
bahwa daerah Kutub Utara menjadi jalan bagi roket-roket antarbenua yang dapat
mengangkut hulu ledak nuklir berkendala ganda, yaitu delapan sampai enam belas
buah (De Seversky dengan bukunya Air Power Key to Survival, 1950 )
e)
Pemikiran Bangsa Indonesia
Konsep penggunaan kekuatan nasional Indonesia dalam mempertahankan
kedaulatan NKRI disesuaikan dengan pandangan geopolitik Indonesia yang
disasarkan pada falsafah hidup Pancasila. Konsep itu merupakan suatu pandangan
yang mengacu pada falsafah kemanusiaan, dalam hubungan antara manusia dan
Tuhan, manusia dan manusia, serta manusia dan alam atau geografi.Pada
hakikatnya manusia diciptakan oleh Tuhan di muka bumi, hidup dalam tiga dimensi
ruang dalam wujud suatu wilayah daratan, lautan, dan dirgantara. Manusia pada
kenyataannya hidup berkelompok dari suatu wilayah ke wilayah lain, sejalan
dengan tingkat peradaban manusia dengan kebutuhan akan sumber daya alam, sampai
terbentuknya suatu bangsa yang kemudian menetap dan menegara.
Tidak semua negara memiliki tiga dimensi ruang hidup dan hal ini
yang membedakan pemanfaatan ruang hidup sesuai dengan kondisi geografisnya masing-masing.
Kondisi semacam ini telah ikut mempengaruhi pemikiran manusia dalam
mempertahankan hidup bersama, yang tercermin dalam berbagai wawasan. Dengan
kata lain, wawasanyangterbentuk sangat dipengaruhi oleh suatu realita dari
keadaan geografis yang memberikan ruang gerak dan ruang hidup bersama, bagi
satu kelompok masyarakat yang membangsa dan menegara. Bagi suatu negara
kepulauan seperti Indonesia, pernah terkembang berbagai wawasan, seperti adanya
Wawasan Benua, Wawasan Bahari, ataupun Wawasan Dirgantara, terutama di kalangan
Angkatan Bersenjata.
Melalui Sidang PBB di MontegoBay tentang Hukum Laut Internasional pada
tahun 1982, pokok-pokok asal negara kepulauan diakui dan dicantumkan dalam
UNCLOS 82 (United Nation on the Law of the Sea atau Konverensi Perserikatan
Bangsa-Bangsa tentang Hukum Laut). Indonesia meratifikasi UNCLOS 82, melalui UU
No. 17 Tahun 1985 pada tanggal 31 Desember 1985. Setelah diratifikasi oleh 60
negara, materi UNCLOS 82 diberlakukan sebagai hukum positif sejak 16 November
1994. UNCLOS 82 berpengaruh terhadap upaya pemanfaatan laut bagi kepentingan
kesejahteraan, seperti diakuinya Zone Ekonomi Eksklusif (ZEE) dan Landasan Kontinen
Indonesia. Dari segi ini UNCLOS 82 memberikan keuntungan bagi pembangunan
nasional, yaitu bertambah luasnya perairan yuridiksi nasional berikut kekayaan
alam yang terkandung di laut dan dasar lautnya, serta terbukanya peluang untuk
memanfaatkan laut sebagai media transportasi. Namun, dari segi lain potensi kerawanannya
bertambah besar pula.
Di samping hal tersebut, berdasarkan pada UNCLOS 82, Indonesia
tetap harus menghormati hak-hak negara lain wilayah negara kepulauan, seperti
hak lintas damai dan lintas transit, hak lintas jalur kepanduan, hak
penerbangan melintas, serta pencarian, dan penyelamatan (SAR). Penguasaan
terhadap ruang dirgantara tidak semulus wilayah lautan karena berdasarkan
perjanjian tahun 1967, yang menetapkan bahwa ruang antariksa merupakan wilayah
bangsa, yang berarti dapat dimanfaatkan oleh setiap bangsa. Pemanfaatan ruang antariksa
yang berbeda di atas wilayah suatu negara didasarkan pada prinsip siapa yang
berada di sepanjang khatulistiwa, memiliki bentangan ruang antariksa yang
sangat luas dan panjang. Ruang antariksa ini sangat bermanfaat untuk menempatkan
satelit-satelit geostrationer dan dengan sendirinya sangat merugikan
kepentingan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Ruang hidup bangsa Indonesia
memiliki tiga demensi yang relatif sangat luas, dengan ribuan pulau yang
tersebar sepanjang khatulistiwa. Untuk mempertahankan kedaulatannya, diperlukan
suatu konsep penggunaan kekuatan yang disesuaikan dengan situasi, kondisi, dan konstelasi
geografis, kemampuan pembangunan kekuatan nasional yang disesuaikan dengan
perkembangan lingkungan, serta paham bangsa Indonesia tentang perang dan damai,
untuk membangun kekuatan bersenjata yang mampu melindungi segenap bangsa dan seluruh
tumpah darah Indonesia. Dengan kemampuan sumber daya nasional yang dimiliki
bangsa Indonesia, tampaknya tidak sesederhana yang kita pikirkan atau
bayangkan.
Dalam pergaulan antarbangsa dan negara, pasti terdapat hubungan kepentingan
yang tidak dapat dihindari, yang saling memerlukan. Oleh karena itu, penguasaan
suatu wilayah atau negara (ruang hidup) oleh satu bangsa atau negara lain
dengan penggunaaan kekuatan pasti akan diimbangi oleh kekuatan lain (negara
lain) yang interes atau berbeda kepentingan. Setidak-tidaknya tidak membiarkan
terjadinya penguasaan suatu wilayah, yang bangsa atau negara lain juga
berkepentingan, seperti halnya yang terjadi pada masa pemerintahan Soekarno
dalam merebut Irian Barat, yang mendapat bantuan persetujuan perang dari negara
Uni Soviet. Sehubungan dengan ini, di dalam membangun dan menggunakan kekuatan
nasional, bangsa Indonesia dituntut untuk lebih memahami dan mendalami
pandangan geopolitik Indonesia.
Geopolitik yang dikembangkan oleh pemikir-pemikir Barat tentang
hubungan antara manusia, negara, dan ruang hidup, yang menekankan pada negara
sebagai organisme hidup (entitas biologis), telah memicu pemikiran Bung Karno
tentang pandangan geopolitik Indonesia di dalam merebut, mempertahankan, dan
mengisi kemerdekaan. Bung Karno menekankan bahwa setiap manusia tidak dapat
dipisahkan dari tempat tinggalnya atau rakyat tidak dapat dipisahkan dari bumi
tempat mereka berpijak untuk menjadikan suatu bangsa menjadi besar. Menurut
ilmu geopolitik, terdapat tiga faktor yang harus diketahui dan dipahami, yaitu
sejarah lahirnya suatu negara, bangsa dan tanah air sendiri, serta cita-cita
dan ideologi yang diyakini sebagai suatu kebenaran dalam hidup serta
kelangsungan hidup negara dan bangsa.
Pandangan Geopolitik
1)
Tinjauan Kesejarahan
a)
Sebelum Bangsa Indonesia Menegara
Kekuasaan Kedatuan Sriwijaya, yang berlangsung kurang lebih enam
abad, mewariskan salah satu unsur pemersatu bangsa, yaitu bahasa dan kebudayaan
Melayu. Pada puncak kejayaannya, pengaruhnya meliputi sebagian besar wilayah
Indonesia yang sekarang ini, bahkan juga meliputi beberapa daratan Asia.
Kerajaan (kedatuan) ini pernah menjadi sebuah pusat untuk mempelajari ajaran
Budha (Donald Wilhelm, 1980). Sekitar enam abad Sriwijaya menguasai Selat
Malaka dan Selat Sunda yang merupakan pintu utama penghubung kepulauan
Nusantara dengan lautan Hindia (EncyclopediaAmericana, Volume 15, 1994).
Kondisi tersebut memungkinkan meluasnya penggunaan bahasa Melayu di
wilayah Nusantara ini sehinggaterjadi persentuhan budaya Melayu di wilayah Nusantara
ini dengan berbagai budaya lokal yang ada pada berbagai kawasan kepulauan
Nusantara. Persentuhan budaya tersebut berlangsung pada waktu yang lamasehingga
munculah ciri-ciri kehidupan khas pada masyarakat di wilayah Nusantara, yaitu
suatu identitas Nusantara.
Surutnya kekuasaan Sriwijaya tidak menghilangkan identitas
Nusantara karena, setelah itu, muncul kekuasaan terpusat baru, yaitu Kerajaan
Majapahit. Majapahit berhasil mempersatukan sebagian besar wilayah kepulauan
ini kendati kurun waktunya lebih singkat daripada pendahulunya. Kerajaan ini merupakan
suatu perpaduan antara tradisi-tradisi Budha dan Hindu, yang antara lain, telah
memberikan vitalitas di bidang kesenian (Donald Wilhelm, 1980).
Meskipun berlangsung hanya sekitar tiga abad, pengaruhnya cukup
besar berkat langkah-langkah agresif yang diambil oleh pusat kekuasaan
Majapahit. Hal initercermin dalam Sumpah Palapa Mahapatih Gajah Mada, yang
berbunyi, "...Jika telah berhasil menundukkan Nusantara, saya baru akan
istirahat. Jika Gurun, Seram, Tanjung Pura, Haru, Pahang, Dompo, Bali, Sunda,
Palembang, Tumasik telah tunduk, saya baru akan istirahat." (Ensiklopedia
NasionalIndonesia). Sebagai dampak kebijaksanaan tersebut, interaksi
antarmasyarakat bangsa di wilayah Nusantara semakin intensif dalam semua aspek
kehidupan.
Setelah Majapahit runtuh, tidak ada lagi kekuasaan tradisional
yang kuat dan terpusat di wilayah Nusantara. Namun, yang muncul ialah
kekuasaanpenjajah dari Eropa, terutama Belanda. Kekuasaan ini sejak dini telah
mendapat perlawanan, tetapi tetap ada dan tumbuh kuat. Perlawanan terhadap
penjajah telah dilakukan sejak awal kedatangan para pedagang Belanda, kemudian diteruskan
pada masa VOC dan juga pada masa selanjutnya, yaitu pada masa Hindia Belanda.
Kedatangan Cornelis de Houtman tahun 1596 berakhir dengan penguasa-penguasa
pribumi di Banten. Perlawanan-perlawanan yang kemudian bersifat peperangan
dapat ditelaah sepanjang sejarah VOC yang dilanjutkan oleh pemerintahan Hindia Belanda
(Ensiklopedia Umum, 1977). Meskipun demikian, berlangsungnyapenjajahan
selama tiga abad yang sangat menyakitkan itu ternyata ada sumbangannya bagi
terbentuknya persatuan dan kesatuan masyarakat bangsa di wilayah Nusantara ini.
Untuk kepentingan kekuasaannya, penjajah menyatukan seluruh Nusantara ke dalam
satu administrasi pemerintah kolonial, menurut isi pengakuan kedaulatan oleh Belanda
tahun 1949, yang sekarang menjadi wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Kondisi tersebut memungkinkan terjadinya interaksi antartokoh
masyarakat atau antarpemuda dari berbagai daerah, yang lambat laun menumbuhkan
kesadaran akan nasib yang sama dan kesadaran untuk menciptakan kehidupan yang
lebih baik. Akhirnya, terjadilah kasepakatan untuk melakukan perlawanan
bersama, tidak seperti pada waktu-waktu yang lalu dilakukan secara
sendiri-sendiri. Di samping itu, pemakaian bahasa Melayu di kawasan Hindia
Belanda semakin intensif semenjak pemerintah Belanda pada pertengahan Abad XIX
menetapkan bahwa bahasa Melayu menjadi bahasa pengantar di sekolah-sekolah
Melayu, untuk memperoleh tenaga-tenagaadministrasi dalam pemerintahan. Kemudian,
atas desakan anggota-anggota Volksraad bangsa Indonesia (pribumi), pada
tanggal 25 Juni 1918, RatuKerajaan Belanda menyetujui penggunaan bahasa Melayu
di samping bahasa Belanda di Lembaga Dewan Rakyat (J.S. Badudu, 1992).
Politik pecah-belah (devide et impera) yang digunakan
penjajah berhasil mempertahankan kekuasaannya, tetapi politik etik (etische
politiek) yang diterapkan Belanda menyuburkan perlawanan terhadap
kekuasaannya. Pelaksanaan politik etik berupa peningkatan kesejahteraan di
tanah jajahan dengan membuka peluang mengikuti pendidikan bagi pemuda-pemudi
pribumimenyebabkan lebih banyak orang pribumi terpelajar. Dengan mengirimkan
lebih banyak pemuda-pemudi pribumi untuk belajar di negeri Belanda, mereka
selain memperoleh keahlian profesional juga pikiran-pikiran Barat, yaitu
kebebasan, individualisme, liberalisme, dan Marxisme (Donald Wilhelm, 1981).
Dari mereka itulah lahir pelopor-pelopor pergerakan yang menyemaikan pemikiran
pada kalangan masyarakat luas tentang kebangsaan dan kemerdekaan.
Konsep kebangsaan dan kemerdekaan tersebut diaktualisasikan ke dalam
berbagai gerakan di seluruh Nusantara dan juga di negeri Belanda.
Meskipun demikian, gerakan-gerakan kebangsaan yang terorganisasi
barulah mulai terbentuk pada bagian awal Abad XX (Donald Wilhelm, 1981).
Contohnya adalah Budi Utomo (1908), Syarikat Islam (1911), Jong Java (1915),
Jong Sumatra Bond (1917), Jong Minahasa (1918), Jong Ambon, Jong Celebes, Perkumpulan
Madura, Perkumpulan Timor, dan Perhimpunan Indonesia di Belanda (1908). Selain
itu, terdapat pula perkumpulan campuran pribumi dan nonpribumi yang sama-sama
menginginkan kemerdekaan, antara lain, Insulinde(1907), Indische
Partij (1911), Indische Sociaal Democratische Vereeniging(1914), Indische
Sociaal Democratische Partij (1917).
Setelah melalui gelombang pasang surut kegiatannya, berbagai pergerakan
kebangsaan tersebut, akhirnya, membulatkan tekadnya untuk bersatu dalam
mewujudkan cita-cita Indonesia merdeka. Hal itu diikrarkan pada tanggal 28
Oktober 1928, dengan mengatakan,“bertumpah darah yang satu (tanah Indonesia),
berbangsa yang satu (bangsa Indonesia) dan menjunjung bahasa persatuan, yaitu
bahasa Indonesia.“ Pada saat itu lahirlah bangsa yang baru yang terdiri dari
berbagai suku bangsa dan beranekaragam suku dan agama, budaya dan ras serta
berasal dari daerah-daerah yang tersebar pada ribuan pulau di seluruh wilayah
Nusantara, yang menamakan dirinya bangsaIndonesia.
Peristiwa tersebut dapat disejajarkan dengan peristiwa besar yang
lain, yaitu pendaratan manusia di bulan (1969) dan keberhasilan manusia dalam melakukan
"cloning" pada hewan (1997) karena sama-sama sangat ganjil dan
melawan hukum alam. Dalam hal ini, harian Kompas (24 April 1998) memberikan
komentar, ”bagi sosiolog, peristiwa itu sangat ganjil. Bagaimanamungkin, 300
kelompok homosapiens yang memiliki 200 variasi bahasa, danmenghuni 6.000 pulau
yang dipisahkan laut, mampu menyebut dirinya satubangsa, satu tanah air, dan
satu bahasa?" Bagi bangsa Indonesia, Sumpah Pemuda menjadi pendorong
dan pemberi semangat untuk bersatu dan memperbaiki nasib dengan jalan merebut
kemerdekaan dari penjajah. Akhirnya, kemerdekaan dapat diwujudkan setelah
perjuangan selama 17 tahun, yaitu sejak 1928 sampai dengan tanggal 17 Agustus
1945.
b)
Setelah Bangsa Indonesia Menegara
Berdirinya Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) belum
menjamin terwujudnya persatuan dan kesatuan secara nyata di bumi Nusantara.
Segera setelah kemerdekaan dapat diraih dan negara dapat didirikan, NKRI menghadapi
berbagai rongrongan langsung terhadap integritas bangsa dan negara. Di antara
rongrongan terbesar adalah gerakan yang bermotifkan ideologi, seperti
pemberontakan DI/TII Jawa Barat, 1947; PKI Madiun, 1948; Sulawesi Selatan,
1948; Aceh, 1952. Pada tahun 1958--1961 gerakan
bersenjata yang bermotifkan separatis kedaerahan, antara lain RMS,
PRRI, dan Permesta. Beberapa gerakan tersebut mendapat dukungan asing berupa
alat perang yang dipasok melalui jalur laut internasional atau laut bebas di wilayah NKRI,
yaitu di laut pedalaman.
Jalur laut pedalaman tersebut juga dimanfaatkan oleh kekuatan laut
Belanda untuk memprovokasi NKRI yang sedang berupaya mengembalikan Irian Barat
yang masih dikuasai oleh Belanda. Hingga saat itu status laut pedalaman tersebut
merupakan masalah yang sangat pelik bagi NKRI, dalam upaya mempertahankan
wilayah nasional. Dalam keadaan yang sangat kritis tersebut,timbul gagasan
cemerlang, yaitu memberlakukan prinsip negara kepulauan bagi wilayah NKRI.
Sebagai perwujudan, pada tanggal 13 Desember 1957 dikeluarkan pernyataan yang
dikenal dengan sebutan Deklarasi Djuanda.
Dengan memberlakukan prinsip negara kepulauan, di laut pedalaman
yang semula berlaku rezim laut bebas, setelah Deklarasi Djuanda rezim tersebut
tidak
berlaku lagi karena menjadi laut yang berada di kedaulatan NKRI.
Sehubungan dengan perkembangan tersebut, kesatuan wilayah yang utuh menyeluruh
telah terwujud dan menjadi landasan yang kokoh dalam memantapkan persatuan dan kesatuan
bangsa.
Peristiwa G-30-S/PKI (30 September 1965) membawa NKRI ke tepi jurang
kehancuran sehingga banyak perhatian yang harus diberikan untuk mempertahankan
persatuan dan kesatuan bangsa serta kesatuan wilayah pada waktu itu. Di
tengah-tengah upaya pemulihan ketertiban dan keamanan nasional, Seminar Hankam
(1967) berhasil merumuskan suatu wawasan pertahanan keamanan nasional dalam
upaya mengintegrasikan semua komponen kekuatan nasional. Di antara rumusan yang
dihasilkan itu, terdapat konsep yang mengalir dari pandangan geopolitik, yaitu
memanfaatkan konstelasi geografi Indonesia dalam mencapai aspirasi bangsa dan
tujuan negara Indonesia, dengan menyerasikan wawasan bahari, wawasan
dirgantara,dan wawasan benua (yang semula berdiri secara sendiri-sendiri).
Konsep tersebut dinamakan Wawasan Nusantara.
Kebutuhan
Indonesia untuk memperoleh energi saat ini sangat tinggi di tengah dinamika
penduduk yang semakin modern dan semakin kompleks. Salah satu sumber energi
yang sangat dibutuhkan adalah minyak bumi, dikarenakan masih banyak mobilitas
yang tergantung pada minyak bumi ini terutama kendaraan bermotor. Maka
kebutuhan dan fluktuasi harga serta pasokan minyak bumi ini sangat mempengaruhi
ekonomi Indonesia.
Pada
zamannya, Indonesia merupakan salah satu exportir minyak bumi namun kondisi
tersebut sekarang telah berbanding terbalik dengan berubahnya status Indonesia
menjadi net oil imported.Hingga saat
ini pemerintah Indonesia masih menerapkan “subsidi bbm (bahan bakar minyak)”
yang notabene sangat membebani APBN kita di tengah status Indonesia sebagai
negara net oil imported. Dampak dari
status net oil imported. terhadap
APBN antara lain[10]:
a)
Pengaruh
harga minyak dalam percaturan energi global
b)
Arus
keuangan
c)
Berkompetisi
dengan negara-negara lain untuk mendapatkan akses ke sumber-sumber produksi
minyak sehingga menimbulkan harga tak terkendali
d)
Hasil
penjualan minyak tidak dapat diandalkan untuk memperoleh cadangan devisa untuk
membiayai pembangunan.
Istilah net imported oil sebenarnya berarti
bukan minyaknya yang habis tetapi tingkat produksinya sudah tidak dapat mengimbangi
tingkat konsumsi masyarakatnya. Indonesia dapat dikatakan sudah tidak self suffiency dalam hal energi (minyak
mentah). Hal ini disebabkan tingkat laju pertumbuhan penduduk Indonesia dan
perilaku masyarakat dalam hal penggunaan energi.
Dengan menjadi net oil imported, maka Indonesia
memasuki geopolitik energy global competition sama halnya dengan negara-negara
yang tergantung energinya pada negara-negara Timur Tengah seperti Jepang,
Singapura, Korea Selatan, Taiwan dan negara lainnya.
Sebagai negara net oil imported, Indonesia sudah
seharusnya melakukan monitoring secara komprehensif perkembagan geopolitik
negara-negara produsen minyak. Faktor geopolitik pada negara-negara
penghasil minyak inilah yang jauh lebih
dominan daripada hukum fundamental ekonomi permintaan dan penawaran dalam
menentukan harga minyak mentah di pasaran internasional (Purbo, 2004).
Faktor instabilitas
politik dalam negeri juga berpengaruh pada para trader untuk berspekulasi di
pasar oil trading sehingga mengarah ke tingginya harga minyak.
Berdasarkan data statistik
minyak bumi (sumber Ditjen Migas dan data diolah Pusdatin) pada tahun 2010, total
produksi minyak bumi Indonesia sebesar 344.888.000 barel dan tingkat konsumsi
BBM tahun sebesar 388.341.000 barel atau terdapat kekurangan kebutuhan minyak
bumi sebesar 43.453.000 barel. Kekurangan kebutuhan minyak bumi inilah yang
kemudian harus diimpor dari negara lainnya. Yang pada akhirnya pemerintah mau
tidak mau harus melakukan impor tersebut dengan harga yang telah dipatok untuk
harga minyak dunia.
Seiring meningkatnya
volume impor minyak bumi, harga minyak bumi di pasaran internasional pun
semakin hari semakin merangkak naik mengikuti gejolak pasar dunia. Hal ini juga
dipicu dengan adanya konflik-konflik yang terjadi di negara-negara penghasil
minyak bumi yang mengakibatkan negara tersebut tidak dapat melakukan kegiatan
eksplorasi minyak bumi yang mengakibatkan kelangkaan minyak bumi. Sebagai
contoh pada saat konflik Suriah dan Libia, pasokan minyak bumi sempat mengalami
gangguan dan mengakibatkan harga minyak bumi naik.
Berdasarkan ulasan Kwik
Kian Gie yang pada saat itu menjabat sebagai Menteri Perencanaan Pembangunan/Kepala
Bappenas mengenai penghapusan subsidi BBM, Kwik meluruskan mengenai maksud kata
“subsidi” BBM dalam hal penyediaan BBM oleh Pertamina yang ditugasi oleh
pemerintah. Subsidi berarti sumbangan dalam bentuk uang tunai agar sekolah atau
rumah sakit (sebagai contoh) yang bersangkutan dapat menutup semua
pengeluarannya yang lebih besar dari penerimaan. Dalam hal BBM, subsidi bukan
berarti uang keluar. Karena itu istilah subsidi seharusnya diganti dengan
istilah selisih antara harga internasional dengan harga yang
ditetapkan/dipaksakan oleh pemerintah untuk diberlakukan kepada bangsanya
sendiri.
Lebih lanjut, Kwik
menjelaskan bahwa Pemerintah Indonesia memberikan penugasan kepada Pertamina
untuk mengadakan/menyediakan BBM dengan harga konsumen yang ditentukan oleh
pemerintah pula. Karena Pertamina diberikan hak monopoli oleh pemerintah untuk
mengadakan BBM. Maka pasarnya berbentuk monopoli, harga tidak ditentukan oleh
mekanisme pasar pada titik perpaduan antara kurva permintaan dan penawaran. Di
Indonesia tidak ada kompetisi dalam hal penyediaan minyak, apalagi perfect competition.
Selama ini kita memiliki sudut
pandang dan pemikiran yang keliru mengenai arti subsidi BBM ini dan menjadi
gerah ketika harga minyak dunia terus merangkak naik hingga pemerintah panik
dikarenakan takut jebolnya APBN untuk membiayai BBM dengan harga minyak dunia
yang akhirnya terdapat wacana untuk menaikkan harga BBM. Sebenarnya berapa pun
harga internasional akan meningkat, pemerintah sebagai administrator rakyat
tetap saja memperoleh surplus dari BBM. Subsidi BBM yang dilakukan oleh
pemerintah Indonesia ini bersifat opportunity
loss bukan real out of pocket money.
Sehingga tidak benar kalau kenaikan harga minyak di pasar internasional membuat
keuangan pemerintah Indonesia jebol sehingga subsidi harus dicabut.
Geopolitik
perminyakan di Indonesia ini terdiri dari geopolitik dari internal dan
eksternal. Geopolitik internal telah diuraikan di atas yaitu Pertamina sebagai
contoh yang merupakan alat pemerintah Indonesia untuk menguasai perminyakan di
Indonesia. Sedangkan geopolitik dari eksternal yaitu masuknya
perusahaan-perusahaan tambang asing yang mengeksplorasi minyak bumi di
Indonesia dan membawa hasil eksplorasi tersebut untuk menjadi energi atau
cadangan energi di negara asal mereka.
Minyak
menjadi sangat strategis dimulai sejak sekitar tahun 1882 sewaktu Admiral Lord
Fisher dari Inggris membuat pengumuman agar mengubah sistem pembakaran
mesin-mesin di kapal perang dari yang menggunakan bahan bakar batu bara
digantikan dengan menggunakan bahan bakar minyak.[11] Menurut penilaiannya, ada
beberapa pertimbangan yang sangat strategis dengan menggunakan bahan bakar
minyak seperti halnya tidak mengeluarkan asap yang dapat meninggalkan jejak
seperti menggunakan batu bara sehingga dapat terlihat dari jakar kejauhan
sampai 10km, batubara memerlukan waktu 4-9 jam untuk mencapai tingkat puncak
kekuatan mesin, sedangkan dengan minyak hanya memakan waktu 30 menit, dan
berbagai keuntungan penggunaan minyak lainnya dibanding dengan penggunaan bahan
bakar batu bara.
Dalam
tulisannya, Purbo berpendapat bahwa minyak sebagai simbol kekuatan bangsa. Hal
ini tergambar dari negara Amerika Serikat yang menjadi kekuatan utama dunia
karena dimilikinya basis mineral dan kekuatan industri yang luar biasa besar
dan tersebar di seluruh dunia, serta mempunyai industri sipil dan militer yang
terintegrasi untuk mendukung perang modern.
BAB
III. PENUTUP
Kesimpulan
Pemahaman terhadap lingkungan
strategik suatu negara perlu dilakukan untuk menjelaskan bagaimana lingkungan
strategik dan ancaman yang dihasilkan yang berpengaruh kepada keamanan
nasional. Lingkungan strategik ini terdiri dari lingkungan global, regional dan
nasional.
Lingkungan stratejik “defence planning” penting untuk
menentukan apa yang akan terjadi dan apa yang akan dilakukan di masa lima atau
sepuluh tahun yang akan datang dengan melakukan analisis-analisis atas
lingkungan strategik terkait dengan kelebihan-kelebihan dan kelemahan serta
melakukan kajian-kajian ulang. Walaupun apa yang akan terjadi tersebut
merupakan “ketidakpastian”, yaitu gagal atau berhasil dilakukan, namun
berdasarkan usaha-usaha perencanaan dan kajian ulang tersebut diharapkan mampu
mendekati tingkat keberhasilan.
Pemerintah dan rakyat memerlukan suatu
konsepsi berupa wawasan nusantara untuk menyelenggarakan kehidupannya. Wawasan
ini dimaksudkan untuk menjamin kelangsungan hidup, keutuhan wilayah serta jati
diri bangsa. Dalam hal ini pejabat pemerintah daerah sebagai pengemban amanat
rakyat harus dapat memahami dan menghayati kekuatan positif dan
multikulturalisme dalam rangka memperjuangkan kesejahteraan rakyat, sedangkan
rakyat harus mendukung upaya pemerintah tersebut dengan ikut aktif
mempertahankan NKRI baik dari sisi keamanan maupun dari segi lainnya.
Geopolitik tersebut dapat dipahami
sebagai kepentingan suatu negara untuk memperluas kekuasaan dan wilayah dalam
rangka memperoleh sumber daya yang dibutuhkan dengan mempergunakan
strategi-strategi penguasaan ruang dan wilayah untuk memperolehnya.
Geopolitik secara teori dapat
dijabarkan sebagai Teori Universal Geopolitik: Geopolitik sebagai suatu ilmu,
Teori Ruang Hidup, Konsep Penguasaan Ruang Hidup) dan berbagai tinjauan:
Kesejarahan, Kebudayaan, Kefilsafatan, Kewilayahan dan Perkembangan Geopolitik.
Indonesia dihubungkan dengan
Geopolitik Oil ini terjadi ketika
pemerintah Indonesia memberikan kebijakan “subsidi” BBM dan semakin tingginya
harga minyak dunia di tengah status bangsa yang berubah dari exportir menjadi
importir minyak.Sebagai negara net oil imported, Indonesia sudah
seharusnya melakukan monitoring secara komprehensif perkembagan geopolitik
negara-negara produsen minyak. Faktor geopolitik pada negara-negara
penghasil minyak inilah yang jauh lebih
dominan daripada hukum fundamental ekonomi permintaan dan penawaran dalam
menentukan harga minyak mentah di pasaran internasional
Saran
Geopolitik oil di Indonesia tidak
hanya terkait dengan subsidi BBM oleh pemerintah dan pemberian hak monopoli
pengelolaan minyak ke Pertamina, namun juga pemberian hak eksplorasi tambang
minyak kepada perusahaan asing, ijin SPBU perusahaan asing. Penelitian dan
kajian lebih lanjut mengenai geopolitik oil dan lingkungan stratejik terkait
eksplorasi tambang minyak dan ijin SPBU kepada perusahaan asing perlu dilakukan
untuk memberikan gambaran yang lebih luas mengenai geopolitik oil di Indonesia.
DAFTAR
PUSTAKA
Antariksa, Yani; 2013; Pemahaman
Perkiraan Strategik Nasional (Kirstranas) Tahun 2014 Dalam Mendukung
Pembangunan Nasional;
http://antariksa2010.blogspot.com/2013/09/pemahaman-perkiraan-strategik-nasional.html
Direktorat Jenderal Strategi
Pertahanan Direktorat Analisa Lingkungan Strategis; 2008, Perkembangan
Lingkungan Strategis Dan Prediksi Ancaman Tahun 2008
Purbo, Dirgo; 2012; Geopolitik
Merupakan Landasan Utama Bagi Diplomasi Kepentingan Nasional Republik Indonesia
Abad 21; Jurnal CSICI Vo VI no 36 tahun 2012
Purbo, Dirgo; 2012; Geopolitik Merupakan
Landasan Utama Bagi Diplomasi Kepentingan Nasional Republik Indonesia Abad 21;
Jurnal CSICI Vo VI no 36 tahun 2012
Purbo, Dirgo; 2004; Harian Suara
Pembaharuan, 3 Desember 2004
Purbo, Dirgo; Pengamanan Sumber Energi
untuk Kepentingan Nasional Indonesia
Ryacudu, Ryamizard; 2008; Memantapkan
Wawasan Kebangsaan dalam Menghadapi Perkembangan Global dan Disintegrasi Bangsa
Yusa, Fatrakhul; 2012; Geopolitik
Imperialis: Panorama Era Klasik
Soepandji, Susilo, Budi; Lemhanas RI
Newsletter edisi 44,;Maret 2013
Modul Lemhanas 04, 2013, Wawasan
Nusantara
Modul Lemhanas 03, 2013, Geopolitik
Indonesia
[1] Purbo,
Dirgo; 2012; Geopolitik Merupakan Landasan Utama Bagi Diplomasi Kepentingan
Nasional Republik Indonesia Abad 21; Jurnal CSICI Vo VI no 36 tahun 2012
[2]Prof Dr
Ir Budi Susilo Soepandji, DEA, Lemhanas RI Newsletter edisi 44, Maret 2013
[3]Ryacudu,
Ryamizard; 2008; Memantapkan Wawasan Kebangsaan dalam Menghadapi Perkembangan
Global dan Disintegrasi Bangsa
[4]Direktorat
Jenderal Strategi Pertahanan Direktorat Analisa Lingkungan Strategis; 2008,
Perkembangan Lingkungan Strategis Dan Prediksi Ancaman Tahun 2008
[5]Antariksa,
Yani; 2013; Pemahaman Perkiraan Strategik Nasional (Kirstranas) Tahun 2014
Dalam Mendukung Pembangunan Nasional; http://antariksa2010.blogspot.com/2013/09/pemahaman-perkiraan-strategik-nasional.html
[6]Modul Lemhanas
04, 2013,Wawasan Nusantara
[7]Purbo,
Dirgo; 2012; Geopolitik Merupakan Landasan Utama Bagi Diplomasi Kepentingan
Nasional Republik Indonesia Abad 21; Jurnal CSICI Vo VI no 36 tahun 2012
[8]Yusa,
Fatrakhul;
2012; Geopolitik Imperialis: Panorama Era Klasik;
http://fatrakhulyusa-fisip09.web.unair.ac.id/artikel_detail-42878-Geopolitik%20dan%20Geostrategi-Geopolitik%20Imperialis:%20Panorama%20Era%20Klasik.html
[9]Modul
Lemhanas 03, 2013, Geopolitik Indonesia
[10]Purbo,
Dirgo; 2004; Harian Suara Pembaharuan, 3 Desember 2004
[11]Purbo,
Dirgo, D; Pengamanan Sumber Energi untuk Kepentingan Nasional Indonesia
antariksayani10@gmail.com
antariksayani10@gmail.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar